Dua hari sudah aku berada di kampung halaman ku, dan tidak ada yang bisa ku lakukan di sini.
Konoha adalah sebuah desa kecil di antara kota-kota besar di jepang. Kakak ku Neji tengah berkuliah di Universitas Tokyo, kaa-chan bilang sudah tiga bulan sejak ia masuk ke universitas itu, berarti hampir sama lamanya sejak aku mulai bekerja di luar kota.
Sedangkan Hanabi, ia baru kelas dua siswa menengah atas. Tapi kaa-chan bilang kehidupan mereka jauh lebih baik. Ada seorang yang baik hati yang membantu perekonomian keluarga ku.
Bahkan toko kelontong ayah sudah memiliki beberapa cabang. Wah, sungguh luar biasa.
"nee-chan bangunlah. Kaa-chan dan tou-san menunggu mu di bawah untuk sarapan. Aku mau berangkat sekolah." Hanabi mengguncang tubuhku.
"mmmm." aku masih mengantuk, jadi tak ku hiraukan ucapannya dan kembali tidur. Sejak aku tiba, badanku memang terasa tidak enak.
Mungkin karena kelelahan, mengingat perjalanannya yang lumayan lama. Aku memutuskan untuk kembali tidur hingga badanku lebih segar.
.
Ku lirik jam yang menggantung malas di dinding kamar ku. Sudah lewat tengah hari, aku melewatkan sarapan dan makan siang, tubuh ku juga tak kunjung sehat.
Di dorong rasa lapar, aku pergi ke dapur.
Kamarku terletak di lantai dua, tangga yang menuju kamarku tepat berada di dapur. Jadi aku bisa langsung mengambil makanan di sana.
Sayup-sayup ku dengar orang mengobrol di ruang tamu, tapi aku tak peduli. Perutku sudah memberontak minta di isi.
"astaga, lihat anak ini. Jam berapa baru bangun." ibu ku terlihat memakai yukata terbaiknya dan sedikit berdandan.
Aku diam saja, dan meneruskan makan ku.
"kau tau, keluarga calon suamimu sudah menunggu sejak pagi. Kau malah baru bangun menjelang sore."
"uhuk." aku tersedak, kalau tak salah dengar tadi ibu mengatakan calon suami. "apa?" aku menatap ibu bingung.
"ck, anak bodoh ini. Menurutmu mengapa kaa-chan repot-repot menyuruhmu pulang kalau bukan untuk menikahkanmu baka." ibu berkata kesal sambil menarik ujung rambutku.
"apa sih kaa-chan, Hina itu masih muda. Apa kaa-chan tidak tau kalau wanita jepang menikah rata-rata di umur 30?"
"tentu kaa-chan tau, tapi kau itu berbeda. Kau tidak pandai belajar memasak juga ala kadarnya. Bekerja juga biasa-biasa saja. Makanya sebaiknya kau menikah saja."
Aku kesal sekali, seolah kaa-chan menganggap ku hanya sebagai beban keluarga.
"lagi pula, calon suamimu kaya sekali loh."
Aah, aku jadi ingat Sasuke. Apa ia sudah pulang dari perjalanan bisnisnya.? Apa ia mencariku.? Hhh, rasanya tidak mungkin.
"aku tidak mau menikah, titik." dengan menghentakkan kaki ku, aku berniat kembali ke kamar.
"Hinata." suara tou-san memanggil dari ruang tamu. Mau tak mau aku harus memenuhi panggilan itu, atau semesta akan marah padaku.
"ya tou-san.?" aku hanya fokus pada tou-saja, dan mengabaikan yang lain. Hingga tou-san bilang. "Hinata, perkenalkan ini adalah keluarga calon suami mu."
Aku menoleh, mataku terbelalak. Dan tetiba semua gelap.
.
Aku terbangun dengan rasa pusing yang amat sangat, tangan kanan ku kram dan tak bisa ku gerakkan.
"nee-chan sudah bangun.?" Hanabi mendekatiku, dan membantuku duduk.
"oh astaga, kau tidak tau betapa khawatirnya Sasuke nii-san saat kau pingsan." Hanabi berkata dengan menggebu.
"kenapa kau memanggil Sasuke nii-san.?" aku bertanya keheranan, bgaimana bisa adik ku tau tentang Sasuke.?
"tentu saja karna dia adalah kakak ipar idaman setiap orang."
"kakak ipar.?" aku makin bingung.
"ne, kau akan menikah besok. Sebelum perutmu besar."
"a-apa.?"
"kau kan sedang hamil."
Tuhan, cabut nyawaku sekarang.
.
Aku nyaris tertawa saat melihat Hinata datang dengan mengangkat tinggi-tinggi baju pengantin yang ia kenakan.
Kami menikah di pantai dengan acara yang sangat sederhana, jika di lihat dari sudut pandangku. Tapi kata ayahnya Hinata, acara ini sudah sangat-sangat mewah.
Jujur aku tak begitu ingat prosesi pernikahan kami, tapi yang ku ingat adalah wajahnya yang selalu bersemu merah. Dan ia juga tampak pendiam sekali hari ini.
Ah, mungkin karna ia sudah tau bahwa kini di tubuhnya ada makhluk hidup.
"apa yang kau pikirkan.?" aku mencium punggungnya yang telanjang.
"kenapa kau melakukan ini semua.?"
"melakukan apa.?" aku pura-pura tidak mengerti, meski aku benar-benar mengerti apa maksudnya.
"kita punya waktu seumur hidup untuk membicarakannya." aku mencium bibirnya dengan lembut, mulai sekarang ku harus mulai belajar menahan diriku. Karna ada anak ku di dalam perut Hinata.
.
Aku memandang tubuh Hinata yang putih bersih dan tertutupi selimut putih pula. Ah, aku tak perlu sembunyi-sembunyi lagi sekarang. Kapanpun aku menginginkannya, aku bisa melakukannya.
Kau tak perlu tau mengapa aku memilihmu, dan apa yang harus ku singkirkan demi mendapatkanmu. Yang penting saat ini kau milikku.
Hinata menggeliat dalam tidurnya, tentu saja, sedari tadi aku menciumi perutnya yang masih rata itu.
"Sasuke." sial, suaranya saat bangun tidur begitu seksi.
"hmm.?"
"aku lelah sekali, biarkan aku tidur sebentar." ia mengeluh, mungkin ia memang capek. Tapi ku rasa ia tau bahwa aku tak pernah mundur untuk apapun.
"aku akan pelan-pelan." kataku sambil melumat bibirnya.
"ugh." ia tak punya pilihan.
.
.
.
Penjelasan di chapter depan, sekaligus penutupan.. Wkwk