Kesatu

34 9 4
                                    

Semalaman aku tidak bisa tidur. Aku kepikiran atas kejadian tadi sore. Aku sempat bercerita ke Jani, dan apa yang dikatakan sama Jani waktu di telfon memang benar.

“Kau tidak seharusnya berbicara seperti itu didepannya. Kau pikir dia itu manusia robot yang tidak punya perasaan? Dia juga manusia kayak kita kali.”

“Tapi aku melakukan itu supaya dia percaya sama aku.”

“Tapi gak gitu juga caranya. Yang ada sekarang lo jadi merasa bersalah kan karena udah nyinggung perasaannya?”

“Iya juga sih. Terus aku harus gimana dong?”

“Minta maaf lah. Lo mau kehilangan temen akrab lo dari SMP? Eh bukan temen akrab, lebih tepatnya ke temen hidup sih.”

“Ih Jani! Lo apa-apaan sih kok malah mojokin gue. Gue kan nelfon lo buat minta saran.”

“Aduh becanda kali, Nja. Dibawa perasaan aja sih lo.”

“Gue bingung nih! Gue harus gimana selain minta maaf?”

“Gak ada cara lain. Minta maaf itu cara terbaik untuk nyelesaiin masalah.”

“Gue tahu, tapi..”

“Tapi apa?”

Aku pernah baca di akun media sosial katanya perkataan seringan apapun yang menyakiti hati seseorang bisa menghilangkan segalanya. Dan sekarang aku paham arti dari perkataan itu. Ya memang benar, perkataanku sudah menghilangkan segalanya. Aku telah kehilangan teman akrab-ku hanya karena keegoisanku.

“Senja! Lo masih disana kan?”
Aku tersentak oleh suara Jani.

“Eh iya, gue harus minta maaf ya?”

“Iya, kenapa? Lo keberatan?”

“Bukan sih, tapi masa pantas cewek sejahat gue dimaafkan gitu aja sama dia?”

“Lihat aja nanti.”

“Jawaban lo ga bermutu ih! Gue jadi makin kesel deh sama lo. Udah ah gue matiin. Bye!”

Lalu aku harus bagaimana? Haruskah aku meminta maaf setelah apa yang aku lakukan padanya? Tapi mana mungkin. Aku saja tidak tahu apa yang harus aku lakukan saat bertemu dengannya besok. Aku tidak sanggup. Masih pantaskah aku dimaafkan?

***

Siang ini aku berada di dalam kantin. Bersama riuhnya orang-orang yang lagi sibuk mengisi perutnya. Aku sendirian saja. Biasanya kalau istirahat begini aku di temaninya. Tapi karena kami bertengkar jadi aku sendiri. Ya sudahlah, memang ini kesalahanku.

Tapi omong-omong sejak pagi tadi aku tidak melihatnya sama sekali. Bahkan waktu upacara tadi, aku tidak melihatnya ada di barisan. Kupikir dia terlambat ternyata sampai sekarang aku tidak bertemu juga. Mungkinkah dia tidak masuk untuk menghindariku? Ahh aku tidak mau kalau sampai begitu! Bodoh kamu, Nja!

“Kak Senja.”

Aku menoleh ke sumber suara. “Ada apa?” tanyaku pada seorang cowok yang tak kukenal. Mungkin dia adalah junior di sekolahku. Soalnya aku jarang melihat mukanya di kalangan temanku. Jadi kupikir memang benar.

“Ada titipan,” katanya.
“Dari?”
“Seseorang.”

Ia memberikan bingkisan yang tak kutahu isinya apa kepadaku. Ragu-ragu aku menerima. 

“Udah ya aku balik dulu.”
“Eh,” belum sempat kuinterogasi junior itu. Tapi ia keburu pergi saja.

Aku menatap bingkisannya. Ada sekotak kardus kecil yang dibungkus rapi berada didalamnya. Berwarna merah muda, warna kesukaanku. Tapi siapa yang memberiku ini? Banyak sih yang tahu sama warna favoritku tapi masa iya cuma orang iseng sih?

Tau-tau bel masuk bunyi. Buru-buru aku masuk ke kelas sebelum Pak guru memarahiku karena terlambat masuk.

***

Aku kalau pulang sekolah tidak langsung pulang. Bukan untuk nongkrong kayak visual badboy yang ada di cerita fiksi gitu tapi untuk jemput adik. Iya, aku punya adik. Masih bau kencur kayak aku.

Namanya Amira, anak kelas dua SMP yang umurnya terpaut empat tahun lebih muda dari aku. Dia masih 14 tahun, sedangkan aku... tau sendiri lah. Ira itu anak baik, periang, gak neko-neko, alim kayak kakaknya. Tapi yang paling nonjol di sifatnya ya usil, paling tidak suka kalau aku lagi badmood terus dia ngusilin. Udah pengen nampol aja rasanya.

Kami cuma dua bersaudara. Sebetulnya aku punya kakak lagi, tapi kata Mama kakak meninggal waktu dilahirkan. Aku tidak tahu penyebab pastinya, tapi yang kutahu Mama berat buat nerima. Mama sempat down, dan sempat tidak mau punya anak lagi. Tapi karena sifat super heronya Papa akhirnya Mama mau. Dan kini Mama sudah punya dua malaikat kecilnya, yaitu aku dan Ira.

Di rumah, kami ibarat garam dan gula yang melengkapi makanan supaya terasa enak. Anggap saja aku sebagai gula dan Ira sebagai garam. Karena Ira itu orangnya paling masam alias tukang usil. Tiap detik tuh Ira tidak ada capeknya buat gerak. Emang anak itu hipeaktif sih. Tapi hiperaktifnya tuh bukan untuk hal positif tapi buat jahilin aku. Siapa yang tidak kesal coba?

Banyak yang bilang sih kalau aku itu super cuek. Katanya pendiam akut. Jani bilang aku tuh tipe orang yang tidak mau mulai duluan. Jadi kalau ada orang baru di dekatku gitu, aku tidak mau mengajak ngobrol. Memang iya sih, sebenarnya sifat asliku begitu. Mungkin Ira tidak betah kali ya punya kakak super cuek kayak aku? Makannya dia sering jahilin aku supaya kukasih perhatian.

Aduhh kasihan sekali adikku itu...

Omong-omong aku sudah di depan sekolah Ira. Menunggu kemunculan batang hidungnya sambil menatap segelintir anak SMP yang berbondong keluar dari gerbang, ada yang tergesa-gesa untuk menghampiri orangtua yang menjemputnya, ada juga yang santai ria sambil tertawa bersama temannya.

Gambaran itu mengingatkanku pada masalalu.

Waktu itu aku yang masih anak baru berjalan sendiri menuju lorong sekolah. Celingak-celinguk mencari ruang guru tapi tidak ketemu. Notabene sekolah SMP-ku itu terlalu besar untuk aku kelilingi. Sampai pada akhirnya aku lelah dan tidak sanggup untuk mencari lagi. Tau-tau ia datang menawarkan bantuan kepadaku. Sambil tersenyum manis ia mengajakku berteman setelah itu. Pertemanan kami berjalan sampai lulus SMP. Kami memilih sekolah yang sama di SMA. Alasannya karena kami tidak ingin jauh-jauh. Katanya kalau jauh, ia suka rindu. Makannya sampai sekarang pun kami tetap bersama.

Tapi, tidak tahunya...

Ada rasa diantara pertemanan kami. Rasa yang tidak seharusnya ada. Rasa yang membuat kami seolah menjauh. Aku seperti seorang pengecut yang menghianati pertemanan kami.

“Kak, nungguin lama ya?” celetuk Ira yang sudah ada di depan motorku.

“Eh, enggak kok. Baru aja datang.”

Padahal aslinya aku sudah dari tadi. Ya sudah lah ya sama adik sendiri. Tidak boleh marah-marah.

“Yaudah Kak, kita pulang. Aku ada tugas banyak nih, makannya aku gak mau kemana-mana dulu sebelum tugasku selesai.”
“Tumben.”
“Adiknya ada perubahan malah dibilang tumben. Emang serba salah ya aku di mata Kak Senja.”

“Udah ayo pulang. Katanya mau nyelesaiin tugas.” Sambil menyondorkan helm kepada Ira. “Pakai dulu.”
“Siap.”

Setelah Ira naik di jok belakang. Motorku melaju standar menuju ke pekarangan rumah.

***

love, NR.

SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang