Keringatnya bercucuran ditengah malam yang dingin dengan mata yang membelalak karena gigitan dibeberapa titik kulit sensitifnya oleh hewan terbang kecil yang memuakkan. Ia menggeram kesal dan menyibak jaket satu-satunya yang ia punya sebagai alas tidur di emper toko. Sebegitunya ia tak tahan meski ia baru memejamkan mata barang setengah jam lalu.
"Persetan." ucapnya seraya bangun dengan celana jeans robek dibagian lutut. Terlihat lusuh dan menyedihkan. Perutnya terasa perih karena menahan lapar seharian penuh dan kepalanya yang sungguh pusing. Tak bisa bayangkan jika ia akan mati mengenaskan karena kelaparan.
"Kau mau mati? Serahkan uangmu atau pisau ini akan memotong lehermu."
"Ergh, l-lepaskan tangan kotormu d-dari leherku."
Ia melangkahkan kakinya dengan gontai ke sumber suara yang letaknya tak jauh dari toko dimana ia tidur. Rasa pusingnya seakan hilang mendengar erangan menyakitkan disana. Namun, ia tidak bodoh untuk datang secara tiba-tiba bagai pahlawan disiang bolong sementara tubuhnya begitu lemas.
Matanya mengintip dari balik dinding bangunan. Suasana begitu sepi dan hening di tengah malam sementara seorang pemuda yang ia yakin usianya tak jauh beda darinya tengah memperjuangkan nyawanya sendiri. Namun, ia terlihat cukup gigih untuk tidak jatuh dari perangkap preman brandal yang menjadi momok menyebalkan ibu kota.
"Cukup serahkan uang yang kau bawa dan kubiarkan kau hidup."
"Apa yang kau bicarakan?"
Ia menggertakkan giginya dan menunduk, mencari sesuatu kesegala arah disekitarnya dan mengambil benda kecil berkilauan karena lampu jalan. Memejamkan matanya beberapa waktu dan melempar kaleng minuman kosong itu kejalanan didepannya hingga usahanya cukup menarik perhatian.
"SIAPA DISANA?" teriak pria didalam gang itu. Menutup pisau kecil yang dipegangnya dan menarik kerah pria muda yang menjadi buruannya dengan kasar. Berjalan dengannya keluar gang sementara tinju melayang dirahang pipinya keras dari arah samping.
"Astaga." ucapnya seakan tak sengaja telah memukul dengan cukup keras hingga darah terasa di indera pengecap preman berpakaian serba hitam itu.
"KUBUNUH KAU!" Teriaknya mengulurkan tangannya, namun wajahnya begitu terkejut. Ia tak memegang benda itu.
"Kau cari ini?" tanyanya menggoyangkan pisau kecil yang jatuh saat ia memukul. Wajahnya begitu meremehkan sementara pemuda yang berdiri ditengah terkekeh kecil meski kerah kemejanya dicengkram kencang sedari tadi.
"Atau... Kau saja yang kubunuh?" tanyanya dengan suaranya yang berat dan mengancam, mengeluarkan pisau dan mencondongkannya tepat dimata yang cukup membuat preman itu memejamkan matanya sendiri. Itu sangatlah dekat.
"Apa kau tahu jika disudut jalan ini ada CCTV? Kau bisa dijebloskan ke penjara karena hal ini? Tidak, namun dua kasus berlapis. Pertama adalah pencurian dan kedua yaitu perencanaan pembunuhan." ujarnya memutar-mutar pisau didepan wajah seakan ia mengerti betul apa yang dikatakannya, sementara pria itu membuang ludah yang terasa amis karena darah dari gusinya kearah samping. Berlari meninggalkan keduanya setelah menatap tajam, mengingat.
"Persetan." ucapnya melempar pisau kejalan dan merebahkan diri pada trotoar karena lututnya terasa lemas untuk berdiri.
"Siapa namamu, pelempar kaleng?" tanya pemuda berkemeja putih itu menepuk pakaiannya yang kusut dan mengulurkan tangannya seakan memberi bantuan. Ia tersenyum, "Kalau aku, Park Jimin. Terimakasih banyak sudah membantuku."
"Lupakanlah, aku hanya benci dengan sampah sepertinya. Itu seakan merusak martabatku entah kenapa." ia menyambar tangannya dan bangun. "Aku tidak mengerti apa yang kau katakan tapi, wajahmu terlihat menyedihkan. Apa kau sudah makan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Nevermind [BTS Fanfict]
FanfictionJimin tak menyangka jika Namjoon akan menyerahkan diri ke polisi atas kasus pembunuhan terakhirnya yang terjadi. Membuatnya harus mencari dimana Namjoon saat ini selama berhari-hari. Namun, dalam perjalanannya, seseorang yang pernah menyelamatkannya...