Bab 9 - Sora Menghilang

20 12 1
                                    

Sora menghilang. 

Sejak tadi pagi aku tidak menemukannya di mana pun. Nasib berbeda kelas membuatku hanya bisa menemuinya di waktu tertentu, seperti di jam istirahat atau di jam sekolah berakhir.

Menghela napas panjang, aku duduk di kursiku dengan perasaan lesu. Biasanya aku akan menemui Sora dan bermain dengannya selama jam istirahat, tetapi gadis itu seolah ditelan bumi.

"Gak ketemu Sora?" Aku mendongak, mendapati Diyan berdiri dengan kacamata bulat khasnya menatap heran ke arahku. Ekspresinya seolah aku bisa mati kapan saja karena tidak bertemu gadis pujaanku.

Memang benar, rasanya hidup kurang kalau tidak bertemu pujaan hati.

Diyan tidak akan mengerti apa yang kurasakan. Dia belum pernah mencintai atau menyukai seseorang. Hidupnya diisi dengan gim. Definisi hidupnya hampa tanpa hamparan bunga. 

Namun, Diyan sendiri tidak menganggap asmara adalah hal penting. Baginya, selama gim masih ada dan terus bertambah untuk bisa dimainkan, dia tidak masalah. Benar-benar pria pencinta gim. Aku sedikit kasihan terhadap Diyan. Andai ada yang bisa membuka hatinya agar dia tahu bagaimana rasanya memperjuangkan seseorang. 

"Kamu enggak akan tahu apa yang aku rasain, Diyan!" teriakku hingga menarik atensi beberapa siswa di kelas. Sekilas aku dapat merasakan tatapan mereka terarah kepadaku.

Diyan sendiri membalas dengan tatapan aneh, mempertanyakanku yang tiba-tiba berteriak. "Aku enggak ada ngomong aneh-aneh. Kok bahas itu?"

Aku membisu, kembali menenggelamkan wajah di kedua lenganku di atas meja, merasa lara. Tidak bisa seperti ini! Sejak pagi aku belum melihat wajah gadisku! Kehidupan sekolahku hari ini akan suram jika tidak ada semerbak bunga.

"Diyan, bantu cariin Sora. Aku gak mau kayak gini. Mau ketemu Sora."

"Dia gak ngilang, bro. Kamu kenapa, sih? Makin aneh aja kelakuan."

Aku tidak aneh. Faizan yang kau lihat ini berbeda jiwa. Jiwa didalam tubuh sahabatmu ini adalah pemuda bucin yang tergila-gila dengan satu perempuan. Namun, percuma jika aku harus menjelaskan ini kepada Diyan. Dia pasti akan menganggapku aneh.

Menghela napas panjang, aku mendongak untuk menatap Diyan. "Suram banget rasanya gak bisa liat Sora. Dia ke mana, ya? Pengin punya pintu ke mana saja punya Doraemon biar bisa langsung ketemu Sora."

Melihat Diyan mengambil tempat duduk di sebelahku, aku bisa mendengarnya dia menggerutu. "Nanti juga keliatan. Bisa aja ada urusan dulu."

"Tapi ini gak kelihatan dari pagi!"

"Jadi maksudmu dia gak masuk?"

Pertanyaan balik dari Diyan membungkamku. Sakit, karena itu dia tidak terlihat wujudnya sejak pagi? Perasaan khawatir perlahan menggerogoti tubuhku, dan aku mulai berkeringat cemas.

"Gak mungkin sakit, kan?"

Diyan kembali menatapku aneh. "Mana aku tahu, coba aja tanya Naomi atau Kevan. Mereka teman dekat dia, kan. Kalo gak mereka, tanya ke Zahid."

Aku sangat mengenal tiga nama yang disebutkan Diyan. Dengan cemas aku beranjak dari tempat dudukku, berlari ke luar kelas untuk mencari seseorang. Benar, salah satu dari ketiga orang itu pasti mengetahui keberadaan Sora.

Dalam sekejap aku berlari ke kelas sebelah dan memasuki ruang kelas. Di sana aku menemukan Kevan dan Zahid sedang duduk bersama dengan buku di atas meja. Sepertinya sedang berdiskusi pelajaran. Aku bergegas menghampiri mereka. 

"Kevan!"

Yang dipanggil mendongak. Kevan tampak kebingungan menatapku yang datang dengan napas terengah-engah. "Loh, kenapa, Zan?"

Mengambil waktu untuk mengatur napas, aku menatap mereka berdua dengan cemas dan takut, tidak siap dengan jawaban tidak baik yang mungkin akan datang.

"Sora ke mana? Aku gak liat dia dari pagi."

Pandanganku terfokus kepada mereka berdua yang saling berpandangan satu sama lain. Aku sudah pernah bertemu dengan Kevan, ini pertama kalinya aku bertemu Zahid, sahabat Kevan dan karakter sampingan dalam novel Cinta Sejati.

Sekilas aku melihat Zahid mirip dengan salah satu aktor Indonesia terkenal, Angga Yunanda. Hanya berbeda di bentuk mata.

Suara berat Zahid membuatku sedikit bergidik. "Sora gak masuk hari ini. Sakit."

Dunia seketika runtuh. Aku seperti dihantam batu besar dan ribuan jarum mendengar berita ini. Aku tidak tahu ekspresi apa yang aku tampilkan saat ini, tetapi pasti aku memasang raut wajah sedih. 

Itu sudah pasti. Siapa yang tidak sedih pujaan hatinya jatuh sakit? 

"Sakit?"

Kevan mengangguk singkat. "Iya, sakit. Katanya kehujanan pas lagi jalan-jalan bareng keluarganya."

Aku kembali membisu. Sungguh, jika aku tidak berada di sekolah, aku sudah terjatuh karena terlalu lemas. Kenapa Sora tidak memberitahuku? Hatiku berkedut nyeri.

Mengerucutkan bibir, aku menatap Kevan dan Zahid. "Kira-kira aku bisa dateng ke rumah Sora buat jenguk dia gak?"

Pertanyaanku membuat Kevan mematung. Agaknya dia sedikit tidak menduga aku akan berterus terang ingin menjenguk Sora. Tidak peduli. Gadisku sedang sakit. Aku tidak akan tenang jika tidak memeriksanya sendiri.

Zahid sekilas mengerutkan kening, seolah memberi kesan tidak suka. Kenapa raut wajahnya seperti itu? Ada yang salah dari perkataanku?

"Aku punya alamat Sora, sih. Kamu mau jenguk dia, Zan?" tanya Kevan sembari mengeluarkan ponselnya.

Aku segera mengangguk mengiyakan. "Iya, aku mau jenguk dia. Minta alamat Sora, dong."

"Boleh. Minta nomor kamu. Biar aku kirimin."

Usai berbagi nomor dan mendapat alamat rumah Sora, aku belum bisa menghilangkan perasaan cemas ini. Semoga penyakitnya tidak parah. Tidak parah pun, aku harus melihatnya. Jika diperbolehkan, aku juga ingin merawatnya sampai sembuh.

Tersenyum puas, aku menatap Kevan. "Makasih, Kev. Aku pergi dulu. Sekali lagi makasih udah ngasih alamatnya Sora."

Kevan menanggapi dengan anggukan singkat. "Gak masalah. Kasih tau ya gimana keadaan Sora. Aku titip salam buat Sora."

"Aku juga titip salam."

Zahid yang sedari tadi terdiam, kembali bersuara. Agak tidak terduga, tetapi aku bisa memaklumi. Lagipula Zahid adalah salah satu teman dekat Sora.

Setelah mengucapkan selamat tinggal, aku memeriksa alamat rumah Sora yang aku dapat dari Kevan dengan senyum lebar

Second Chance To LiveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang