Entah mengapa malam ini lebih gelap dari malam-malam sebelumnya, bintang tidak bertebaran layaknya pasir-pasir di tepi sungai kampung seperti biasanya, kulihat juga bulan malam ini cahayanya meredup bagai bohlam lampu tua berdebu yang dipasang di gudang rumah Arya. Apakah seperti ini cita rasa kesendirian karena semua yang terlihat seperti tak kulihat. Sudah satu minggu lebih dua hari Arya tak kelihatan bahkan rumahnya kembali sepi seperti dulu sebelum Arya dan keluarganya pindah ke sana, bedanya kali ini rumah itu terurus dan rapi.
Kurasakan sentuhan hangat di pundakku, angin yang menyelinap ke sela-sela ventilasi jendela menambah kesan merinding di sentuhan itu.
"kok murung sih?", suara lembut ibu menyadarkan lamunanku.
"ini bu, Lula bingung aja kok langitnya gak cerah ya? apa karena hujan mau turun ya? rasanya kok gelap gitu", tanyaku beruntun sambil merapikan dudukku yang tadi tak tentu arah.
"ah masa sih Lula?", ibu malah balik bertanya. Lalu ia menyibak gorden dan membuka kembali jendela yang tadi sudah kututup.
"enggak kok Lul, itu disana ada bintang, itu juga, nah itu ada lagi, malam ini terang kok, bulannya bulat sempurna, sinarnya pun merekah merona, cuma ya kalau kamu lihat keluar dan hanya memerhatikan rumah Arya saja pantas kalau kamu bilang malam ini gak cerah, sepi, gelap, dan muka kamu bawaannya murung aja, mereka kan pada pergi lampu rumah ya dipadami", tukas ibu sambil menutup kembali jendela kamar.
"kamu kangen main bareng Arya ya?", tanya ibu mengejutkanku. Aku jawab dengan gelengan spontan.
"Lula ya cuma bingung aja bu, kok Arya lama banget izin sekolahnya beberapa hari lagi kan ujian kenaikan kelas"
"hmm kamu bertanya tentang pertanyaan yang gak bisa ibu jawab sayang", ujar ibu ketika selesai menutup jendela dan duduk di pinggiran ranjang.
"tapi ya mungkin jawaban satu-satunya karena Arya kan jarang bertemu ayahnya, paling mereka ke kota pergi liburan karena kebetulan ayah Arya juga sedang cuti kerja", terka ibu.
"memangnya ayah Arya itu kerja apa sih bu? sesibuk apa sih? sampe berbulan-bulan gak pulang, kalau pulang cuma seminggu ya paling lama dua minggu, gak kasihan apa sama si Arya dan ibunya", tanyaku kesal. Ibu menjawabku dengan mengangkat dua bahunya dan menaikkan alis sebelah kanannya. Namun akhirnya menjawab.
"Ayah Arya itu punya usaha di kota makanya jarang pulang, harus siap sedia kalau dibutuhkan, makanya tetap tinggal di kota, ya sudah Lula tidur aja, besok kan harus sekolah jangan lupa wudhu dulu dan baca doa sebelum tidur ya", perintah ibu.
"masih juga jam sembilan bu", bantahku halus.
"biar besok subuhnya gak telat, kita jamaah ke masjid, ada pengajian", tambah ibu. Aku membulatkan mulutku paham sambil menggagukkan kepala.
Perlahan lampu kamarku mulai meredup bersamaan dengan kelopak mataku yang kututup. Selamat bertemu mimpiku, sampai jumpa esok pagiku. Batinku.Aku tersentak kaget, di balik semburat cahaya yang masuk secara sembunyi-sembunyi ke ventilasi pintu kamarku. Kulihat secara samar Arya duduk di sampingku, aku tidak melihat dengan jelas bahwa anak kecil ini adalah Arya, tapi yang meyakinkanku bahwa ia Arya adalah bentuk tubuh dan rambutnya yang terlihat tajam seperti bulu-bulu landak.
Aku sangat yakin ini hanyalah mimpi, seperti yang selalu ibu bilang tentang mimipi bahwa aku terlalu sering memikirkan Arya sehingga ia hadir dalam mimpiku. Aku tak berusaha menolak mimpi itu. Aku hanya diam melihatnya yang terus tersenyum. Lama dan kalut, aku melihatnya tanpa memberi respon apapun, rasanya mimpi indah ini berganti alur menjadi mimpi buruk. Aku berpikir bahwa anak yang sedang duduk di depanku ini bukanlah Arya melainkan hantu yang menyerupai Arya. Aku berusaha mengingat bahwa tadi sebelum tidur aku sudah baca doa, seperti yang selalu Ayah sampaikan. Tapi bibir yang awalnya memberikan senyuman manis, kini melengkung dan melewati batas senyuman manis, kini senyuman itu menjelma menjadi senyuman menakutkan. Kurasa dia benar-benar bukan Arya. Tapi dia adalah.
"Hantu!!!". Pekikku lantang sambil menendang angin.
Kini aku benar-benar telah sadar seratus persen dengan napas yang memburu dan mengantri untuk keluar dari sistem pernapasanku. Kuberanikan diri untuk berdiri dan menyalakan lampu, kuperhatikan setiap sudut kamar dan berjalan menuju jendela, kutarik sedikit gorden yang menutupi jendela dan kuintip melalui cela-cela kecil penutup kayu jendela kamarku. Rumah Arya masih sama seperti sebelum aku tidur. Gelap dan hening. Di malam yang pekat ini rumah itu sudah tampak seperti rumah hantu bagiku.
"kapan ya tante Risma dan Arya pulang? ". Gumamku.
Tak berniat untuk kembali tidur, aku memutuskan untuk menunaikan salat malam seperti yang selalu ayah anjurkan. Aku masih belajar untuk melaksanan salat tahajud hanya sesekali, jika aku berani untuk berjalan sendiri ke kamar mandi, seperti malam ini.
Ayah bilang menengadahkan tangan di tengah malam adalah jalan pintas untuk menggapai hajat dan ampunan Tuhan dari jalan-jalan yang biasa dilalui kebanyakan orang. Pada saat ayah menjelaskan dengan pemahamannya yang pasti, kukeluhkan padanya betapa sulit untuk terjaga malam. Saat mata tak sejalan dengan akal dan hati. Kemudian dengan sabar pula ayah memberikan contoh-contoh konkret orang-orang yang memperoleh kemenangan setelah menjadikan salat tahajud menjadi rutinitas tak terlupakan. Aku berharap aku dengan rela mengerjakannya.
"eh Lul belum tidur?" Tanya Ayah terkejut melihatku. Matanya membelalak membuat tangkai kaca mata tipisnya kendur beberapa senti.
"hmm?" aku Masih urung menjawab pertanyaan Ayah yang sedang membaca buku untuk persiapan besok mengajar-seperti yang biasa Ayah lakukan tiap malam.
"Ayah kok belum tidur?", tanyaku dengan kantuk yang merorongrong hingga mulutku.
"ini masih memeriksa jawaban ujian anak-anak kelas 6" , jawab Ayah membantah terkaanku beberapa detik yang lalu. Kini Ayah kembali mengabaikanku berkutat dengan kertas-kertas yang menunggu untuk diberi angka penilaian. Aku mematung sementara sembari mata Ayah yang mulai sayu di balik kaca mata bulatnya. Ada yang aneh. Batinku.
"tumben sekali yah, biasanya kalau Ayah memeriksa lembar jawaban itu di kamar karena takut aku bocorkan di sekolah sebelum waktunya". Sejak ulahku yang membocorkan nilai ulangan beberapa tahun lalu ayah tak pernah lagi memeriksa lembar jawaban di depan televisi.
"hmm, benarkah?", jawab Ayah seperti lupa dengan kebiasaannya. Mungkin Ayah terlalu mengantuk. Pikirku.
"sudahi saja pak kalau sudah lelah" teriakku dari arah dapur.
***
Kusudahi salat malam ini dengan dua kali salam. Kuhirup kembali oksigen yang kudapati secara percuma sambil memetik biji-biji tasbih seritme dengan jarum detik pada jam. Subhanallah Wa bihamdihi Subhanallahil Azim.
Kuputar memoriku kembali memasuki lorong-lorong waktu. Membolak-balik lembaran kenangan beberapa tahun lalu. Kemudian mencari-cari celah agar aku dapat mengulang setiap adegan ketika aku berbuat kesalahan pada Ayah, Ibu dan kerabatku. Betapa mudahnya setan menyadap hati dan pikiran manusia agar dapat berandai ini dan itu. Padahal apa yang terjadi hanya dapat dijadikan pelajaran bukan penyesalan yang berlebihan sehingga membuat manusia berandai-andai agar masa lalu dapat diulang kembali supaya tak tercipta penyesalan di masa nanti. Itulah yang kini bergejolak dihatiku. Aku menangis, mengingat semua itu. Andai saja hari itu tak terjadi mungkin aku tak perlu memendam segala hal yang pernah terjadi setelah aku tak bersamanya lagi.
Aku bangkit dari salatku, kulipat perlengkapan salat dan kembali ke kasur. Mataku masih tak dapat dipejamkan. Pikiranku berkelana mencoba mencari persetujuan dengan akalku bahwa yang kulihat sembari tidur tadi hanyalah sebuah mimpi, tapi tubuh yang kulihat seperti Arya itu terasa asli, terlebih lagi dia menggumamkan sesuatu yang berulang kali kuulang agar aku dapat mengingatnya dengan jelas. Mungkinkah tadi dia menyebutkan nama Ayah ketika dia duduk di kasurku tadi, tapi mengapa sepersekian detik kemudian wajahnya berubah seperti menakutiku. Menyeramkan sekali. Semoga hanya mimpi. Ah tidak tapi seperti nyata. Tapi kenapa Ayah malam ini memeriksa lembar jawaban di ruang keluarga. Seperti itulah perdebatan di dalam pikiranku.