Seoul, South Korea
Cinta adalah perasaan yang tidak mempunyai deskripsi pasti akan dirinya sendiri. Seperti apa cinta yang benar, tidak pernah ada jawaban pastinya dan setiap tindakan mengatasnamakan cinta terlalu akan selalu terasa benar oleh pelaku.
Definisi cinta menurut Hyeon Ju itu ialah rasa yang tidak akan membebani kehidupannya sendiri. Hyeon Ju tidak ingin cinta menjadi bersifat menghancurkan.
"Ini malam minggu, tahu." Kata Hyeon Ju ketus.
Jae Hoon mengendikan pundaknya acuh sembari berjalan ke arah dapur. "Nenek-nenek juga tahu."
Hyeon Ju mencebik kesal, sedangkan Jae Hoon sibuk menuang sereal dan susu pada mangkuk.
"Dan kau laki-laki sembilan belas tahun hanya diam di rumah dengan menggunakan pakaian rumah lusuh untuk memakan sereal. Apa kau benaran remaja?"
Jae Hoo berjalan ke arah ruang keluarga dengan hati-hati karena ia menuang ekstra susu pada serealnya. "Apa itu sebuah masalah?"
Hyeon Ju diam sejenak, membiarkan kakaknya itu mengambil tempat di sofa tepat di sebelahnya.
"Lagian, tidak baik tahu melakukan sesuatu yang di dasari nafsu semata. Akal juga harus berkontribusi walaupun dalam keadaan jatuh cinta." Jae Hoon berucap santai lalu mulai menyuapkan sereal ke dalam mulutnya.
Alis Hyeon Ju menukik sebelah. "Maksudnya?"
Hyeon Ju diam, menunggu Jae Hoon menyelesaikan kunyahan pada mulutnya.
"Pernah belajar hukum hukum Gossen I tidak?"
"Tentu saja aku pernah."
Jae Hoon menyeruput susu pada mangkuknya sehingga menimbulkan suara yang membuat Hyeon Ju hanya bisa menggelengkan kepala.
"Lalu seharusnya, kau mengerti, dong, Ju."
Kemudian, hening. Hyeon Ju masih sibuk mencari korelasi antara hukum Gossen I dengan keadaan jatuh cinta sementara Jae Hoon sibuk menghabiskan sisa serealnya.
Bahkan hingga saat Jae Hoon berjalan kembali ke arah dapur untuk menaruh mangkuk bekas sereal pada wastafel, Hyeon Ju masih belum bergeming.
Hyeon Ju membalikkan dirinya ke arah dapur, menghadap Jae Hoon yang sedang menghabiskan segelas air. "Maksudmu, aku tidak boleh terlalu sering berinteraksi dengan Tae Hyung karena nanti aku akan lebih cepat merasa bosan?"
"Terdengar jahat, tapi tepat sekali."
Jae Hoon melangkah kembali mendekat ke arah Hyeon Ju lalu mendudukkan diri kembali di tempat awal. "Tidak banyak orang yang tahu hal ini, tapi hukum Gossen I bukan hanya berlaku di bidang ekonomi, tapi di semua bidang kehidupan." Lanjut Jae Hoon.
Lawan bicaranya diam selama dua detik sebelum berkata. "Baiklah, anggap saja kau benar. Tapi, kau bahkan tetap di rumah ketika ayah dan ibu saja sedang berkencan?"
"Aku memang benar," Jae Hoon berucap cepat, hampir saja memotong kalimat Hyeon Ju. "Dan memilih untuk tetap di rumah adalah hakku."
Itu adalah kalimat terakhir yang mengisi lima menit ke depannya. Hyeon Ju tengah menempatkan atensinya pada ponsel dan Jae Hoon terlelap di sofa dengan kepala terletak pada bahu sofa.
Ketika jarum jam menunjukkan pukul setengah tujuh malam, Hyeon Ju bergegas memasukkan ponselnya pada sling bag putihnya, merapikkan kardigannya, lalu irisnya beralih pada sang kakak.
Ia menempuk pelan lengan Jae Hoon sebanyak dua kali. Selepas Jae Hoon membuka mata, Hyeon Ju melangkahkan kakinya ke arah pintu utama untuk memakai sepatunya. "Pantas saja aku gampang tertidur. Ternyata ada faktor keturunan. Tapi, kau selalu saja mengomel."
"Kau.. mau ke mana?"
Hyeon Ju yang belum selesai memakai sepatu, sontak memutar kepalanya dengan mata memincing. "Hei, apa yang kau mimpikan sampai lupa begini? Jangan bilang kau mimpi yang aneh-aneh. Ya ampun- padahal belum ada lima menit, loh."
"Apa yang coba kau bicarakan pada kakakmu, Juliet?"
Spontan Hyeon Ju mengernyitkan dahinya, namun ia memilih untuk tidak ambil pusing karena menuju pukul tujuh tidak tersisa lebih dari dua puluh lima menit.
Melihat Hyeon Ju yang memilih untuk mengacuhkannya, Jae Hoon kembali bersuara. "Kau belum menjawab pertanyaanku, ke mana kau akan pergi?"
Hyeon Ju yang sudah selesai memakai sepatu, langsung bangkit berdiri, membalikkan badan menghadap Jae Hoon.
"Kau seriusan lupa?" Tanya Hyeon Ju dengan sedikit ketidakpercayaan.
Reaksi Jae Hoon yang diam membuat Hyeon Ju mau tak mau menjawab. "Aku akan pergi menemui Tae Hyung di kafe dekat sekolah."
"Tae Hyung?"
Hyeon Ju menghela nafas. "Iya, Tae Hyung."
Rasa sebalnya mulai membumbung, geram karena merasa di permainkan. Semalam, jelas-jelas ia telah bercerita dan meminta izin pada kakaknya itu, Hyeon Ju sepenuhnya ingat dan yakin bahwa ia telah mengatakan detilnya, termasuk waktu pertemuan mereka.
"Demi apapun, lain kali jangan pernah tidur tepat setelah makan seperti tadi, tidak peduli sekantuk apapun, kecuali kau meminum obat tidur." Kata Hyeon Ju sarkas.
Keadaan kembali hening, Jae Hoon tidak mengeluarkan kalimat apapaun sehingga Hyeon Ju memutuskan untuk berbicara lagi. "Ada lagi yang ingin kau katakan padaku?"
Satu detik. Dua detik. Tiga detik. "Belikan aku matcha latte."
Dengan segenap berat hati, Hyeon Ju masih bertahan pada posisinya berpijak, dalam kepalanya sudah di siapkan skema untuk berjalan cepat atau mungkin berlari untuk mengikis kemungkinan terlambat.
Ia tidak ingin memperpanjang masalah ini, namun yang satu ini tidak bisa di lewatkan begitu saja. "Sejak kapan kau suka matcha? Kau bahkan tidak menyentuh mochi rasa matcha yang ayah beli di Jepang."
"Pokoknya belikan saja." Balas Jae Hoon dingin.
Sekali lagi Hyeon Ju menghela nafas seraya menggeleng kecil saat menengok arloji kecil pada pergelangan tangan kirinya. Ia menggerutu sebab ia mungkin akan berlari menuju kafe pada akhirnya.
"Akan kubelikan. Aku pergi."
Pintu terbuka kemudian tertutup, menyisakan Jae Hoon sendirian di dalam rumah. Segera setelah itu, ia melangkah ke arah lemari pendingin, mengambil sekotak stroberi, lalu memakannya dengan lahap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Into A New World ((TAE HYUNG KIM))
FanfictionHyeon Ju hanya ingin membuka lembar baru dalam hidupnya, memendam semua memori lamanya bersama harapan.