BAB III

66 17 11
                                    

"Oi, Park Jimin!"

🍁

Matanya saling bertemu satu sama lain dan Namjoon melihat Jungkook begitu lelah dengan nafasnya. Ia sangat panik dan berusaha menghalau sedari tadi. Jungkook bisa saja menarik Namjoon dan menghalangnya atau bahkan dengan cara kekerasan sekalipun. Namun, ia begitu respect dengan Namjoon karena ia lebih tua dan bijak darinya. Jungkook begitu menghormati Namjoon sebagai hyung-nya, senior-nya.

"Bisa kau berhenti sebentar, hyung? Jebal." Jungkook memegang kedua bahu Namjoon dan mengerutkan dahi. Ia sudah beberapa kali mengejar sementara Namjoon tidak peduli dan berjalan cepat mengabaikannya. Beruntung saat ini Namjoon menatap matanya dan terdiam. Wajahnya menyiratkan lelah dan bingung, bukan marah ataupun kesal. Ia... Tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya.

"Aku... Tidak tahu kenapa kau lebih memilih untuk menyerahkan diri. Tapi, apa kau sudah benar-benar memikirkannya dengan matang?" ujar Jungkook setengah berbisik seraya menggiring Namjoon untuk berjalan menepi. Mengajaknya pergi ke sebuah café setelah merasa Namjoon melembut.

"Kumohon pikirkan lagi." tambahnya.

"Aku sudah menelpon Jimin hyung beberapa menit yang lalu. Jadi, ayo kita menunggunya di café. Kumohon."

🍁🍁🍁

Besi itu berbenturan dengan suara tripod miliknya sementara kakinya menaiki sela-sela gerbang tinggi, sedikit limbung karena jarak yang jauh. Ia menghela nafas dan menatap tajam rumah gelap dihadapannya dan berusaha masuk lewat pintu depan. Namun, itu dikunci dan berjalan cepat melewati pintu samping dengan kamera yang bergoyang pada lehernya.

"Apa ini bisa?" gumamnya meraih kenop namun itu terkunci. Ia tidak dapat melakukan apapun sementara ia merutuk sendiri dan berdecak. Seharusnya ia tidak pergi sendiri. Seharusnya ia tidak mengambil keputusan sendiri.

Ia melirik jendela bagian atas yang gelap. Semua sangat gelap tanpa ada lampu penerangan bahkan dibagian depan. Sementara firasatnya mengatakan hal buruk telah terjadi disini. Ia yakin ada sekitar dua orang berjalan keluar dari rumah ini kemarin malam seperti yang ia perkirakan.

"Bagus, Taehyung!" ia merentangkan tangan dan menatap gerbang tinggi dihadapannya yang ia telah lewati dengan susah payah. Merasa bodoh untuk masuk dan keluar tanpa barang bukti apapun. Newbie sepertinya masih perlu belajar banyak apalagi hanya untuk pelajaran, 'bagaimana cara membuka pintu.' Ia teringat seseorang yang kini hilang entah kemana.

"Jika hyung ada disini. Aku ingin sekali belajar bagaimana mendobrak pintu rumah seseorang. Aku turut bersedih." monolognya memegangi kamera dan membuka penutup lensa. Memotret halaman rumah besar tanpa penjaga itu dan menyusuri jalanan dengan rerumputan dibagian depan rumah pemilik perusahaan terkenal itu.

Aku berharap agar menemukan petunjuk.

Ia memotret gerbang, pintu, alamat, dan apapun yang bisa dijadikan bukti suatu hari nanti meski ia belum bisa yakin seratus persen. Sementara ponselnya bergetar dari balik saku celananya. Itu adalah panggilan masuk. Fotonya muncul memenuhi layar dan pemuda bernama Taehyung itu segera mengangkatnya,

"Hyung, kau dimana?"

"Ada apa? Bukan urusanmu."

"Apa kau tau dimana raket nyamuk yang kau simpan semalam? Aku tidak bisa tidur nanti. Aku juga harus belajar. Kau tahu, seminggu lagi aku ada ujian—"

Taehyung memutar bola matanya malas dan berdiri lebih tegap lalu berkacak pinggang. Memikirkan wajah adiknya membuatnya gemas.

"Dengar, Jun-jun." ia memberi jeda cukup panjang sementara seseorang diseberang telepon memberi suara berisik. Suara familiar yang ia yakin adik yang membangkangnya itu melakukan sesuatu dikamarnya, "Yak! Apa yang kau lakukan disana?" ujarnya setengah berbisik.

Nevermind [BTS Fanfict]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang