Empat : Penggalan Cerita

6 0 0
                                    

Liburan kenaikan kelas kali ini Alena pergi kerumah eyang di Jogja. Bersama dengan Mama dan Abangnya. Tidak lama, kali ini cukup berlepas diri dari beban fikiran karna memikirkan pelajaran di sekolah hanya dua minggu. Sudah setahun Alena tidak bertemu dengan eyang nya yang tidak pernah mau kalau diajak pindah ke Jakarta. Padahal hidup di Jogja sendirian, dengan keadaan yang sudah cukup berumur tentunya membuat Alena, Mama dan Abangnya khawatir.

"tumben lo ngajakin gue ke taman"

"ya pengen aja gitu, biar romantis dikit"

"haha sadar lo gak pernah romantis"

Alena terkekeh sambil menyuapkan arum manis yang ada di tangannya.

Sore itu Fano mengajak Alena pergi ke taman, hal yang tidak pernah ia lakukan selama berpacaran. Suasana taman cukup ramai, ada anak-anak yang berkejaran, memakan jajanan, bermain balon air dan ada juga yang menangis karna tidak diizinkan membeli jajanan kesukannya oleh ibunya, alasannya katanya jajanan luar kurang sehat, mereka lebih memilih untuk membuatnya sendiri.

Tidak seperti biasanya, Fano terlihat agak pendiam sore itu.

"Fan, elo sakit?"

"enggak tuh, kenapa?"

"tumben diem aja, biasanya bawel banget, jail. Lo kenapa? Ada masalah?"

Alena bertanya sambil memperhatikan wajah Fano.

"Al, elo ngerasa terbebani nggak?"

Alena yang saat itu menikmati suasana di sekitar taman sontak berekspresi bingung dan menujukan pandangannya kepada Fano.

"maksud lo gimana nih?"

Tanya Alena penasaran.

"iya, elo cewek cantik, pinter. Disekolah cuma dengerin berita pacar lo ini berantem terus, bikin masalah terus."

Jelas Fano agak panjang dengan suara yang sedikit kecil.

"Fano?"

"Alena, gue sayang sama elo"

Saat ini Fano menggenggam erat tangan Alena, mata mereka saling bertatap binar.

"Gue juga sayang sama elo bodoh. Lo kenapa sih? Jangan bikin gue takut."

"Gue nggak mau ngerusak reputasi lo di sekolah Al."

"Reputasi di sekolah nggak penting Fan, gue nggak pernah ngarepin itu semua. Gue udah faham arah omongan lo. Nggak, gue nggak mau."

Nada bicara Alena yang berubah seperti memohon membuat tangannya semakin erat menggenggam tangan Fano. Seolah ada ketakutan disana.

"Kalo gitu gue juga nggak mau. Tapi kita harus paksain buat jadi mau, demi elo, demi gue, demi kita Al. Gue cuma mau elo dikenal orang di sekolah tanpa ada noda hitam dari gue."

Kalimat Fano membuat Alena merasa seperti ada yang menjejali matanya, gumpalan air siap jatuh mengalir di pipinya.

"Setahun Fan, kalo emang gue ngerasa elo ngebebanin hidup gue terutama di sekolah, gue pasti udah mutusin elo. Tapi kenyataannya gue bertahan sampe sekarang, gue nggak ngerasa gimana-gimana tuh sama kenakalan elo. Kalo emang elo sayang sama gue harusnya bukan gini, elo bisa kok ngerubah sikap lo. Itu pun kalo elo mau."

Alena menjawab dengan kalimat yang agak panjang, dengan airmata yang tidak bisa dihindarkan lagi jatuhnya. Tangannya kini tak seerat semula, kepasrahan menguasai dirinya saat itu.

"Gue udah coba Al, tapi gue nggak bisa. Malah makin bikin elo repot, harus ngurusin gue kalo abis berantem, dititipin beribu nasehat dari guru buat gue. Gue janji kedepannya nggak bakal ngelakuin semua itu Al."

Pelukis RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang