Perempuan dengan bombernya baru saja keluar dari salah satu bilik toilet saat suara teriakan histeris terdengar dan begitu memekikkan telinga.
Ken langsung menghampiri seorang perempuan yang membuat kebisingan tersebut.
Namun langkahnya terhenti dan nafasnya tercekat saat mendapati cermin dihadapannya sudah dipenuhi bercak darah yang membentuk sebuah kalimat.
Punggung sempit itu menabrak tembok salah satu bilik toilet. Namanya, terukir jelas di kaca tersebut.
Don't look at me, Kenara
Brukk.
Dan kini pekikan histeris kembali terdengar dari Ken dan salah satu perempuan yang masih berada disana, mereka mendapati seorang lelaki telah tewas didalam salah satu bilik toilet.
Telinga sebelah kirinya putus dan tergeletak begitu saja ditutup closet.
Ken tak dapat lagi bergerak. Nafasnya tersengal hingga akhirnya ia tak sadarkan diri.
Lelaki itu, Davin. Siswa kelas 12 sekaligus kapten tim basket sekolah. Yang tak lain adalah senior Ken di tim basket.
👂
"Bu."
Deyna menoleh, mendapati si bungsu yang tengah tersenyum manis kearahnya. "Tumben pulangnya malem banget?"
"Aku ada kelas tambahan, Bu."
Bohong, tentu saja. Kepala sekolah dan pihak kepolisian baru saja meminta kesaksiannya atas kejadian seminggu yang lalu. Dan itu semua tak berjalan dengan baik. Ken berkali-kali stuck dan kembali menitikkan airmata. Itulah yang membuat proses kesaksiannya berlangsung cukup lama.
Deyna mematikan kompornya dan duduk dihadapan sang puteri. Tangannya terulur untuk mengusap rambut panjang Ken. "Tadi Pak Syahrudin telpon ibu, beliau minta izin. Mau minjem Ken sebentar katanya."
Ken mengangkat wajahnya saat sang ibu meraih kedua tangannya. Kedua pasang iris itu saling bertemu. Hingga yang lebih muda kembali menundukkan kepalanya dan berusaha untuk tak menangis saat itu juga.
Deyna mengusap punggung tangan Ken dengan lembut. "Ken gak kuat, Bu. Ken takut." Lirih Ken. "Sampe saat ini pelakunya belum ketangkap. Ken takut, Bu."
Deyna bangkit dan beranjak untuk memeluk punggung sempit sang anak dan sesekali memberikan kecupan hangat di puncak kepalanya. "Kamu harus kuat. Ada Tuhan, Ken. Kamu punya Tuhan."
Hingga sepasang tangan lainnya ikut melingkar di punggung sempit itu. Bagas tak bisa melihat adiknya menderita seperti ini terus. Ancaman-ancaman itu seperti terus mengintai Ken sejak sebulan terakhir.
👂
KAMU SEDANG MEMBACA
El-Prad [J.W.S]
Fiksi Penggemar"Lo mungkin gak bakal biarin gue hidup sampe besok, makadari itu gue gak berontak."