Bagian 1

34 1 0
                                    


Ruangan bernuansa oranye yang berukuran sangat minimalis--tapi nyaman ditempati--itu dipenuhi oleh kertas-kertas, klip, lem kertas, origami berbagai warna, bolpoin berbentuk seperti kapsul obat, buku yang berantakan dan beberapa benda lain yang diperlukan pemilik kamar itu. Pemilik kamarnya malah asik membongkar barang yang tersimpan rapi di dalam sudut lemari kamar. Membuang asal barang yang ditemukan jika bukan apa yang dicari, berantakan. Peluh tidak terlihat di semua penjuru dahinya, jelas saja, keringat akan langsung merembes ke pengikat kepala yang dipakainya dan tak sempat bercucuran seperti orang kebanjiran keringat.

"Nah, ketemu juga. Hufftt..... ." Perempuan dengan baju santai itu langsung melangkah ke tempatnya sibuk tadi--yang dikelilingi kertas, klip atau lainnya--dan langsung membuka botol yang didalamnya banyak sekali kertas kecil warna-warni yang tergulung; benda yang dicari tadi.

Gulungan kertas-kertas kecil lolos dari mulut botol dan langsung berhamburan di lantai keramik, menumpuk seperti gunung kecil. "Hemm, banyak juga ternyata," ucap perempuan itu.

Belum sempat jari-jarinya membuka gulungan salah satu dari tumpukan itu, suara nyaring dari handphone yang ditaruh di meja belajarnya membuat ia berdiri sesudah menghela napas, tertunda lagi. Tadi, beberapa kali dia diganggu oleh adiknya yang menyampaikan beberapa kalimat dari ibunya. Menyuruh inilah, menyuruh begini, kesanalah, kemanalah. Menyita sebagian waktu weekend yang sudah dia list dengan beberapa kegiatan.

"Kiaaa!" suara diseberang telepon langsung membuat perempuan itu menjauhkannya dari telinga, bisa budeg.

"Astagfirullah, Ya Allah Naa! Bisa budeg kupingku ini, pelan-pelan! Salam aja belum langsung teriak gitu." Kia langsung meninggikan sedikit nada suaranya dan membuat Rina diseberang telepon terkekeh dan meminta maaf.

"Kenapa Na? Aku lagi sibuk nih!" Kia berdiri lalu menuju kasur dan merebahkan badannya sambil terus fokus pada sahabatnya yang ceriwis itu. Yaa, walaupun jika mereka sudah mengobrol Kia pun juga sama ceriwisnya dengan Rina. Cocok.

"Kan ini hari Ahad(baca: Minggu) Kia, masih ngerjain skripsi? Bukannya kemaren kamu udah ngasih bab 4 ke Pak Samsul? Emang udah di tanda tanganin?" Rina heran, pasalnya hari jum'at kemarin sebelum waktu shalat jum'at dia mengantarkan Kia ke dosen pembimbing untuk menyerahkan print out bab 4 sahabatnya itu. Biasanya dosen semi galak itu akan mengabarkan setidaknya seminggu setelah dikumpul, tidak ada kata cepat dengan dosen itu, harus sabar menunggu.

"Ya enggaklah Na, bab 4 aja belum tanda tangan gimana bisa lanjut! Ini mah biasa hobiku Na! Weekend." Kia mengakhiri kalimatnya dengan terkekeh pelan dan Rina meng-oh-kan dari seberang telepon. Matanya cepat melihat jam dinding merah yang tergantung di atas jendela kamar. 09.28

"Jadi?"

"Gini, Kia. Temenin aku ya ke tempat Mbak Maryam? Aku mau ada yang diomongin sama beliau. Gimana Ki? Bisa ya!" Nada Rina terdengar memaksa di telinga Kia.

"Emmmm...." Kia masih berpikir. Sebenarnya masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan.

"Ya Kia ya? Aku gak enak kalo sendirian kesana. Malu juga." Rina terus membujuk sahabatnya itu.

"Rin, aku emang sibuk, tapi kalo ini mendesak gak papa deh! Aku temenin kamu." Kia menjawab mantap, ah, kalo masalah bantu-membantu orang lain apalagi sahabatnya, dijabanin olehnya. Pahala.

"So sweettt, Jazakillah khayran Kianya akuuhhh..." Rina mesam-mesem diseberang telepon karena merasa dispesialkan sahabatnya. Rina selalu bersyukur atas nikmat yang satu ini dari Allah, mempunyai Kia sebagai sahabatnya.

"Waiyyaki dear. Tapiiii, sesudah Dzuhur aku langsung pulang, mau nganterin Ummi ke pengajian. Jangan lama-lama ya Rin. Aku jemput kamu lima belas menit lagi, siap-siap ya!" Telepon ditutup setelah Rina meng-iya-kan perkataan Kia. Kia langsung beringsut mengambil baju dan kerudung, bersiap-siap dan meninggalkan kamar dalam keadaan semua berserakan. Nanti dilanjutin lagi.

AdzkiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang