Bab 7 - Ini Adalah Insting Melindungi Sahabat

39 19 5
                                    

Naomi Earline, sahabat Sora sekaligus kekasih dari Kevan Aswari, adalah karakter utama dalam novel Cinta Sejati. Memiliki kepribadian yang bebas dan ceria. Jago di olahraga, tokoh utama perempuan yang jarang aku temui. Kebanyakan tokoh utama perempuan yang aku temui adalah seseorang dengan kepribadian lembut seperti sebuah boneka.

Karena itu ketika aku melihat Naomi langsung, aku terasa asing.

Sebenarnya aku ingin kehidupan sekolahku penuh dengan kedamaian selagi aku menuntaskan tujuanku untuk membahagiakan Sora. Namun, agaknya seiring aku akrab dengan Sora, membuat karakter novel lainnya ikut tertarik dan mengenalku.

Jujur saja, aku belum terbiasa dengan perubahan ini. Hari-hari yang biasa aku habiskan hanya bersama Diyan atau Sora, kini bertambah personil.

"Oh, jadi ini Faizan yang akhir-akhir ini lagi deket sama Sora."

Aku bisa merasakan tatapan penuh kecurigaan tertuju kepadaku. Tidak lagi tidak bukan adalah Naomi. Wajar saja dia menaruh curiga, dia yang melihatku sebagai siswa pendiam yang tidak pernah memiliki hubungan apa pun, tiba-tiba dekat dengan Sora, sudah pasti dia merasa waspada.

Mau bagaimana lagi, ini adalah insting melindungi sahabat.

"Kok kamu bisa tiba-tiba deket sama Sora? Setau aku Sora bukan tipe yang gampang akrab sama orang baru," tanya Naomi, masih mempertahankan wajah penuh prasangka.

Sekarang bagaimana aku akan menjawab ini? Tidak mungkin aku memberitahu mereka kalau sahabat mereka hampir saja kehilangan nyawanya jika saat itu aku tidak menyelamatkannya. Memberitahu ini sama saja mengambil risiko. Bisa-bisa Sora akan ditanyai aneh-aneh oleh mereka. Untuk sementara aku akan menyimpan rahasia ini seorang diri.

Dengan senyum canggung, aku memulai aktingku. "Ya, kau tahu. Aku tidak sengaja bertemu dengannya dan aku iseng mengobrol dengannya. Setelah itu aku mencoba mendekat dan mengakrabkan diri."

Jawaban yang bodoh sekali. Aku agak menyesal mengapa semua kalimat itu keluar dari mulutku. Sepertinya aku harus mengobati kebiasaanku asal lepas bicara tanpa berpikir dahulu.

Benar, kan, sekarang Naomi menatapku lebih curiga. Oh, aku ini bodoh sekali. Sekarang aku mengerti mengapa teman-temanku di dunia nyata tidak pernah memercayai omonganku. Mereka pasti menganggap omonganku adalah sebuah omong kosong saking tidak jelasnya.

"Enggak mungkin, kamu iseng ngobrol sama Sora dan itu bikin kalian deket? Rasanya janggal banget dengernya."

Sekarang Naomi jadi mencurigaiku! Bagaimana aku bisa keluar dari situasi canggung ini?

"Memang apalagi? Bukannya pertemanan juga awalnya timbul dari sering mengobrol? Kau sendiri bisa akrab dengan Sora karena kau sering mengobrol dengannya, kan?"

Yang aku katakan memang benar. Sora dan Naomi baru bertemu di bangku SMA. Mereka kebetulan berada di kelas yang sama di kelas satu. Sora yang saat itu pemalu dan tidak pandai membuka topik obrolan, duduk sebangku dengan Naomi.

Layaknya minyak dan air, Naomi yang bisa dikatakan bertolak belakang kepribadian dengan Sora, mengajaknya mengobrol dan banyak menghabiskan waktu bersama. Sejak saat itu mereka merasa nyaman satu sama lain dan menjadi sahabat.

Aku mengetahui banyak hal tentang Sora, termasuk hubungannya dengan orang-orang di sekitarnya. Jangan meremehkan daya ingatku ketika itu menyangkut gadis kesukaanku.

Ekspresi Naomi belum berubah, tetapi sedikit melunak. Sepertinya mengeluarkan senjata latar belakang adalah ide bagus. Benar, kita tidak bisa dekat dengan seseorang jika tidak diawali dengan obrolan santai.

Walau pertemuan pertamaku dengan Sora sedikit mengejutkan, setidaknya aku berhasil masuk dalam zona nyamannya dan membuatnya menerima kedatanganku di rumahnya.

"Jangan khawatir, aku gak ada niat buruk ke Sora. Aku murni mau akrab sama dia. Lagian kamu sebagai sahabatnya sudah pacaran sama Kevan, kan? Kamu pasti bakal lebih sering ngabisin waktu sama Kevan dibanding Sora. Jadi biar aku yang gantian nemenin biar dia gak sendirian."

Pernyataanku mendapat respons raut wajah terkejut dari lawan bicaraku. Aku tahu, sekali seseorang menjalin hubungan kekasih, dia tidak akan punya banyak waktu untuk bermain bersama teman-temannya. Dan aku melihat itu di Naomi.

Aku bisa memerhatikan Naomi hampir tidak pernah mengobrol atau bermain dengan Sora lagi, seolah seluruh waktunya dia dedikasikan hanya untuk Kevan.

Aku agak marah dengan kenyataan ini.

"Siapa yang ninggalin Sora sendirian? Aku cuman... karena aku udah pacaran sama Kevan, makanya aku lebih banyak ngabisin waktu sama dia." Naomi tampak gelisah. Dia menatap ke arah lain sembari memegang lengannya, seolah sedang menyembunyikan gugupnya.

Benar dugaanku. Meski dia berkata tidak meninggalkan Sora, gelagatnya malah berkata sebaliknya.

Gadis pemalu itu dipaksa mengisolasi diri karena tidak punya siapa-siapa lagi selain dua orang sahabatnya yang kini menjalin status sebagai pasangan kekasih. Hatiku terasa terbakar.

"Loh, Faizan?"

Mendengar suara seseorang memanggil namaku, aku refleks menoleh. Begitu berbalik badan, seorang figur gadis mungil dengan rambut hitam panjang diikat ponytail berjalan mendekatiku dan Naomi.

Kedua sudut bibirku segera terangkat, membentuk senyuman manis begitu melihat siapa yang memanggilku.

"Sora? Abis dari mana?" tanyaku, masih belum sembuh dari serangan gadis pujaan hati memanggil namaku dengan suaranya yang lembut.

Sora berdiri di sampingku, memandangiku dengan tatapannya yang polos. Imut sekali.

"Aku abis dari toilet."

Aku mengangguk paham. Saat aku hendak bertanya lagi, aku menangkap raut wajah Sora yang sedikit kurang nyaman. Aku tahu siapa yang dia lihat. Tidak lain adalah Naomi.

Aku tidak bisa menahan diri dan ikut menatap Naomi.

"Halo, Naomi.... Kita sudah lama enggak ngobrol," ucap Sora dengan suara pelan, hampir berbisik.

Naomi mengangguk mengiyakan. "Iya, aku banyak ngabisin waktu buat latihan dan .... " ucapannya tergantung di angin kosong. Aku tahu apa yang ingin dikatakan Naomi.

Naomi mengetahui Sora yang memiliki perasaan kepada Kevan. Dan pada akhirnya Naomi pula yang mendapat dan berpacaran dengan Kevan. Karena itu, akan terasa canggung bila dia menyebutkan nama pemuda itu. Pasti suasananya akan menjadi canggung.

Sebenarnya jika aku bisa bilang, persahabatan mereka berdua berada di antara tali hidup atau mati. Itulah mengapa Sora tidak bisa seterbuka dulu kepada Naomi. Pun untuk sekadar berbicara singkat saja terasa canggung untuk dilakukan karena situasi yang dialami mereka sekarang.

Aku menghela napas kecil lalu mencolek lengan Sora sambil tersenyum. "Sora, nanti pulang sekolah mau jalan-jalan bentar sama aku? Aku tahu tempat enak buat nyantai. Kayak kemarin, aku yang traktir. Mau, ya?" pintaku kepada gadis di sebelahku, berharap dia menyetujui ajakanku.

Jika dibiarkan terlalu lama, bisa-bisa Sora merasa tidak nyaman. Akan lebih baik jika aku membawanya keluar dari situasi ini.

Sora berkedip beberapa kali seraya menatapku, tampaknya agak bingung dengan ajakanku yang mendadak. Maafkan aku, gadis kesayanganku, cuman aku enggak tahan lihat kamu kelihatan enggak nyaman berhadapan dengan Naomi.

"Boleh saja." Jawaban singkat Sora berhasil membawaku naik sampai langit. Aku berusaha menahan diri agar tidak tersenyum lebar dengan berdeham ringan. "Oke, nanti ketemuan aja di gerbang pas pulang."

Mencuri pandangan ke arah Naomi, gadis itu tampak kebingungan dan sedikit sedih. Kasihan sekali, persahabatanmu harus dikorbankan karena seorang laki-laki.

Aku kembali fokus pada Sora. Dengan senyum di wajah, aku berkata, "Yok, aku antar kamu ke kelas. Bentar lagi bel bunyi."

Aku memutar tubuh Sora, menuntunnya pergi ke kelasnya. Dalam pikiranku kini tidak lagi terbesit soal Naomi. Yang menjadi fokusku sekarang adalah Sora dan hanya Sora.

Second Chance To LiveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang