Bab 3 - Sora Terlalu Manis, Bisa Mati Aku

30 19 2
                                    

Faizan POV

Pulang sekolah, aku menyempatkan diri untuk berkeliling sekolah untuk beradaptasi. Aku tidak tahu seluk beluk sekolah ini. Tidak banyak deskripsi tentang tata letak sekolah di dalam novel sehingga mau tak mau harus aku yang mengeksplorasi sendiri.

Jika aku lihat, sekolah ini bisa dikatakan sebagai sekolah berkualitas. Banyak pohon dan tanaman ditanam di setiap sudut, menambah kesejukan dan keasrian. Setiap sudut dan sisi sekolah dijaga dengan baik. Tidak ada sampah atau noda pada tembok. Semuanya benar-benar bersih.

Yang terpenting adalah AC! Benar! Di setiap kelas dilengkapi dua unit AC. Aku tidak memercayai ini. Di dunia lamaku, ruang kelasku seperti ruang terbengkalai karena tidak memiliki kipas. Bila cuaca tengah terik, rasanya seperti terpanggang di atas teflon.

Aku berterima kasih padamu, kepala sekolah dan para donatur sekolah ini. Aku berusaha menahan tangis merasakan dinginnya ruang kelas.

Berkeliling sekolah sudah selesai.

Melangkahkan kaki keluar sekolah, aku mengamati sekitar dan menemukan sedikit kejanggalan.

Aku mengeluarkan ponsel dari tas. Omong-omong, ini adalah ponsel milik Faizan asli. Karena aku mengambil alih tubuhnya, berarti barang-barangnya otomatis menjadi milikku. Walau sedikit tidak enak harus melihat privasi Faizan asli di ponselnya, aku tidak mengambil pusing dan fokus pada hal sekarang.

Lagipula kapan lagi memiliki ponsel seri terbaru? Dengan kualitas ponsel seperti ini, aku bisa menggunakannya untuk bermain game. Tampaknya Faizan asli begitu dimanjakan oleh kedua orang tuanya. Hanya orang berada yang mau membelikan anaknya ponsel seri terbaru. Aku baru dibelikan ponsel baru ketika ponsel lamaku sudah benar-benar tidak berfungsi.

Menyalakan ponsel, aku mencari aplikasi Google Maps. Begitu mendapat lokasiku sekarang, aku menyadari bahwa lingkungan tempat ini kurang lebih mirip dengan di dunia lamaku.

Mungkin saja penulis Cinta Sejati menggunakan referensi dunia nyata untuk latar tempat. Bahkan sepertinya penulis tinggal di daerah yang sama denganku. Mengingat dia menggunakan latar tempat tinggal di dunia lamaku.

"Kalau pakai referensi dunia asli, berarti enggak perlu ribet inget tiap tempat. Paling tinggal inget jalan rumah–tunggu?"

Aku mengalihkan pandangan ke sekitar, seolah menyadari sesuatu. Kayaknya badan aku tadi inget jalan dari rumah ke sekolah. Buktinya aku gak sadar lari karena panik Sora mau jatuhin diri.

"Masalahnya, aku sekarang enggak inget rumahku di mana."

Menggarukkan kepala bagian belakang, aku memutar otak mencari jalan keluar dari kebingungan ini. Menemukan satu ide, aku beralih ke aplikasi belanja daring.

"Harusnya di sini si Faizan itu nyantumin alamat dia," gumamku sembari mencari alamat yang tercantum pada aplikasi. Benar saja, informasi alamat segera terpampang di depan layar. Aku menghela napas lega. Untunglah disaat seperti ini aku bisa berpikir.

Saat diperiksa, aku menyadari jarak rumahku tidak begitu jauh dari sekolah. Hanya membutuhkan waktu sekitar 10 sampai 15 menit berjalan kaki. Memasukkan ponsel ke tas, aku berjalan santai menyusuri jalan.

Sepanjang perjalanan, aku masih merenung mengapa aku bisa terdampar di dunia novel Cinta Sejati. Memang bagus karena aku bisa bertemu dengan karakter kesukaanku, tetapi ini tetap membingungkan.

"Atau aku saking cintanya sama Sora, author suruh aku bahagiakan dia?" Aku merona malu. "Author bisa aja. Kalau itu yang Author mau, aku gas aja, sih."

Menggeleng lemah, aku tersenyum malu. "Sora itu terlalu imut buat disakitin. Siapa yang tega menyakiti hati si imut mungil itu? Iya, bener, si Author yang tega menyakiti karakternya sendiri. Heran banget dia bisa-bisa nyakitin Sora."

Aku kembali membayangkan bagaimana Sora berada di dekapanku. Begitu kecil dan lembut, seperti aku memeluk sebuah boneka. Aroma parfum manis dari Sora masih bisa kucium meski beberapa jam telah berlalu.

Membayangkannya membuatku tertawa aneh. "Sora terlalu manis. Baca dia di novel bikin aku berdebar, ini lagi bisa liat langsung. Bisa mati aku."

Mau liat Sora lagi. Lagi ngapain dia sekarang, ya.

Baru saja benakku terlintas sosok gadis mungil itu, begitu aku mengangkat kepala, Sora berdiri tak jauh dari posisiku. Gelagatnya seperti sedang menunggu sesuatu. Aku tidak bisa menahan senyum. Sungguh kebetulan yang ajaib dan menyenangkan. Dengan langkah cerah, aku mendekati Sora.

"Sora, lagi apa di sini?"

Aku dapat melihat wajah terkejut Sora. Matanya yang besar berkedip beberapa kali, menampilkan kesan lucu. Sora tampak gugup sembari mengedarkan pandangan ke sekitar. Bibir kecilnya sedikit bergetar sebelum menjawab. "Lagi nunggu jemputan."

"Jemputan?" Kali ini aku merasa seperti kehilangan fungsi berpikir. Sudah hampir sejam semenjak bel pulang sekolah. Mengapa Sora belum kunjung dijemput? Berbagai pertanyaan terlintas di kepalaku. Namun, aku tidak mengambil pusing untuk tidak menanyakan lebih lanjut. Khawatir jika Sora tidak nyaman.

"Kenapa enggak nunggu di sekolah aja? Ada bangku buat duduk, kan? Daripada capek berdiri di sini." Aku mencoba mengakrabkan diri dengan mengobrol.

Sebenarnya aku tidak mengetahui bagaimana hubungan Faizan asli dengan Sora. Aku tidak mengingat detail apa pun mengenai hubungan mereka berdua. Biarlah, tubuh ini milikku. Sekarang aku yang memegang kendali.

Sora tampak kelabakan untuk menjawab pertanyaanku. Oh? Jika sampai kesusahan mencari jawaban, berarti ada maksud lain mengapa dia bisa sampai di sini.

Diam-diam aku mengalihkan pandangan ke sekitar, mencoba mencari jawaban. Benar saja, mataku segera menangkap dua orang remaja yang mengenakan seragam serupa denganku, tengah berduaan sembari menikmati es krim. Posisi mereka membelakangi sehingga tidak menyadari bahwa mereka sedang diawasi.

Siapa lagi jika bukan Kevan dan Naomi.

Mengingat latar waktu sekarang, seharusnya mereka berdua sudah naik pangkat menjadi sepasang kekasih. Rupanya ini yang sejak tadi dilihat Sora. Menatap sahabatnya bermesraan dengan pujaan hatinya.

Sora yang lama memendam perasaan kepada Kevan, dengan pahit harus mengubur dalam-dalam cintanya demi sahabatnya. Kisah yang pilu. Aku sedikit tidak terima dengan akhir cerita Sora yang berakhir tragis.

Gadis cantik dan imut ini tidak pantas mendapat ending sedih.

Menghela napas panjang, aku menatap Sora dalam diam.

Author, jika kamu mengirimku ke dunia novelmu untuk membahagiakan gadis ini, maka aku siap menjalani misi darimu. Dengan sepenuh hati aku akan membahagiakan Sora, supaya dia dapat tersenyum lagi.

Dengan tekad kuat, aku kembali tersenyum lalu menggenggam tangan Sora. "Sora."

Aku dapat melihat tanda tanya besar tercetak di atas kepala gadis di hadapanku. Senyumku belum sirna. "Kamu belum nelpon jemputan, kan? Mau temenin aku sebentar? Aku mau ajak kamu ke suatu tempat. Dijamin asyik, deh. Mau, kan?"

Sora berkedip beberapa kali, lalu mengangguk mengiyakan. Aku tertawa pelan lalu menarik tangannya pelan, membawanya pergi ke suatu tempat.

Bagus! Dengan mengajaknya pergi dari sini, aku bisa mengalihkan fokusnya agar dia bisa tersenyum tanpa mengingatkan momen pilu tersebut.

Second Chance To LiveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang