Chapter 4
Suara tangisan kedua anak Bayu memecah keheningan pagi ini, keduanya menangis lantaran lapar. Bayu pun kerepotan, terlebih ia harus berangkat kerja. Sementara jam sudah menunjukkan pukul 06.40 tapi Ayu belum juga datang. Bayu pun terpaksa untuk membuatkan susu terlebih dahulu, suatu pekerjaan yang seharusnya hanya butuh waktu sekian menit. Dilakukan oleh Bayu hampir 10 menit lamanya, lantaran ia memasak air panasnya terlebih dahulu. Suatu kerepotan yang ia tak bisa bayangkan jika harus dilakukan setiap hari, betapa ia ingin memiliki istri (lagi).
Dua botol susu telah terseduh, Bayu langsung memberikan kepada kedua bayinya. Namun anak bontotnya yang ia beri nama Ezra itu masih tetap menangis, berbeda dengan putrinya yang sudah terdiam setelah diberi susu.
"Duh, kenapa kamu nak? Susunya tak enak kah? Itu lihat kakakmu Azkiya, sudah tak nangis dan asyik minum susu." Ucap Bayu.
Meskipun kedua anaknya hanya berselisih satu tahun, Ezra yang masih berusia 6 bulan dan Azkiya yang sudah berusia 1,5 tahun. Bayu tetap berusaha untuk memberikan asuhan terbaik baik keduanya. Tak memandang bayi laki-laki atau perempuan, seperti yang dulu ia pernah permasalahkan.
Beruntung, saat sedang dalam kondisi kerepotan. Ayu datang sambil memberi salam. Namun bukan salam balik yang ia terima, tapi tangis Ezra yang justru semakin keras.
"Akhirnya kamu datang, aku sudah beri dia susu tapi kenapa tetap nangis ya?" Tanya Bayu.
"Duhh, Mas. Coba kau lihat ini." Jawab Ayu sambil memperlihatkan bagian bawah Ezra. "Dia ini habis pipis, popoknya sudah harus diganti. Dia nangis terus karena sudah tidak nyaman." Tambah Ayu. Bayu pun hanya mengangguk-angguk mendengarnya.
Setelah merasa permasalahannya telah tertangani oleh Ayu, tanpa pikir panjang Bayu langsung bergegas menuju kantor. Dengan sepeda motornya, ia laju dengan kencang lantaran tak ingin terlambat. Setelah 45 menit perjalanan, Bayu pun sampai.
Dikantor, ia seperti melihat seseorang yang tak asing baginya. Sedang duduk anggun seperti menunggu sesuatu. Bayu pun menghampiri, dan betapa kagetnya ia ternyata itu adalah Lala.
"Lala?" Panggil Bayu dengan nada penuh keheranan.
"Ayah?" Jawab Lala yang juga dengan nada heran.
Ayah dan anak itu pun berpelukan, layaknya seseorang yang telah lama tak berjumpa.
"Kamu sedang apa di sini?"
"Sedang menunggu giliran interview kerja, Yah."
"Dibagian apa?"
"Customer Service"
Obrolan itu sempat terhenti, setelah Lala mendapat giliran di interview. Sementara Bayu memilih diam ditempat menunggu anaknya itu selesai. Selang beberapa menit, sosok Lala kembali muncul di hadapan Bayu. Tak ingin membuang kesempatan yang ada, Bayu yang kini mencoba untuk menginterview Lala.
"Bagaimana kabar dirumah?"
"Semua baik-baik saja, Yah. Sekarang Lili juga sudah lulus SMA, dan Lila baru kelas 2 SMA. Sementara Ibu, semakin sukses dengan bisnis pakaiannya."
"Alhamdulillah, lalu kenapa kamu tidak ajak Lili melamar kerja juga di sini?"
"Dia tidak mau, katanya mau membantu Ibu saja mengurus bisnisnya. Lagi pula, melamar di sini sebagai Customer Service kan minimal D3 Yah. Kayak aku yang Alhamdulillah sudah menyelesaikan kuliah D3."
Mendengar itu, raut wajah Bayu berubah. Ia merasa gagal menjadi Ayah yang baik. Ketika kesuksesan anak-anaknya itu bukan dari hasil jerih payahnya. Ia pun menundukkan kepalanya tanda menyesal.
"Tapi, Yah." Lanjut Lala. "Aku kasian dengan keadaan Lila, berhubung Lila yang paling sering berada dirumah. Lila sering mendapat perlakukan tak mengenakan dari Pak Bobi, suami kedua Ibu."
Sontak kepala Bayu kini terangkat, dan wajahnya kini dihiasi kemarahan.
"Diapakan Lila sama orang brengsek itu?"
"Jika aku sedang kuliah, sementara Ibu dan Lili berbelanaja bahan-bahan untuk pakaian. Pak Bobi sering menghampiri Lila yang sendirian dirumah. Kata Lila, dia suka dipegang tangannya dan dipeluk dengan pelukan yang berlebihan. Bukan pelukan kasih sayang dari Ayah kepada anaknya. Bahkan Lila hampir pernah mau diciumi bagian bibirnya sebelum akhirnya Ibu datang. Lila tak pernah berani mengadukan itu ke Ibu, karena dia yang akan dimarahi."
Kini, bukan hanya raut wajah Bayu saja yang marah, namun hati dan pikirannya sudah diselimuti amarah pula.
"Ayah minta alamat kalian ya, Ayah ingin ke sana menemui Lila."
"Maaf, Yah. Aku enggak bisa kasih, aku takut kalau Ayah ke sana. Malah akan muncul masalah baru, sekali lagi aku minta maaf. Yah."
Penyesalan memang selalu datang terlambat, karena pikiranlah yang menjadi modal untuk mengambil keputusan. Namun cobalah, sesekali ajak hati untuk berdiskusi. Karena hati seringkali mengarahkan pada hal-hal yang baik, yang kadangkala tak bisa dilakukan oleh pikiran. Penyesalan itu yang kini dirasakan betul oleh Bayu, memilih untuk menikah lagi demi mendapatkan anak laki-laki tanpa memikirkan nasib ketiga putrinya kini.
Lala pun pamit pulang, ia masih harus menunggu satu minggu lagi pengumuman soal hasil interview tadi. Sedangkan Bayu hanya bisa memandang putri sulungnya itu dari kejauhan, tanpa bisa mengetahui ke mana putrinya itu pulang.
Namun, Bayu tak kehabisan akal. Ia teringat jika Lala melamar pekerjaan, pastilah ia membawa berkas-berkas pendukung yang disitu ada alamat rumahnya. Bayu pun bergegas menuju ruangan inerview, ia menemui rekannya di sana yang bernama Angga. Setelah dijelaskan pada Angga bahwa Lala adalah anak kandungnya, Angga tanpa ragu memberikan berkas-berkas Lala yang terdapat alamatnya di sana.
Kini Bayu sedang mencari waktu yang tepat, untuk menemui ketiga putrinya dan mantan istrinya, Sarah.