Kevin

96 9 5
                                    

Terkadang, orang menyembunyikan perasaan mereka.

Walaupun tidak dapat terlihat dari muka mereka, aku tahu mereka pernah mengalami masa suram.

Begitupun dengan diriku saat ini.

Aku sudah lelah.

Lelah berbohong.

Berbohong kepada diriku dan orang lain. Terutama mereka yang mencintaiku.

"Woi, Lia! Pelajaran udah selese nih. Lu ngelamun ya dari tadi? Untung lu gak kena marah Pak Edi. Orang pinter mah enak yah, dengerin guru ato kagak bodo amat."

Diriku yang tadinya tenggelam dalam pikirannya sendiri kini telah sadar kembali.

"Ah, maaf, gua lagi banyak pikiran" Jawabku dengan senyum yang dipaksakan.

"Lu gapapa? Mata lu kayak udah 3 hari gak tidur.." Tanya Abrianna dengan cemas yang terukir di wajahnya.

"Kelihatannya gitu, ya? Haha, gua gapapa lah!" Aku tidak suka melihat Abrianna khawatir denganku. Mau gimana lagi selain bohong?

"Udh ah, yuk ke kantin laper gua!" Seru Abrianna sambil berjalan keluar kelas.

"Heii! Lia, Ana!"

Kami berdua pun menoleh ke arah sumber suara yang tak asing itu. Suaranya yang bagaikan toa itu terdengar walaupun lorong sekolah kami ramai seperti Indomaret saat banjir.

Suara tersebut milik Kirana. Siapa lagi selain cewek barbar itu? Kirana, anak teather yang mulutnya tidak pernah kehabisan kata-kata tersebut berjalan dengan girang ke arahku dan Abrianna.

Di belakang Kirana, terdapat anak yang sekelas dengan Kirana, Elina. Dirinya juga sedang berjalan ke arah yang sama seperti Kirana. Elina adalah anak yang baru saja pindah beberapa bulan yang lalu. Sifatnya yang anggun dan pendiam membuatku bertanya-tanya mengapa dirinya bisa dekat dengan seorang Kirana.

"Eh kalian udah dateng! Ke kantin kuy! Ikut ga lu, Lia?" Tanya Abrianna.

" Kalian duluan aja, gua mau jalan bentar. Belom laper, hehe."

Bener sih, belom laper. Tapi rasanya ingin menghilang dari pandangan semua orang untuk sementara. Aku berjalan dalam lorong ini yang sudah hampir kosong. Terdengar bunyi sepatuku yang cukup menggema serta suara langit yang mulai mendung. Ku hentikan langkahku dan menatap keluar jendela selama beberapa waktu.

"Hei!" Suara tersebut mengagetkan diriku ini yang sedang menatapi langit yang kelabu itu.

Suara ini tak asing, namun bukan suara yang kudengar setiap hari. Ku menoleh ke belakang untuk melihat sumber suara tersebut.

Sudah kuduga, Kevin. Senior kesukaan hampir semua adek kelasnya. Rambut dan seragamnya yang acak-acakan tersebut membuatku bingung mengapa ia dapat memenangkan hati cewek-cewek angkatanku.

"Oh, lu. Ngapain disini? Gak makan? Pantesan kurus kerempeng gitu." Katanya sambil berdiri di depanku dengan kedua tangannya dalam kantung celananya.

"Gapapa, peduli amet." Jawabku dengan cuek sambil berjalan ke arah kantin.

Dari ratusan orang di sekolah ini kenapa harus ketemu dia? Kevin, orang yang kemarin..

kring kring kringg

Sudah bel? Balik ke kelas deh.

***

Ruang kelas yang hanya diisi oleh suara guru fisika membuatku mendengar suara jam dinding berdetak dengan jelas.

Jam dinding tersebut menunjuk pada pukul 14:15. Melihat waktu tersebut membuatku teringat pada kejadian kemarin.

***

Author POV

Rabu, pukul 14:15.

Kevin yang sudah lelah mendengar ocehan dari guru Bahasanya memutuskan untuk izin ke toilet. Izinnya sih ke toilet, tapi kakinya malah melangkah menuju kantin. Awalnya sih gak mau, tapi perutnya tak bisa berbohong kepadanya. Saat tiba di kantin, ia membeli roti bakar kesukaannya dan menduduki bangku yang selalu ia tempati.

Kevin mengeluarkan hpnya dan mulai menelusuri media sosialnya.

Pada saat yang sama..

Pak Ari, guru matematika Lia sudah mulai merasakan kantuk karena semalam ia begadang untuk mengoreksi ujian muridnya yang hasilnya selalu merah. Ia pun memanggil Lia ke mejanya. "Lia, sini deh. Kamu kan udah ngerti materi trigonometri ini, tolong beliin kopi di kantin, ya." Ucap Pak Ari dengan matanya yang hampir tertutup.

"Oke pak!" Seru Lia. Angelia yang sudah bosan di kelas pun sangat senang saat Pak Ari memberinya alasan untuk keluar kelas.

Lalu Kevin dikagetkan oleh sebuah telepon dari bapaknya.
"Halo pah?"
"Vin, nanti kamu pulangnya ke rumah Tante kamu ya. Papa udah kasih tau supirmu kok."
"Emangnya kenapa pah?"
"Nanti papa kasih tau kamu"
"Kenapa gak sekarang aja sih pah?"
"Papa sibuk."

Teleponnya pun dimatikan oleh bapaknya.

"Dih, apaan sih? Ngobrol bentar aja gak bisa, gimana dia bisa berharap gua bisa jadi anak yang dia inginkan!?" Gumam Kevin dengan kesal. Emosi, Kevin pun membanting hpnya ke atas meja kantin dengan kasar.

"Yah, orang tua emang gitu, nanti bakal kebiasaan juga." Angelia yang dari tadi menguping, sedang berdiri di samping meja Kevin sambil membawa segelas kopi panas.

"Sok tau banget sih lu?" Kevin yang tidak nyadar betapa keras suaranya itu tiba-tiba panik saat mendengar suara high heels yang sedang menuju arah kantin.

"Woi, lu, ngumpet napa! Kalo gua ketahuan sama si kepsek, bapak gua bakal di panggil!" Bisik Kevin.

"Hah? Santai aja napa."

"Ih! Bacot banget sih lu? Sini ikut gua!" Kevin menarik lengan Lia yang begitu kurus dan mengajaknya berlari menuju toilet dan mengumpat dalam sebuah lemari kecil.

Tempatnya begitu sempit, tetapi dapat memuat badan Kevin yang cukup besar itu. Karena tempatnya yang sempit, badan mereka pun terpaksa untuk menempel dengan dekat.

"Sempit ya. Kopinya Pak Ari ini gimana yah..?" Tanya Angelia dengan jantung yang sedang berdetak dengan cepat karena diajak lari.

"Shh! Diem napa."

"Emangnya kenapa sih lu takut banget sama kepsek kita?"

"Bapak gua bakal ngamuk besar."

"Kenapa?"

"Kepo banget sih? Trus, jantung lu ga bisa santai dikit yah?"

"Mana gua tau!"

" Um, gara-gara lari ato gara-gara lagi deket gini sama gua?" Tanya Kevin saat wajahnya mulai mendekati wajah Angelia.

"E-eh??"

-M.M-

AngeliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang