Surau Kampung Elok

21 1 0
                                    

2004, saat binder masih menjadi barang populer.

Seperti biasa pada pukul Lima tepat aku sudah terbangun dari tidurku, tadi malam aku tak bermimpi sebab aku tak memikirkan hal apa pun dan sedang tidak bermain di siang harinya, ibu bilang mimpi terjadi akibat otak terlalu aktif berpikir pada saat terjaga atau ada aktivitas-aktivitas yang berkesan di memori kepalaku sehingga otakku meresponnya dan terjadilah mimpi yang berkaitan dengan aktivitas atau hal yang aku pikirkan sebelum tidur, berbeda dengan ibu, ayah berkata adanya mimpi itu karena aku tak baca doa sebelum tidur sehingga aku mengalami mimpi-mimpi yang buruk dan ketika aku berusaha menyangkal ayah bahwa mimpiku indah walaupun aku tak baca doa, ayah kembali menjawab bahwa itu hanya tipu muslihat setan dan jin jahat agar aku sulit untuk terjaga di subuh harinya. Ayah dan Ibu memang berbeda namun tidak selalu.

Hari ini adalah hari minggu, sudah menjadi budaya di kampungku bahwa anak-anak yang berumur lima sampai sepuluh wajib ikut kajian subuh di surau kampung, yang mengajar adalah ayahku, ayah bilang agama itu harus ditanamkan ke hati sejak kecil agar kelak besarnya tak mudah melawan orang tua,itulah jawaban ayah atas pertanyaanku ketika aku berusia lima tahun.

"Lula jangan tidur lagi", teriak ayah pelan dari ruang tv.  sehabis dari masjid seperti biasa ayah harus menyeruput secangking kopi buatan ibu sembari menunggui anak-anak kampung berkumpul di masjid. Ayah bilang kepalanya akan pusing kalau tidak minum kopi buatan ibu. "iya sebentar yah, lagi cari iqro, iqro Lula hilang", jawabku. Aku masih membongkar-bongkar rak bukuku mencari iqro lamaku yang sudah sejak lima tahun yang lalu kukhatamkan.

"cari apa nak?" , entah mengapa sejak Arya sering mengagetkanku dengan kedatangannya yang terus menerus secara tiba-tiba aku selalu merasa terkejut saat ada orang yang spontan menyebut namaku, seperti di subuh ini ketika ibu menanyaiku dari celah tirai kamarku.

"cari iqro ibu", jawabku pelan sambil menatap ibuku lembut. Ayah bilang jika ditanyai seseorang orang harus segera dijawab dengan nada yang sopan lagi halus agar orang yang bertanya merasa dihargai dan dihormati oleh orang yang ditanyai.

"lah bukannya Lula dah baca al quran", tanya ibu bingung dengan aksen melayu di suara ramahnya.

"iya bu, Lula mau kasih ke Arin, kasian iqro dia sudah sobek-sobek", jawabku.

"kamu yakin?", tanya ibu kembali meyakinkan. Aku hanya mengangguk. "tapi itu kamu beli setelah menabung dua bulan La".

"tak apa ibu", jawabku.

Perlu waktu lima menit lebih setelah ibu meninggalkanku untuk mencari iqro lamaku, semua tempat penyimpanan buku sudah kuperiksa bahkan kardus-kardus usang berisi buku-buku sekolahku tiga tahun yang lalu sudah keluar dari tempat bersemayamnya.

"Subhanallah Lula, dah macam kapal pecah aja kamar mu ini", lagi-lagi suara ayah membuatku mengelus dada. Aku hanya tertawa cengengesan.

"apa hal yang tengah kamu cari ini?", tanya ayah kental dengan aksen melayunya.

"iqro lama Lula yah", jawabku.

"dah lah dah, sempat pula ayah ngopi dua gelas karena menunggu kamu ini, mari cepat matahari sudah mau naik tu", ujar Ayah terakhir sambil menunjuk jendela kamarku sebelum kami beranjak meninggalkan kamarku dan rumah menuju surau.

"ibu kita orang berangkat dulu ya", pekikku dari halaman rumah.

"Ya! jangan beli sarapan di Bi Atik ibu dah masakkan nasi goreng", balas ibu dari dalam rumah, aku dan ayah hanya tertawa cekikan. Bi Atik adalah penjual lontong ia adalah seorang transmigran dari pulau Jawa, pembawa resep masakan jawa nan ajaib yang menyihir orang-orang untuk sarapan di kedainya dengan lontong kacang, menu yang paling juara di kedainya.

Genre Cinta DelulaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang