14 - Revealed

215 43 26
                                    

Kangen ya?
Pasti iya
Yakan
Yakan

______

Aku berlari terburu-buru menaiki anak tangga menuju lantai dua. Sepatuku berdecit menggesek lantai menimbulkan suara yang tak nyaman. Pijakanku oleng namun masih sempat aku kendalikan. Rasanya, ruangan R101 menjadi sangat jauh ketika ujian tengah semester, padahal ia tak berpindah kemanapun dan relatif cukup dekat daripada ruangan ujian lainnya.

Di ambang R101, aku memandang arlojiku lekat lekat. Telat setengah jam tidaklah terlihat bagus. Tapi aku masih berpikir positif, barangkali toleransi masih berlaku. Sebagian makan pagiku bahkan telah terkuras habis untuk mengejar waktu. Aku harap seluruh komponen yang sudah kutelan ketika sarapan tidak lenyap dengan sia sia.

"Permisi," kuketuk pintu kayu beraksen kaca didepanku, seraya mendorongnya agar sedikit terbuka.

"Masuk," jawab seseorang yang kuyakini sebagai pengawas ujian. Suasana di dalam sangat kondusif atau bahkan lebih tepat disebut memcekam saking heningnya. Masih dengan nafas terengah engah aku mendapati tatapan Bu Lucy yang hendak menerkamku. Pertanda buruk.

"Maaf saya-"

"Ambil kertas, duduk," sontak aku menjadi pusat perhatian. Bukan karena diriku yang menawan tapi karena suara Bu Lucy yang cukup keras mengejutkan mereka yang tengah berkonsentrasi dalam mengerjakan soal ujian.

Kini yang perlu kulakukan hanyalah mencari tempat duduk, lalu kerjakan, selesai, dan lupakan. Tapi lidah tak bertulang, realita tak sejalan. Baik, aku mulai melantur. Intinya tak satupun soal yang bisa kukerjakan. Teori kerjakan yang mudah dulu tak berlaku disini. Buang jauh jauh pikiranmu untuk segera pulang, Abre. Manusia memang cuma bisa menggerutu, tak mau disalahkan atas apa yang memang salah mereka lakukan.

***

"Anjir, otak gue sembelit, belajar semaleman ngga ada yang keluar," Zayan menenteng tasnya dan mengomel panjang kali lebar karena tak bisa mengerjakan soal ujian yang susahnya sudah sudah setingkat ujian S3.

"Mana ada otak sembelit?" Aleena masih saja tak bisa diajak bercanda

"Ada Leen, otak Zayan doang yang dipake buat ngeluarin t*i bukannya buat mikir," pungkasku. Sekalian saja aku buat Zayan makin panas.

"Emangnya bisa?" tanya Leena polos.

Cantik tapi bego. Ada.

"Jangan mulai deh, mau gue tinggal lagi, Bre?" Zayan yang sok ngambek kini mencoba mengancamku.

"Sensi amat sih Yan udah kaya cewe dateng bulan," kataku sambil rolling eyes, "Lagian gue juga ngga mau nebeng lo kok, jangan kepedean"

"Terus lo balik gimana? Naik ojol?" tanya Zayan masih dengan wajah kesal dan konyolnya, "Atau lo marah gara gara tadi pagi gue berangkat duluan?"

"Gue ada janji," balasku. Sesaat kemudian air muka Zayan berubah. Berubah menjadi semakin muram.

"Sama siapa?" tanyanya lagi.

"Kama," suaraku semakin lirih kala menyebut namanya. Ada cerita yang membuatku semalaman sibuk menerka segala kemungkinan dari tiap jengkal rahasia yang ia tutup rapat rapat.

Disisi lain, seseorang tengah memandangku sayu. Ia memberi anggukan lantas berlalu meninggalkanku. Gue balik dulu, kalimat itu yang terakhir tertangkap indra pendengaranku. Yang terakhir adalah scene dimana punggungnya yang menghilang bersama rasa yang tak pernah kusadari nyata adanya.

***

Malam sebelumnya

Hembus angin berbisik melewati jendela di ujung kamarku. Membawa udara dingin berpidah dari malam menuju hampa ruang rindu. Aku bergeming karena dingin yang ia bawa menyentuh kulit, membuat semu kemerahan merekah diujung hidungku. Beberapa lembar kertas tampak, berserakan diatas meja ditemani sebuah pulpen hitam yang tengah berlenggang menuliskan kata-demi kata. Sedang tanganku yang lain sibuk membolak-balik buku buku tebal hasil karya para ilmuan.

EllipsismTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang