Di suatu malam berkumpul satu keluarga di dalam rumah, yang terdiri dari tiga anak dan dua orang tua. Anak pertama bernama Lala, yang kedua bernama Lili, dan yang paling bontot bernama Lila. Lala sudah kelas tiga SMA, sedangkan Lili baru masuk SMA, sementara Lila, masih berada dibangku kelas dua SMP.
"Bu, lihat tuh anak-anak kita. Mereka sepertinya kesepian."
"Loh, kesepian kenapa yah? Ibu liat mereka sedang fokus belajar, enggak ada yang kesepian."
Percakapan tersebut terhenti, setelah PLN kembali melakukan pemadaman di rumah itu. Alhasil Lala, Lili dan Lila lebih memilih pergi ke kamar masing-masing karena tidak bisa melanjutkan belajar.
"Dasar PLN, minta bayar tepat waktu, tapi suka matiin aliran listrik enggak tau waktu."
"Sudahlah bu, mending kita ke kamar juga. Lagian ini sudah malam, bisa sekalian istirahat."
Di dalam kamar yang gelap gulita, dua orang tua tersebut kembali melanjutkan pembicaraan.
"Jadi ibu enggak merasa kesepian? Maksud ayah, kita kan enggak punya anak laki-laki. Anak-anak kita sekarang, semuanya adalah perempuan. Lala, Lili dan Lila juga pasti menginginkan punya saudara laki-laki, memang ibu enggak mau?"
"Oh, jadi itu maksud ayah. Tapikan ayah tau, ibu udah merasa enggak kuat, khususnya secara fisik untuk punya anak lagi."
"Iya ayah tau, jadi solusinya gimana bu? Boleh gak ayah nikah lagi?"
"ayah mau nikah lagi? Karena mamah enggak bisa melahirkan anak laki-laki, ayah tega mau ngelakuin itu?"
"Bukan begitu bu, tapikan ibu tau. Kita hidup di dunia ini Cuma sebentar, ayah cuma mau ngerasain punya anak laki-laki, yang bener-bener lahir dari darah daging ayah sendiri."
Tiba-tiba suara hening, dua orang tua itu diam seribu bahasa. Khususnya sang ibu, yang masih memikirkan keputusan itu.
"Baiklah yah, jika ayah mampu menafkahi ibu lahir batin, menafkahi anak dengan baik, serta berbuat adil. Ibu rela membiarkan ayah berbagi hati dengan wanita lain, karena ibu juga sadar dan tau diri, tidak bisa memberikan keturunan anak laki-laki yang seperti ayah minta."
Percakapan tersebut diakhiri dengan sebuah keputusan tak terduga, sang ibu mengizinkan sang ayah untuk berpoligami, hanya dengan alasan ingin memiliki anak laki-laki. Betapa tegar hati seorang istri yang mencoba patuh dan taat kepada suami. Senada dengan itu, PLN kembali menghidupkan aliran listrik. Seluruh ruangan menjadi terang kembali, termasuk kamar kedua orang tua ini, hingga keduanya mulai bisa saling melihat raut wajah masing-masing.
"Bu, ibu. Ibu menangis?"
*******
Satu Tahun Kemudian...
"Selamat ya sayang, ibu bangga sama kamu. Akhirnya kamu lulus dan mendapat nilai yang baik."
"Iya ibu, Alhamdulillah."
"Selamat ya kak Lala."
"Iya Lili, Lila, makasih ya."
"Oiya, ayah kemana bu?" Tanya Lala. "Katanya ayah mau hadir di acara wisuda aku." Tambahnya.
"Ayah masih di rumah sakit nak, kabarnya bu Salma mau melahirkan."
"Yang bener bu? Horeee kita bakal punya adik laki-laki." Ucap Lila kegirangan.
Dalam rasa yang tak sempat diutarakan jiwa
Berdiam, dalam genangan duka
Membisu, dalam selimutan hampa
Membiarkan kamu, berbahagia bersamanya
Mungkin pesan dari penggalan puisi tersebut, yang kini ada di benak sang ibu. Ia hanya bisa diam, ia hanya bisa menyaksikan. Ayah tercintanya sebentar lagi juga menjadi ayah dari istrinya yang berbeda, Salma.
Sementara di dalam ruangan rumah sakit, tim dokter sedang melakukan persalinan. Terdengar suara rintihan jerit kesakitan dari Salma, karena baginya ini baru yang pertama kali.
"Semoga kali ini seorang anak laki-laki." Ucap sang Ayah, yang menyaksikan dari luar ruangan.
Tak lama, terdengarlah suara tangisan bayi. Suara kesakitan Salma pun seketika hilang. Dari balik kaca, sang ayah melihat Salma memeluk bayi tersebut, yang masih menangis keras tapi sehat.
"Selamat pak, bayinya sudah lahir, silahkan masuk kedalam untuk mengadzani sang bayi." Ucap dokter pada sang ayah. "Baik dok, oiya bayinya laki-laki atau perempuan?" Tanya sang ayah. Dengan diawali senyuman, dokter menjawab. "Bayinya cantik seperti mamanya".