Bagian 2

16 1 0
                                    


Jam menunjukkan pukul 12.40 saat motor matic merah Kia berhenti di parkiran rumahnya. Tanpa melepas helm, Kia langsung masuk ke rumah dan langsung mencari ibunya.

"Iya Kia. Ummi disini, sebentar." Suara Ummi Nisa terdengar di dapur. Melihat ibunya sedang mengambil air, Kia langsung mendudukkan dirinya ke kursi kayu depan meja makan setelah bersalaman dengan Ummi Nisa.

"Udah shalat belum?" tanya Ummi Nisa dengan dua gelas air dingin di tangan yang langsung disambut oleh Kia.

"Udah kok Mi, tadi di rumah Mbak Maryam," kata Kia setelah menghabiskan air di gelasnya. "Yuk Mi, udah siap kan?" lanjut Kia.

"Yuk, tapi nanti anterin Ummi ke toko kue dulu ya Ki, yang di pertigaan sana, mau beli kue untuk temen-temen." Permintaan Ummi Nisa langsung di jawab dengan acungan jempol Kia.

Sesampainya di toko kue, Ummi Nisa langsung masuk dan Kia hanya menunggu di parkiran. Menunggu, membuat pikiran Kia mengulang percakapan di rumah Mbak Maryam tadi.

"Mbak, aku.....aku..., aku lagi ta'arufan!" tukas Rina cepat saat makanan di piring sudah habis. Pernyataannya membuat suasana lenggang sebentar.

"WHATT???" Kia berteriak heboh. " Ups, afwan Mbak." Kia langsung menutup mulutnya yang langsung bereaksi berlebihan.

"Kamu kok nggak kasih tau aku Rin?" cecar Kia lagi, pasalnya dia syok mendengar penuturan Rina yang mendadak ini. Biasanya apapun masalah Rina dia selalu curhat kepada Kia, Rina tipe orang yang terbuka.

"Ya, ini aku kasih tau Ki, sekalian sama Mbak Maryam," jawab Rina sambil mengaduk-aduk puding jagung yang menjadi menu penutup makan kali ini.

"Harusnya kan aku tau lebih awal Rin, ini kabar yang mengejutkan." Kia masih memasang muka kecewanya.

"Masalahnya ini juga baru awal Ki, cuma masih saling kasih cv aja. Nah, sekarang aku kasih tau kamu sekalian aku curhat ke Mbak Maryam, aku lagi galau," jelas Rina.

"Tapi kan..."

"Udah-udah, kalian jangan berantem. Kia jangan su'udzon dulu sama Rina, gak baik kan?" potong Mbak Maryam. Kalau tidak diberhentikan, nanti meja makan akan menjadi meja debat.

"Afwan Mbak, aku syok hehe."

"Ya udah, gimana kalo kita ngobrolnya di ruang depan aja. Lebih santai. Yuk!" ajak Mbak Maryam.

"Jadi gimana Rin? Kok kamu udah ta'arufan aja, mbak kaget juga loh," ujar Mbak Maryam ketika sudah duduk di sofa panjang.

"Cerita dari awal loh Rin!" timpal Kia cepat.

"Gini, weekend kemarin kan aku silaturahim ke rumah sepupuku yang udah nikah akhir tahun itu. Nah, pas lagi ngobrol-ngobrol aku ditanyain kesiapan menikah. Aku jawab lagi proses belajar. Iparku ini nawarin ikhwan yang siap nikah. Aku sih pas dirumahnya belum bisa jawab. Aku perlu izin dari ummi dan abi dulu. Eh, tiga hari setelahnya sepupuku dan suaminya dateng ke rumahku dan nyerahin cv si ikhwannya ke aku, sepupuku juga ngomong hal ini ke ummi dan abi.

"Mereka sih mendukung aja, tapi aku belum izin ke Bang Ahmad, dia belum tau hal ini. Aku juga masih nyusun skripsi Mbak. Jadi aku sekarang galau Mbak," jelas Rina dan langsung menghempaskan badannya ke sandaran sofa setelah kalimat panjangnya.

"Gimana Mbak? Aku harus apa?" Wajah Rina yang sudah berubah dari awal cerita menunjukkan semua perkataannya adalah benar. Padahal, Kia berharap semua cerita Rina adalah fiksi. Kia masih syok. Pembahasan materi halaqohnya saja belum sampai ke bab menikah, dan sahabatnya ini malah sudah mendahului bab pembahasan halaqoh.

"Kalau dari segi mental dan fisik, Rina sudah siap?" tanya Mbak Maryam sambil menggenggam tangan Rina hangat. Disebelah Rina, Kia antusias menunggu jawaban Rina.

"Emm, bisa dibilang siap sih Mbak," jawab Rina sambil menunduk.

"Alhamdulillah kalau begitu, tandanya Rina sudah mengantongi enam puluh persen," kata Mbak Maryam dengan mata yang berbinar. Dia bahagia mendengar kabar ini, salah satu saudara muslimnya sedang berproses menuju kebaikan, menikah.

"Empat puluh persennya lagi apa Mbak?" sambar Kia cepat sebelum Rina menanyakannya.

"Sisanya adalah ilmu pernikahan dan izin keluarga. Tadi kata Rina izin orang tua sudah, tinggal izin kakakmu kan?" tanya Mbak Maryam memastikan.

"Iya Mbak, Bang Ahmad belum tau," jelas Rina.

Suara nada dering telepon terdengar sebelum pertanyaan Kia meluncur. Suara yang berasal dari tas selempang yang dibawa Kia membuat perbincangan terhenti sejenak. Tangan Kia cepat merogoh dan menekan tombol hijau.

"Assalamu'alaikum Mi?"

"....."

"Iya Mi, Kia inget."

"....."

"Masih ngobrol Mi."

"....."

"Iyaa."

"....."

"Hmm, wa'alaikumussalam."

Telepon ditutup, Rina dan Mbak Maryam masih menatap Kia. Ingin mengetahui pembicaraan di telepon.

"Ummi yang nelpon, ngingetin aku. Katanya takut lupa janji kalo lagi ngobrol," jelas Kia yang diangguki oleh mereka.

Mbak Maryam melihat jam besar yang ada di belakang sofa dekat dengan dinding, "udah hampir adzan dzuhur, yuk persiapan shalat, nanti lagi ngobrolnya." Ajakan Mbak Maryam langsung disambut dengan Kia dan Rina yang beranjak ke kamar mandi.

Selepas shalat dzuhur berjama'ah, Kia langsung siap-siap pulang untuk memenuhi janji dengan ibunya. Itupun dengan berat hati karena tidak bisa mendengar obrolan lebih lanjut tentang Rina yang galau.

Mengingat curhatan Rina tadi membuat Kia agak murung. Apalagi kata siap yang dilontarkan Rina, sampai membuat Kia menghela napas. Ingin rasanya dia berlama-lama di rumah Mbak Maryam untuk mendengarkan semua perbincangan, tapi janji dengan Umminya tidak bisa ditunda. Mungkin besok saat pulang kuliah dia akan berkunjung ke rumah Rina. Sepertinya harus.

"Kiaa!" Tepukan dari belakangnya sedikit mengejutkan, hampir saja tubuhnya oleng dan jatuh dari motor jika tidak langsung mengembalikan keseimbangan. Alhamdulillah...

"Ya Allah, Kia, makanya jangan bengong." Ummi Nisa menggelengkan kepalanya heran. Kia hanya menunjukkan barisan giginya yang bisa disebut cengiran.

"Udah yuk, langsung ke tujuan. Jangan ngelamun ya Kia, Ummi gak mau acaranya batal cuma gara-gara kegalauan kamu." Ummi Nisa langsung memasang helm.

"Aku gak galau kok Mi!" jawab Kia dengan bibir yang dikerucutkan.

"Halaah, gak percaya Umi, Ki! Mukamu itu loh," kata Ummi Nisa yang langsung naik ke jok belakang setelah motor keluar dari parkiran.

"Iya deh Mi, Ummi kan selaluuuu benaarrr." Perkataan Kia langsung membuat keduanya tertawa dan setelahnya motor Kia melesat di jalanan yang dipenuhi sinar terik matahari.

Tbc.
°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°

23 Februari 2019

AdzkiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang