Bab 8 - Aku Sudah Bucin

36 18 3
                                    

Hatiku berbunga-bunga. Aku kembali mengajak Sora pergi setelah sebelumnya menyeretnya ke mall. Sebenarnya agak sedikit tidak enak, tetapi aku harus melakukannya. Demi menjauhkan gadis pujaanku dari Naomi, sahabat sekaligus seseorang yang merebut pemuda yang disukai Sora.

Di novel Cinta Sejati, setelah Naomi dan Kevan memiliki hubungan khusus, secara tidak sadar mereka lebih banyak menghabiskan waktu berdua dibanding bersama Sora. Memang adakalanya pasangan kekasih akan pergi berdua saja, tetapi mereka berada di tahap di mana mereka tidak tahu betapa sakit dan kecewanya Sora sampai dia memilih mengakhiri hidupnya.

Membaca bagian itu membuat hatiku berkedut sakit. Bagaimana bisa mereka meninggalkan temannya seorang diri hanya karena mereka sudah berpacaran? Pun mereka tidak sadar sahabat mereka kesakitan sampai akhirnya memilih jalan terburuk.

"Apa yang mereka lakukan bikin Sora sakit hati, setidaknya aku harus jauhkan Sora dari mereka. Aku enggak mau Sora sedih lagi," gumamku ketika aku masih berjalan di sebelah Sora.

"Hm? Kamu bilang sesuatu, Zan?" Suara Sora membawaku kembali ke permukaan. Aku segera tersadar, menoleh dan menyunggingkan senyum manis.

"Enggak, enggak ada apa-apa. Lagi kepikiran sesuatu aja." Alasan yang payah. Aku yakin gelagatku sangat jauh dari kata 'tidak apa-apa'. Orang yang jeli pun bisa mengetahuinya dalam sekali lirik.

Kali ini, suara Sora kembali terdengar. "Serius? Tapi gelagat kamu kayak lagi khawatir." Mata Sora menelisik ke sekitar, seolah sedang mencari sesuatu yang menarik.

Aku tidak bisa menahan senyum. Hal paling membahagiakanku dalam hidup; dikhawatirkan pujaan hati. Seseorang jangan bangunkan aku dari mimpi indah ini.

Kali ini aku tidak menyeret Sora ke mall, melainkan pergi ke sebuah festival. Berkat iklan dalam YouTube, aku memperoleh informasi mengenai sebuah festival musik yang tengah diselenggarakan di kota.

Sampai di sana, dentuman musik dan alunan suara penyanyi dapat terdengar jelas, menggetarkan gendang telingaku. Aku menoleh ke arah Sora, gadis itu terlihat tidak terganggu dan lebih menikmati musik yang sedang dimainkan.

Baguslah Sora terlihat tenang. Keputusan tepat aku mengajaknya ke sini. Kedua sudut bibirku tertarik ke atas, membentuk senyuman manis.

"Sora."

Begitu gadis itu berbalik untuk menatapku, jantungku berdebar tidak keruan. "Kenapa?"

Manis sekali. Aku akan mengingat momen kebersamaan ini seumur hidupku. Kembali ke alam sadar, aku menggeleng. "Laper gak? Mau coba cari makan dulu sebelum liat konser?"

Selain menyajikan penampilan fenomenal dari beberapa bintang tamu ternama, festival ini juga menyediakan gerai makanan dan minuman untuk para pengunjung. Cocok untuk mereka yang ingin menikmati penampilan musik sambil makan.

Aku menatap Sora. Gadis itu memasang raut wajah bingung sembari terdiam untuk memutuskan.

"Kayaknya boleh cari makan dulu."

Mengangguk paham, aku mengambil satu tangan Sora. Dengan kepercayaan diri penuh, aku menariknya ke arah menuju gerai-gerai.

Tiba di sana, aroma makanan dapat tercium, menggelitik hidungku. Ketika aku perhatikan, banyak orang masih berkeliling berburu makanan dan minuman enak untuk dicoba.

Tidak, ada yang lebih penting dari makanan dan minuman. "Ayo keliling, siapa tahu kamu nemu sesuatu yang mau dicoba."

Bisa aku lihat Sora tampak kebingungan mencari sesuatu yang menarik untuk coba dibeli. Maklum, semua yang ada di sini terlihat menggiurkan. Apalagi dengan aroma dan tampilan yang menggoda. Bahkan sepertinya aku bisa menghabiskan waktu berjam-jam berkeliling di sini.

Menemukan satu gerai menjajakan muffins, aku mencolek lengan Sora. "Sora mau coba itu?"

Memastikan pandangan Sora terarah ke tempat yang aku tunjuk, aku memerhatikan raut wajahnya.

Sora diam beberapa saat sebelum merespons. "Boleh, aku juga mau coba itu."

Balasannya membuatku tersenyum lebar. Baguslah dia menerima saranku. Kami mendekati gerai muffin, mengantre sebentar sampai kami dilayani.

Mereka menjajakan muffin dalam berbagai varian rasa. Semua kelihatan menggiurkan. Aku tidak bisa memilih. Dengan berat hati aku menyebut cokelat dan pisang sebagai pilihan lalu menatap Sora, penasaran rasa apa yang akan diambilnya.

Pilihan Sora jauh lebih bervariatif dan banyak. Ketika aku membeli hanya 2 buah, milik Sora dimasukkan ke dalam kotak khusus.

Aku mengingat Sora adalah salah satu penyuka makanan manis. Tidak terlalu dilihatkan dalam novel, tetapi setelah melihatnya langsung di sini, aku mengakui kebenaran informasi tersebut.

Kami duduk di kursi kosong yang sudah disediakan. Di depan kami terdapat sebuah panggung besar yang digunakan bintang tamu ternama untuk menampilkan penampilan spektakuler mereka.

Sembari menunggu penampilan selanjutnya, aku mengambil satu muffin, memakannya perlahan. Rasa manis dari cokelat melebur dalam mulutku. Kedua mataku membelalak dan alisku terangkat. "Enak juga."

Dalam sekejap, muffin yang kubeli menghilang tanpa jejak. Aku mengumpulkan sampah ke dalam kantung plastik, lalu beralih ke Sora yang juga sedang makan. Jantungku kembali berdebar.

Sebentar, kenapa aku berdebar begini? Sora hanya sedang makan! Menghela napas panjang, aku menertawakan diriku sendiri dalam hati.

Sepertinya benar apa yang dikatakan Diyan, aku sudah bucin.

Melihat Sora makan saja membuat jantungku berpacu cepat. Memang benar, sekali kita jatuh cinta, apa pun yang dilakukan orang tercinta, kita akan berdebar.

Memerhatikan Sora yang tampak lucu dengan pipi menggembung penuh makanan, aku menahan diri tidak menjulurkan tangan untuk mencubit pipinya.

Alih-alih mengganggunya makan dengan fisik, aku menggodanya dengan cara lain.

"Itu rasa apa, Sora? Mau coba, boleh?" tanyaku, mengeluarkan senjata pamungkas, puppy eyes.

Sora berkedip beberapa kali sebelum memberikan muffin rasa ceri yang sedang dia makan. "Mau coba?"

"Suapin, dikit aja. Aku mau tau rasanya."

Kedua alisku terangkat. Tidak sabar melihat reaksinya seperti apa.

Sora kembali berkedip, memasang ekspresi kebingungan. Sepertinya dia tidak tahu harus bereaksi apa dengan ucapanku barusan. Ketika aku hendak menarik kata-kataku, Sora mencubit satu bagian dan mengulurkan tangan ke arahku.

"Nih, aku suapin."

Kali ini aku yang membeku. Otakku tidak mampu mencerna situasi kini. Namun, tubuhku tidak sejalan dengan otak. Mulutku tanpa sadar terbuka, menerima suapan muffin dari Sora.

"Enak?" Suara Sora terdengar kecil seperti berbisik, seperti menanti jawabanku dengan cemas.

"Enak, kok. Makasih udah kasih aku coba," balasku canggung. Memejamkan mata, hatiku terasa ingin meledak, berusaha menahan diri agar tidak berteriak.

Oh, Tuhan! Kenapa Sora terlalu imut?!

Second Chance To LiveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang