Bab 7

15.3K 1.3K 26
                                    

Pria itu seharusnya adalah seorang monster.

Tapi sampai sejauh ini, aku belum benar-benar bisa memutuskan.Sikap Lucio Bartoletti jelas membingungkan. Dia membuatku ketakutan setengah mati, gemetar di hadapannya, merah padam dan merona, lalu menghinaku dengan kata-kata merendahkan.

I hate scarred body. How do you supposed to entertain me with that body of yours?

Kata-kata itu melecut tajam, setajam lecutan ayahku, hanya saja luka itu tak mengeluarkan darah. Tapi bukan berarti lebih baik.

Setelah mengeluarkan kata-kata kasar seperti itu, menolakku dengan penuh hinaan - bukan berarti aku tidak suka ditolak olehnya, itu malah melegakan mengetahui pria itu tak lagi tertarik secara seksual padaku - dan meninggalkanku begitu saja, kupikir dia akan menyuruh seseorang untuk mendepakku keluar, menyatakan bahwa aku gagal menjadi penjamin. Tapi ternyata tidak.

Inilah bagian yang membingungkan.

Lucio Bartoletti benar-benar menyuruh seseorang datang untuk mengantarku ke kamar yang katanya akan kutempati selama tinggal di sini. Aku tidak tahu harus mengatakan apa. Ini di luar ekspektasiku. Aku di sini tidak lebih seperti tawanan, tapi pria itu menempatkanku di kamar yang rasanya lebih layak untuk ditempati seorang putri. Kamar itu begitu besar sehingga aku takut akan tersesat ketika pertama melangkah masuk.

Kemewahannya melebihi kata. Semua perabotnya seakan dipilih secara khusus, sepadan, paduan seimbang antara warna putih dan emas yang menciptakan nuansa yang berbeda. Well, aku tahu, mungkin seluruh kamar yang ada di rumah ini memiliki gambaran jauh dari sederhana. Tapi tidak perlu juga menempatkanku di kamar yang begitu indah dengan balkon besar berpagar emas hitam yang menghadap ke taman bunga.

Kejutannya tidak hanya sampai di situ. Inilah bagian yang paling membingungkan bagiku. Ketika aku sedang mengagumi perabotan yang ada di kamar itu, suara ketukan melonjakkanku. Saat pintu dibuka, seorang pria memperkenalkan diri sebagai dokter. Luilcio Bartoletti kembali mengejutkanku. Pria itu mengirim seorang dokter untuk memeriksa dan mengobati lukaku. Jujur saja, sampai dokter itu setelah meninggalkanku setumpuk obat dan salep, aku masih belum bisa memutuskan pria seperti apakah Lucio Bartoletti ini.

Apakah dia memang cukup terganggu dengan luka dan memar di tubuhku? Atau dia kasihan? Atau dia memiliki maksud lain dengan mengobati bekas-bekas memar yang sebenarnya akan membaik dalam waktu dekat? Aku benar-benar tidak tahu. Hanya saja bagiku, ini tindakan yang tidak perlu, walau tak pelak aku merasakan sedikit hangat menjalari dadaku. Kapan terakhir kali seseorang menaruh kepeduliannya padaku, aku tidak ingat.

"Lucio Bartoletti..." Tanpa sadar aku mengguman pelan namanya.

Lagi-lagi, aku terlonjak ketika suara ketukan kembali terdengar. Belum sempat aku menjawab, pintu ganda itu sudah terbuka dan seorang gadis yang usianya sepantaran denganku melongokkan wajah, lengkap dengan senyum malu-malunya.

"Hai..."

Aku tidak tahu harus memberikan reaksi apa selain membalas senyum itu dengan senyumku yang terasa lemah dan kaku. Gadis itu kemudian mendorong celah pintu hingga terbuka lebih lebar dan menyelipkan diri dengan lincah, sebelum menutup kembali celah tersebut.

"Kau... siapa?" tanyaku kemudian, ragu-ragu, ketika dia masih berdiri menempel di pintu kamarku.

Aku bergerak mundur secara spontan ketika melihat gadis berambut hitam bergelombang itu bergerak maju. Dia berhenti dan mengerutkan kening ketika melihat reaksiku. Buru-buru dia berhenti, mengangkat kedua tangannya lalu menggerak-gerakkannya dengan cepat sambil menjelaskan maksud kedatangannya. "Jangan takut, Signorina Mia. Aku tidak akan menyakiti Anda. Signor Bianchi yang memintaku ke sini, untuk membantu Anda."

UNDER HIS COMMAND (DOMINATION #2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang