Bagian Sembilan

16 2 0
                                    

Kaia mondar mandir gelisah menunggu kakaknya pulang. Matanya terus mengarah ke arah pintu dan jam tangan yang melingkar di tangan kirinya secara bergantian. Detik demi detik yang tak mungkin bisa terhenti membuat gadis berkuncir kuda itu semakin cemas. Menunggu selalu berhasil membuatnya cemas tanpa tahu apa yang ia cemaskan.

Seperti halnya sekarang ini, tak seharusnya ia cemas hanya karena menunggu kakaknya pulang kerja. Namun di sisi lain ia juga harus segera mencari kebenaran kasus Daffa yang ia bicarakan semalam dengan kakaknya.

Pintu yang Kaia harapkan terbuka kini akhirnya terjadi juga. Pintu coklat tua itu menampilkan sosok laki-laki yang sangat ia tunggu. Tak membuang waktu lama ia langsung menghampiri laki-laki tersebut yang tak lain adalah Tamam Hernando.

"Kenapa lama banget sih pulangnya, kita harus cepet" ucap Kaia marah dan kesal. 

"Banyak kerjaan dek"

"Udahlah nggak usah kasih alasan itu nggak penting, sekarang kita jalan" putus Kaia melangkah lebih dulu. Langkahnya terhenti akibat tangan kanannya ditarik Tamam. Kaia berbalik dengan penasaran menghadap kakaknya. Dia memandang kakaknya penuh penasaran menanyakan 'ada apa' secara tak langsung melalui kontak mata pada Tamam.

"Kita nggak ajak Daffa?" tanya Tamam.

"Jangan kak, kita itu mau menyelidiki pelakunya, Kai rasa pelakunya kenal kak Daffa, jadi kalo kita ajak dia maka rencana kita akan gagal" jawab Kaia.

"Bukannya kamu juga pernah berpaasan sama dia?"

"Iya, tapi kita nggak saling kontak mata, hanya Kaia yang melihat mata sipitnya tapi dia nggak lihat wajah Kai karena dia fokus lari dari kejaran kak Daffa" jelas Kaia.

"Ya udah lah terserah kamu aja, ayo cepat kita berangkat" putus Tamam yang ditanggapi Kaia dengan anggukan kepala.

Motor ninja hijau milik Tamam membelah jalanan ibukota yang padat. Wajar saja sekarang adalah jam pulang kantor yang otomatis banyak pekerja yang akan pulang. Beruntung Tamam menggunakan motor, jadi ia tak terjebak kemacetan. Di belakangnya Kaia duduk tenang di jok belakang memeluk pinggangnya.

Papan petunjuk menunjukan mereka telah sampai di kampung Delima tempat tujuan mereka. Tamam memelankan laju sepeda motornya untuk melihat sekitar. Tamam menepikan motornya di bawah pohon jati yang rindang. Ia melepas helmnya dan menengok ke belakang.

"Kita cari di mana?" tanya Tamam pada adiknya.

"Sebenarnya Kaia juga nggak tahu, tapi kita coba tanya sama para anak laki-laki itu saja kak" saran Kaia. Tamam sedikit ragu namun ia menganggukkan kepalanya dan kembali mengenakan helmnya lalu melajukan motor ninjanya ke arah segerombolan anak laki-laki yang tengah asik berbincang.

"Permisi mas, kita boleh bertanya beberapa hal?" tanya Kaia sopan pada salah satu anak laki-laki saat ia telah turun dari motor ninja kakaknya dan melepas helmnya. Anak laki-laki yang sudah tidak cocok di panggil dengan sebutan 'anak laki-laki' karena terlihat dewasa itu menganggukkan kepalanya.

"Apa semua anak laki-laki seumuran kalian di Kampung Delima ini selalu berkumpul di sini?" tanya Kaia.

"Tidak semua dek, ada dua orang yang tidak pernah kumpul bersama kita"

"Apa kamu yakin hanya dua orang?" tanya Kaia memastikan.

"Iya dek, Kampung Delima ini nggak terlalu luas, kita bahkan hampir mengenal semua para penduduknya"

"Kalo begitu siapa saja mas?" tanya Kaia antusias.

"Dia Akil anak Pak Lurah di sini, kerjanya hanya belajar jadi nggak pernah ikut kumpul dek"

"Apa dia memiliki mata yang sipit?" tanya Kaia masih terlihat antusias. Laki-laki itu menggelengkan kepalanya yang membuat Kaia menurunkan semangatnya di tambah bisikan kakaknya yang mengejeknya bahwa dia bukan pelaku yang Kaia cari.

"Mas bilang ada dua, siapa lagi mas?" tanya Kaia lagi namun kali ini tak begitu antusias seperti sebelumnya.

"Oh iya, dia itu anak dari orang terkaya di kampung kita dek, dia tinggal sendiri di ujung kampung ini dek, keluarganya tinggal di Singapura tapi saya nggak kenal namanya, tapi dia memang memiliki mata yang sipit" jawaban laki-laki itu membuat Kaia kembali bersemangat. Begitu pula dengan Tamam yang kini terlihat antusias.

"Oh ya? boleh kita tahu alamatnya?" pinta Kaia. 

Maaf ya kalo tidak memuaskan. 🙏🙏

Salam dari penulis amatir
Indria

Sahabat Hujan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang