Tahun 2004 saat dimana Binder menjadi hal yang paling populer di kalangan anak perempuan seusiaku. Binder adalah buku dengan besi melingkar panjang untuk memasukkan kertas berwarna yang memiliki bolongan ke dalamnya, dan sebagian besar anak perempuan di sekolahku akan berlomba-lomba untuk memperbanyak kertas berwarna tersebut kemudian mereka akan saling tukar menukar dengan anak perempuan lainnya, bila terlahir di akhir abad ke-20 kau pasti tahu, tidak peduli seberapa bagus dan mahalnya binder yang kau punya jika kau tak memiliki kualitas kertas yang bagus dan langka maka kau bukanlah anak yang memiliki binder terbaik. Seperti diriku aku tak mempunyai binder karena itulah aku tak bergaul dengan anak-anak perempuan di sekolahku, tidak juga dengan anak-anak perempuan seusiaku di rumah. Itu semua karena Arya, anak laki-laki yang pindah dua tahun yang lalu ke kampung tempatku tinggal, tepatnya di depan rumahku. Saat itu usiaku 8 tahun dan aku masih bermain binder seperti anak perempuan lainnya. Arya dan keluarganya datang dengan mobil besar berwarna silver yang memantulkan sinar matahari ke wajah ayahku sehingga ayahku terhenti dari kegiatan mencuci mobil sedan kecil kesayangannya.
"Lula kemari!", perintah ayah, aku pun mengikutinya.
Aku memandangi ayah dengan wajah aneh penuh tanya sama seperti ayah ditambah kepalanya menggeleng-geleng takjub seakan-akan ia sedang menyaksikan berita-berita di tv atau sedang menyantap masakan ibu, meski sudah lama menikah ayah selalu merasa terkesan dengan masakan-masakan ibu yang begitu lezat dia akan menggeleng-gelengkan kepalanya terheran-terheran ketika menyeruput kuah sop ayam atau mengunyah daging rendang yang ibu masak, entah mantra apa yang telah ibu bacakan di masakannya sehingga ayah selalu merasa takjub dengan masakannya.
"Lula apakah kamu tahu?", tanyanya sambil menyandarkan punggungnya di bagian depan mobil, aku menggeleng tentu saja aku tidak tahu ia bahkan belum memberi tahu apapun kepadaku.
"itu mobil belum diperjual belikan di pasaran luas di Indonesia ckckck", aku tidak mengerti maksud ayahku sampai akhirnya aku berteman baik, sangat baik dengan anak laki-laki itu.
Maksud ayah pada hari itu adalah bahwa keluarga Arya ialah orang yang mampu membeli segala keinginan mereka, aku tak mengerti begitu jelas pekerjaan orang tua Arya, yang pasti setiap pulang sekolah Arya akan singgah ke rumahku dahulu, lebih tepatnya Arya pulang bersamaku. Orang tua Arya sangat sibuk terlebih ayahnya, ayah Arya sangat jarang berada di rumah ataupun ketika sudah di rumah ayahnya akan pergi tanpa memperhatikan waktu. Seperti di saat dua tahun yang lalu ketika kulihat pertama kali Arya menangis di tengah malam buta memecahkan cermin-cermin yang kulihat di dalam mimpiku, aku bangun dengan perasaan marah karena tangisan Arya begitu kencang, kuberanikan diri untuk turun dari ranjang dan kugeser tirai jendela kamarku, perasaan jengkelku pun redam ketika melihat begitu menyedihkannya menjadi Arya pada saat itu. Ayahnya dengan balutan seragam putih hitam tanpa memalingkan wajahnya kepada Arya yang sedang menangis tersedu-sedu di belakangnya, pergi begitu saja menaiki mobil silver yang menarik perhatian ayahku saat pertama kali mereka datang dengan kecepatan tinggi. Keesokan harinya sekitar pukul 05.30, kulihat Arya dari balik jendela kamarku sedang berlari dan bersembunyi di rimbunnya tanaman bunga ibuku, aku terkekeh geli melihatnya. Aku sudah terbiasa bangun sangat pagi-pagi sekali, di saat sebelum bulan meninggalkan langit pagi. Terbiasa karena ayah selalu memaksaku untuk ikut salat subuh bersama. Tubuhnya masih dibaluti pakaian tidur yang kusut. Kulihat di seberang sana ibunya sedang membawa piring dengan mulut yang penuh dengan makanan, sambil memanggil Arya dan dengan lagat kebingungan.
"Arya", pekik ibunya kencang, pada saat itu kutahu bahwa nama anak laki-laki dengan warna kulit kuning gelap dan hidung bangir itu adalah Arya. Aku keluar dari kamarku dan berjalan mengendap agar tak diketahui oleh ayahku yang sedang menonton berita olahraga di balik sofa besar yang membelakangi kamarku.
"hai!", sapaku sambil menyentuh bahunya pelan. Aku ingin tertawa terpingkal-pingkal saat itu juga ketika melihat wajah badutnya. Lalu ia memelototiku sambil memberi isyarat untuk diam. Tak lama kemudian kulihat ibu dibalik jendela sambil menyandang tas biru langit warna kesukaanku, aku tahu pasti ibu sedang mencariku untuk menyuapiku sarapan.
"jangan takut", ujarku pada Arya, dia masih dengan wajah tegang karena terkejut akibat kusapa tadi, "ayo sini", ajakku setelah menjauh darinya menuju pohon kamboja di sebelah kiri rumahku, dia mengikutiku, kami berlari saat ibu Arya pergi ke halaman belakang rumahnya untuk mencarinya. Kuberanikan diri untuk memanjat pohon itu, adalah kali pertama aku memanjat pohon besar sarang para dedemit dan hantu yang ayah katakan saat aku tak mau salat hanya karena ingin menyelamatkan anak laki-laki yang belum kukenal. Arya mengikutiku secepat mungkin agar tidak ketahuan oleh siapa pun.
Kami melihat betapa khawatirnya wajah ibu Arya, seperti itu pula yang kutemukan di wajah Arya. Kemudian kulihat ibu keluar dari balik pintu rumah mengamati sebentar rumah yang ada di seberang rumah kami, lalu kulihat ibu menghampiri ibu Arya. Terjadilah percakapan antara ibuku dan ibu Arya kulihat Ibu Arya memberikan penjelasan secara detail apa yang terjadi, terlihat dari gerakan tubuhnya.
"aku tak mau pergi sekolah", akhirnya anak ini membuka mulutnya, batinku. Aku diam tak menjawab, aku hanya memperhatikannya, Tapi di seberang sana kulihat ibuku mengelus-elus bahu lawan bicaranya.
"kau harus sekolah", jawabku akhirnya, "ibumu menangis, mungkin karena kau tak mau pergi sekolah", tambahku polos. Akhirnya akupun meninggalkannya sendiri di atas pohon itu dan berlari ke arah ibuku sambil memeluknya, aku tak pernah membuat ibuku menangis selama ini akibat kenakalanku. Aku memeluknya sambil memandang ke arah Arya yang masih duduk di cabang pohon yang cukup tinggi, cukup untuk bersembunyi.
"hai gadis", sapa wanita yang tak lain adalah ibu Arya dengan nada sendu namun terlihat diceriakan. "hai tante", ibuku membalasnya "ayo bilang!", ibuku memaksaku. Aku hanya tersenyum sambil mengayunkan tangan ibuku. Tak lama kemudian Arya turun dari pohon itu dan berlari ke arahku. Ketika melihat Arya ibunya pun berlari ke arahnya dan memeluknya. Aku menatap Arya dari celah antara pinggang dan lengan ibuku. Ibuku menyapa Arya, Arya hanya memasang wajah datar.
"kamu dari mana nak?", tanya ibuku. Arya hanya menggeleng.
Arya mengguncang-guncang lengan ibunya, ya seperti anak kecil pada umumnya ketika ingin meminta sesuatu.
"aku mau sekolah asal satu sekolah sama dia", pinta Arya lucu.
"ya kamu akan satu sekolah dengan dia", jawab ibuku. Betapa lucunya Arya. Kampung ini tidaklah besar, hanya ada satu sekolah dasar di kampung tempatku tinggal, kami akan belajar di sekolah yang sama jika memang benar Arya memilih untuk masuk sekolah dasar di kampung ini.
"Lula sekolah di SD mana mba?", tanya ibu Arya sambil menyebut namaku. YA ibunya telah mengetahui namaku dari ibuku, begitupun Arya. Sama sepertiku yang mengetahui namanya dari ibunya.
"di sd 017 Mereka", jawab ibuku, "di kampung ini cuma ada satu sekolah dasar, satu sekolah menengah pertama, dan dua sekolah menengah atas", "kalau Arya daftar di sd 017 merdeka pasti akan satu sekolahan sama Lula, kecuali kalau Arya sekolah di kampung sebelah", tambah ibuku. Jarak satu kampung ke kampung lainnya tidak terlalu jauh hanya perlu menempuh waktu 20 menit-an. Ada 194 kampung di kabupaten Indragiri Hulu dan kampungku terletak di bagian paling ujung di perbatasan antara kabupatenku dan kabupaten lainnya.
"ma Arya didaftarin sekolah di sana kan?", ibunya tersenyum dan meng-iyakan. Entah kenapa aku pun ikut mengharapkan jawaban itu dan merasa gembira.
"yeeee", soraknya gembira. Begitupun aku ikut gembira dan tersenyum.
"namaku Arya, Delula", dengan ceria ia berlari kecil ke arahku dan mengulurkan tangannya.
"namaku Delula, Arya", balasku.
Hari itu adalah hari yang amat berkesan dalam ingatanku, hari dimana kepala dan hatiku mulai bekerja untuk selalu mengingat hari itu. Hari dimana anak laki-laki berbaju tidur berlari ke rumahku dan kemudian sembunyi di rimbunnya tanaman ibu, hari dimana aku pertama kali memanjat pohon kamboja di halaman rumahku. Hari dimana aku menemukan teman laki-laki pertamaku yang bernama Arya.
Upload tiap akhir pekan ya. Terimakasih sudah menyempatkan untuk membaca coretan-coretan beralur ini 😊🙏💓