09. elegi pagi

254 39 4
                                    

***

Alia tiba-tiba saja bertindak tergesa, seolah ada sesuatu besar yang terjadi, atau mungkin, ada sesuatu yang harus diselesaikan. Langkah Alia kian cepat, dan Abadi sampai kewalahan mengikutinya. Ia masih belum mengerti tentang mengapa kafe tiba-tiba ditutup, para pegawai yang berlari masuk ke mobil rombongan dengan wajah panik, dan tentang mengapa Alia mengenakan pakaian serba hitam.

“Lia, mau ke mana? Gue mau ikut!”
“Aku lagi buru-buru.”

“Ya, memangnya mau ke mana sih?”

Alia mengalihkan pandangan, merasa frustrasi dengan apa yang sedang ia hadapi sekarang.

“Ajak gue, Lia. Ajak gue ke mana pun lo pergi,” tandas lelaki itu seperti tak ingin dibantah.

Maka tanpa berpikir panjang lagi, Alia langsung menarik tangan Abadi. Membawa lelaki itu masuk ke mobil yang sudah ada di tempat parkir. Bahkan setelah duduk di mobil pun, Abadi masih belum mengerti dengan situasi yang sedang dia hadapi. Situasi ini amat membingungkan.

“Lho, dia siapa, Lia?”

Pertanyaan itu sontak membuat Abadi dan Alia menoleh serempak. Elsa dan supir yang duduk di kursi depan pun ikut menoleh dengan wajah bingung.

“Nanti aku jelaskan,” ujar Alia tegas kepada mereka.

Fuji dan Elsa hanya mengangguk saja sebagai jawaban. Mobil telah melaju sejak beberapa menit yang lalu. Dan tidak ada yang mengeluarkan suara di sepanjang perjalanan. Mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing.

Abadi terdiam dengan pandangan lurus ke depan. Pikirannya melayang, sibuk menerka karena Alia masih belum memberi jawaban atas pertanyaan yang timbul di benaknya.

Genggaman tangan yang makin erat membuat Abadi menoleh, memandang Alia, berusaha menemukan jawaban dari sorot kelam yang diperlihatkan oleh perempuan di sampingnya itu.

Namun, tidak.

Ia tidak menemukan jawaban apa pun dari sana.




bersambung...

Dia Abadi [Preview]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang