3

292 48 6
                                    

Nafas Gathan tercekat saat Ken menyembunyikan jersey tersebut di belakang tubuhnya. "Kenapa bisa ada di loker gue?" Pertanyaan yang sama sekali tak Gathan harapkan akhirnya benar-benar keluar dari mulut perempuan yang merupakan adik kelasnya itu.

Bodoh memang, entah apa yang dipikirkan Gathan saat menaruh surat di loker Ken kemarin sore. Saking buru-burunya ia sampai meninggalkan jerseynya yang ia sangkutkan di pintu loker tersebut.

Nafas Gathan kembali tak beraturan. Entah setan apa yang membuatnya memajukan diri dan membawa perempuan berambut panjang disana kedalam pelukannya.

Ken mendorong tubuh yang lebih besar darinya itu dengan kasar. "Lo pelaku yang selama ini neror gue, kan?" Selidiknya.

Gathan benar-benar terhenyak. Ia tak menyangka akan tertangkap basah begitu mudahnya. "Jangan bilang lo juga yang bunuh Davin di kamar mandi waktu itu."

Ken mengeluarkan handphone dari saku sweaternya. "Diem lo kali ini bakal bikin lo rugi."

Gathan tak dapat lagi menahan diri. Berkali-kali ia mengambil nafas, namun tetap saja. Itu malah membuatnya semakin berpikir tak karuan.

Punggung sempit Ken menubruk tembok saat Gathan mendorongnya. "Gue bakal diem, tapi gue gak bakal biarin lo bisa ngeliat matahari besok." Bisik Gathan.

Ken belum sempat memberontak saat lelaki itu membekap mulutnya menggunakan sapu tangan yang entah dari mana asalnya. Tapi yang pasti tubuh kecil itu langsung limbung tak lama setelahnya.

Gathan memasukkan kembali sapu tangannya kedalam saku celana. Ia pun menggotong perempuan bertubuh cukup kecil itu dan membawanya ke parkiran.

👀

Sepasang kelopak itu terbuka perlahan. Kedua irisnya langsung memantulkan cahaya lampu yang menerangi ruangan ber-cat putih itu.

Ken mendudukkan diri. Menatap sekitar sebelum akhirnya ia terhenyak kaget. Kejadian tadi sore di sekolah, mungkin itu yang membuatnya berada disini sekarang.

Kakinya memijak di lantai yang sangat dingin. Bersyukur karena setidaknya lelaki jangkung itu tidak mengikat tangan atau kakinya. Ia pun melangkah kearah jendela dengan gorden hijau lemon.

Ken langsung terperangah kagum. Bisa ia lihat dengan jelas dari jendela kamar tersebut, lampu-lampu rumah penduduk yang berada di kaki gunung. Pantas udaranya sedingin ini walau tanpa AC, pikirnya.

Ken tak langsung beranjak. Ia malah mendudukkan dirinya disofa yang berada disana sambil terus melempar pandangannya kearah luar jendela.

Cklek.

Kedua pasang mata itu kembali bertabrakan. Dan kecanggungan langsung terasa saat Gathan kembali menutup pintu kamar tersebut.

Ken masih terhenyak dengan apa yang dilihatnya barusan. Gathan yang hanya memakai selembar handuk dipinggang baru saja hendak memasuki ruangan tersebut.

Pikiran Ken melayang jauh, ia membayangkan apa yang akan terjadi jika dirinya masih terlelap. Apa yang akan Gathan lakukan padanya? Itu yang ada dipikirannya.

Pintu kembali terbuka. Gathan memasuki ruangan tersebut dengan kaos kelabu dan joger hitam yang sudah menempel ditubuhnya. Ia pun menghampiri Ken yang masih terduduk nyaman disofa.

"Kita dimana?"

Gathan mengalihkan pandangannya saat Ken menatapnya. "Gue gak mungkin ngasih tau lo kita dimana sekarang."

"Lo mungkin gak bakal biarin gue hidup sampe besok, makadari itu gue gak bakal berontak." Ucap Ken, santai.

Gathan kini menatap Ken dengan lamat. "Kenapa lo ngomong gitu?"

"Bukannya lo yang bilang ya, kalo lo gak bakal biarin gue ngeliat matahari besok."

Gathan turut mendudukkan dirinya disofa yang sama dengan Ken. "Itu kalo lo tadi sempet ngehubungin polisi buat ngelaporin gue. Tapi karena sekarang gue udah berhasil bawa lo kesini, lo bakal aman."

Ken menaikkan kakinya lalu melipatnya. "Jadi bener’kan, lo yang bunuh Davin?"

Gathan mengangguk mengiyakan pertanyaan adik kelasnya itu. Namun pertanyaan selanjutnya sungguh membuatnya tersinggung.

"Lo psikopat ya?"

"Apa maksud lo? Mana buktinya kalo gue psikopat?" Bantah Gathan.

"Buktinya lo sampe motong telinga Davin. Orang normal gak mungkin bisa ngelakuin hal sekejam itu." Ujar Ken.

Gathan menatap Ken dengan tatapan tak terima. "Ada masalah pribadi yang bikin gue ngelakuin itu ke dia. Dan kalaupun gue psikopat, mungkin udah puluhan orang yang jadi korban gue. Termasuk lo."

"Lo juga yang neror gue, kan?" tanya Ken.

Gathan menghela nafas lalu membuang pandangannya keluar jendela. "Gue gak suka tatapan lo, karena itu bikin gue jatuh."

"Jatuh? Lo jatuh cinta sama gue sampe neror gue pake darah kaya gitu. Terus lo bawa gue kesini juga karena itu alasannya? Kaya gak ada cara lain aja, dan kalo diliat-liat lo mirip psikopat. Dengan begini, udah jelas banget kalo lo terobsesi sama gue."

"Apaan sih? Lo ngomong apa, hah?" Kesal Gathan sambil menatap adik kelasnya itu dengan sebal.

Ken berdecak lalu tersenyum. "Tsundere banget sih? Tinggal bilang 'iya' apa susahnya coba? Udah jelas-jelas lo tuh terobsesi sama gue, makanya lo sampe nyulik gue kaya gini."

Gathan merutuki dirinya sendiri yang sudah blak-blakan menyatakan perasaannya. Tahu akan seperti ini, lebih baik ia diam. Sekarang bahkan ia yang merasa diledek habis-habisan oleh Ken.

"Kalo mau ngajak gue nikah, lo bisa dateng ke rumah dan minta izin sama nyokap gue. Kesananya kita bisa mikirin itu bareng-bareng."

Gathan pun bangkit dan menutup gorden yang tadi dibuka oleh Ken. "Iya. Ntar gue bakal bilang ke nyokap lo." Kesal Gathan.

Ken menatap Gathan yang mulai beranjak dari kamarnya. "Gue minta maharnya rumah ini ya?" Teriak Ken sebelum Gathan menutup pintu kamarnya.

Setelahnya ia terkikik geli, tak menyangka jika ternyata Gathan sepolos itu. Akan menjadi hiburan tersendiri untuk Ken selama berada disini.

👀

El-Prad [J.W.S]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang