Lucio dan Mia are coming back ^^
Untuk buku cetaknya kemarin sudah ready dan sudah dkirim ya, apabila ada yang belum dapat, nanti langsung kontak melalui WA saja ketika pertama kali memesan.
Sekarang, UNDER HIS COMMAND juga ready di Google Play ya, silakan search dengan kata kunci : darkrose publisher
Lalu, jangan lagi bertanya tamat apa kagak, tamat apa kagak, tamat apa kagak, okaay? Seperti yang sudah dibilang, versi wattpad tetap tamat di wattpad, kalau mau versi yang lebih lengkap dan berbeda, itu ada di cetak/google play.
Anyway, happy reading ya
Luv,
Carmen
Yang mau follow IG, boleh add : carmenlabohemian
____________________________________________________________________________
Lama setelah itu, ketika Lucio Bartoletti sepertinya sudah puas menggerayangi mulutku dengan lidah dan bibirnya, dia mengangkat kepalanya. Aku membuka mata dan menangkap kilat di kedua matanya yang dalam.
"Not bad," bisiknya dan aku merasakan keinginan untuk meraung.
"See? Jika kau tidak melawan, aku tidak akan menyakitimu, aku bukan orang jahat, Mia," lanjutnya lagi.
Mungkin bukan jahat, hanya orang yang sangat berbahaya, sambungku dalam hati.
"Just don't make me angry."
Aku tidak tahu harus mengatakan apa, jadi aku hanya mengangguk pasrah.
"Good."
Dia lalu melepaskan pegangannya pada kedua pergelanganku dan aku begitu lega sehingga nyaris tidak bisa menahan tangis. Namun sebelum pria itu benar-benar bangkit, dia sengaja menggesekkan dadanya yang tertutup kemeja hitam gelap itu ke dadaku yang terbuka, mengalirkan kejut listrik yang membuatku menegang hingga ke bawah dan aku tidak bisa menahan kesiap tajamku. Tapi Bartoletti tidak marah, pria itu hanya tertawa senang seperti setan sebelum berguling menyamping dan bangkit. Semua itu dilakukannya hanya dalam beberapa detik, sementara aku masih berjuang untuk pulih dari rasa terkejut dan malu.
Sialan pria itu! Benar-benar bajingan!
Aku berusaha menghela tubuhku dan kembali duduk, cepat-cepat menyambar selimut dan menutupi tubuhku kembali. Lalu menatap takut-takut ke arah pria itu, yang kini sudah berdiri di samping ranjang, sedang menatapku. Aku mencengkeram selimut lebih erat, menggigit bibirku yang sedikit bengkak dan ragu antara harus menurunkan pelindung itu atau mengambil resiko membuat pria itu kesal. Namun Bartoletti tidak mengatakan apa-apa, hanya berujar singkat. "Bangunlah. Saatnya makan."
Aku mengerjap sesaat dan melihat melewati pria itu, ke arah meja di seberang. Pria itu yang membawakanku makanan? Mataku kembali terarah ragu padanya. "Aku... aku..." Aku terus menggenggam selimut, kini meremasnya kuat, tak yakin apa yang harus kukatakan. Tapi yang mengejutkan adalah, pria itu sepertinya bisa membaca pikiran.
"Kau boleh mengenakan pakaianmu."
Tapi rasanya terlalu cepat untuk merasa lega, karena pria itu membungkuk untuk meraih gaun malam nyaris transparan itu dan melemparnya padaku. Aku menatapnya tersiksa sebelum meraih gaun itu dengan enggan.
"Kenapa?"
Pertanyaannya menyentakku dan aku kembali menatapnya. Tapi, lidahku masih terekat ke langit-langit mulutku.
"Kau tidak suka?"
Aku menggeleng.
"Lalu?" tanyanya kasar.
Aku mereguk ludah. Dan menarik napas dalam sebelum membuka mulut. "Bolehkah... bolehkah aku mengenakan pakaianku sendiri?"
Sesaat, Lucio Bartoletti hanya menatapku. Aku sudah nyaris mengatakan bahwa aku akan mengenakan gaun malam tipis yang ada di tanganku hanya supaya dia berhenti menatapku seperti itu, sebelum dia mendengus kasar dan berbalik untuk berjalan ke arah lemari pakaian. Aku bahkan mendengarnya menggerutu. "Benar-benar tawanan yang merepotkan."
Aku masih mematung dan mengikuti gerakannya. Pria itu membuka pintu lemari dan menarik salah satu baju yang berada paling dekat dengannya lalu berbalik kembali mendekatiku. Begitu berdiri di ujung ranjang, dia melemparkan gaun polos itu ke arahku diikuti ancaman lainnya. "Kenakan itu. Cepat."
Aku meraih baju itu dan melihatnya berbalik, berjalan dan duduk di salah satu kursi di meja. Ketika melihatku masih mencengkeram baju yang diberikannya, kesabaran pria itu sepertinya mulai habis. "Aku beri waktu sepuluh detik, Mia. Lebih dari itu, kau akan makan telanjang di depanku."
Aku tidak perlu mendengar lebih banyak. Tanganku terangkat dengan cepat dan aku menyelesaikan kegiatan berpakaian secepat kilat lalu merangkak untuk turun dari ranjang dan bergegas duduk di hadapan pria itu dalam kurun waktu sepuluh detik yang singkat. Saat aku mengangkat mata untuk menatapnya takut-takut, aku berani bersumpah jika sudut mulut pria itu berkedut samar. Dia kemudian mengangguk ke arah nampan yang masih tertutup.
"Makanlah. Kau terlalu kurus. Sama sekali bukan seleraku."
Tanganku yang sedang mengangkat tutup nampan terhenti sejenak dan mata kami kembali bertemu. Dengan ringan, sambil mulai menyalakan cigarette di tangan, pria itu melanjutkan, "Dengan ukuranmu sekarang, kau akan kesulitan memuaskanku, Mia."
Lalu seolah tidak baru saja membakar wajahku dengan ucapannya yang tidak bermoral itu, Lucio Bartoletti menyandarkan tubuhnya ke punggung kursi, kakinya terjulur lurus dengan satu tangan di lengan kursi dan tangan lain mengarahkan cigarette yang mulai mengepul itu ke mulutnya. Aku cepat-cepat menunduk, mencoba untuk mengabaikan perkataan pria itu dan berfokus pada makanan. Aku lapar, perutku butuh diisi dan makanan yang tersaji itu membuat air liurku terbit.
Sup yang masih mengepul panas, keju, jamur, kentang, lalu daging sapi yang terlihat empuk dengan siraman saus yang begitu menggoda, serta jus jeruk tinggi yang tampak segar dan dingin – kapan aku pernah makan dengan menu seperti ini?
Aku tidak peduli bila aku terlihat rakus dan menyedihkan. Untuk kali ini saja, aku akan berpura-pura tidak ada orang lain di ruangan ini dan menikmati makan malam terlezat yang pernah kunikmati. Sampai ucapan pria itu kembali menyentakku.
"Pelan-pelan saja."
Aku mengangkat wajahku, tak sanggup menahan rona malu yang menjalari wajahku dan nyaris tercekik oleh potongan daging sapi yang buru-buru kutelan.
"Sudah kubilang, pelan-pelan saja," gerutu pria itu lagi, kasar.
Aku meraih jus jeruk dingin itu dan mendorong makanan untuk turun dari tenggorokan, lalu buru-buru meminta maaf. "Maaf..."
"For what?!"
"For..."
Aku terbatuk kecil dan buru-buru kembali menuangkan air ke tenggorokanku. Kulihat, Lucio Bartoletti mengibaskan tangannya kasar dan berdiri. "Sudahlah. Kau boleh makan dengan tenang kali ini. Karena mulai besok, kau harus menemaniku setiap sarapan, makan siang dan makan malam. Mengerti?"
Aku tidak sempat memberikan jawaban karena Lucio Bartoletti sudah berjalan ke arah pintu, menyentaknya terbuka dan keluar sambil membanting pintu kamar tersebut. Saat aku menurunkan gelas itu kembali, aku terus menatap pintu yang tertutup itu selama beberapa detik sebelum godaan untuk melanjutkan makan terasa terlalu besar untuk terus ditepis.
Seperti yang kukatakan pada diriku sendiri, aku masih tidak bisa menyimpulkan pria seperti apakah Lucio Bartoletti.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNDER HIS COMMAND (DOMINATION #2)
RomanceDark Romance The Girl Tak akan ada seorang gadis pun yang secara sukarela datang mencari Lucio Bartoletti - sosok paling menakutkan di seluruh San Silvado. Tapi sayangnya, Mia tidak memiliki pilihan. Demi ayahnya, ia harus pergi menemui pria itu, sa...