Bab 2

3 0 0
                                    

Aurum mengerjapkan mata perlahan. Menyesuaikan pencayahan yang diterima pupil matanya. Hal yang pertama kali ia lihat adalah langit-langit berwarna putih. Ia mengedarkan pandangan melihat sekelilingnya. Kasur yang ia tempati dikelilingi oleh gorden berwarna hijau yang menjuntai panjang. Tidak salah lagi, ia berada di UKS sekarang.

Aurum baru ingat kalau tadi ia mengikuti upacara bendera. Lalu kepalanya tiba-tiba pusing ketika mendengar amanat pembina upacara. Bangun-bangun ia sudah berbaring di sini. Sudah pasti ia tak sadarkan diri ketika upacara bendera sedang berlangsung. Siapa kira-kira orang beruntung yang berhasil ngangkat gua sampai UKS, tanya Aurum dalam hati. Di saat ia melamun, seseorang menarik gorden yang menutupi salah satu sisi ranjang yang ditempati Aurum.

Orang itu menghela napas lega melihat Aurum sudah siuman. "Ada yang sakit, dek? Adek mau apa? Laper nggak? Haus?" Aurum diberikan pertanyaan bertubi-tubi. "Mau minum," Aurum bergumam lirih sambil memijit kepalanya yang masih terasa senut-senut.

Orang itu, Kai, membantu Aurum untuk duduk lalu memberinya sebotol kecil air mineral. "Abang bukain," pinta Aurum menyerahkan airnya kembali disertai senyum lebar pada wajah pucatnya. Untung lagi sakit, kalo nggak udah gua sentil jenongnya, batin Kai. Ia menuruti permintaan adik kesayangannya itu.

"Kok abang di sini, Luna mana?" Tanya Aurum setelah menghabiskan air yang diberikan Kai. "Luna udah balik ke kelas. Tadi pas selesai upacara, dia nyari abang terus ngasih tau kalau kamu pingsan. Ya udah abang di sini deh buat nemenin kamu," jelas Kai.

"Lagian kok sampai pingsan gini sih. Adek nggak makan roti yang abang kasih sebelum berangkat tadi?" Aurum mengingat lagi kejadian sebelum ia dan kakaknya berangkat ke sekolah. "Hehe, rotinya adek masukin ke tas tadi. Lupa dimakan sebelum ke lapangan upacara," kata Aurum cengar-cengir. Kai menghela napasnya berat.

Beginilah kebiasaan Aurum. Ia tidak terbiasa dengan yang namanya sarapan pagi pakai nasi. Tapi ya jeleknya seperti ini. Ia sering kali lupa kalau ia belum sempat makan apa-apa. Biasanya Kai akan selalu memastikan kalau adiknya sudah makan roti atau belum. Tapi karena tadi terburu-buru, ia hanya sempat memberikan sebungkus roti pada adiknya.

"Nanti jangan sampai kayak gini lagi. Nggak tau apa--"

"Nggak," jawab Aurum kalem, menginterupsi omelan Kai.

"Orang lagi ngomong tuh didengar dulu, ini malah motong. Nggak sopan amat sama yang lebih tua," gerutu Kai. "Nanti sampai di kelas makan rotinya kalau lagi nggak ada guru. Tapi kalau udah ada guru di kelas kamu makannya nanti aja pas pergantian jam. Nanti abang suruh Luna buat mastiin kamu makan rotinya atau nggak," omel Kai panjang lebar.

"Iya abangku sayang yang paling cerewet setelah mama. Nggak usah disuruh gitu juga adek udah paham kok. Sekarang anterin adek ke kelas yuk," pinta Aurum. "Adek beneran udah nggak apa?" Tanya Kai sedikit khawatir. Aurum memberikan senyum terbaiknya. "Iya, makasih abangku sayang," Aurum memberikan finger heart.

Kai terdenyum kecil melihat tingkah adiknya. "Ya udah tunggu sebentar, abang mau ambilin sepatu adek dulu di luar," kata Kai sambil berjalan meninggalkan Aurum.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Aurum menuruti nasihat Kai saat di UKS tadi. Roti yang dibekalkan kakaknya sudah habis dilahap saat pergantian jam pelajaran ketiga. Meskipun ia sudah makan, baginya itu masih kurang. Jadi, di sinilah ia sekarang. Dengan Luna. Menikmati makan pagi menuju siang di kandangnya para siswa kelaparan.

"Au, lu nggak kepo sama orang yang bawa lu ke UKS?" Tanya Luna memulai obrolan.

"Cuma petugas UKS doang, harus banget gitu gua tau," jawab Aurum. "Kalau bukan petugas UKS gimana?" Tanya Luna lagi untuk memancing jiwa kepo Aurum.

"Emang siapa?" Kan keluar kan.

"Emang mau tau banget?" Luna balas bertanya dengan senyuman yang terlihat menyebalkan di mata Aurum. "Ya udah sih, tinggal bilang doang repot amat." Aurum bersungut-sungut.

"Ardan."

"Hah?!"

"Iya Ardan."

"Apa?! Ngapain?!"

"Bawa ibu hamil ke rumah sakit bersalin."

"Oh."

"YA BAWA ELU LAH BEGO, LOLA AMAT SIH," kata Luna sedikit ngegas, plus geregetan. "Gua nggak hamil," kata Aurum dengan watados. Untungnya suasana kantin sedang ramai, jadi tidak ada yang peduli dengan obrolan mereka meskipun Luna berkoar dengan suara melengking seperti tadi.

Buset dah teman gua gini amat. Luna jadi ngebatin. Tarik napas dulu. Tahan. Jangan emosi. Buang napas perlahan.

Pletak. Aurum dapat door prize dari Luna di dahinya berupa jitakan. "Aduh, biasa aja dong! Sakit tau." Aurum mengusap dahinya.

Aurum seketika menghentikan gerakan tangannya. Otaknya memproses apa yang dikatakan Luna tadi lalu tersadar kalau Luna baru saja menyebut nama Ardan. Apalagi katanya Ardanlah yang membawa Aurum ke UKS. Menimbulkan sedikit rona merah di pipinya. Aurum memang belum bisa move on dari Ardan. Apalagi cowok itu adalah cowok pertama yang berhasil memorak-porandakan isi hati Aurum.

"Lagian emang bener kok. Yang bawa lu ke UKS tadi si Ardan," jelas Luna. "Gua langsung pindah ke belakang lu di detik-detik sebelum lu pingsan. Tapi si Ardan tiba-tiba dateng terus ngangkat lu kayak pengantin. Keren banget gila! Kayak di drakor-drakor." Kalau di animasi 2 dimensi sepertinya di mata Luna ada blink-blinknya gitu.

Aurum jadi kicep mendengar penjelasan Luna. Ia jadi ingat lagi kejadian yang membuat hubungannya dengan Ardan berakhir. Sedih kalau diingat mah. Tapi ya mau gimana lagi. Toh juga nggak bakal bisa ngubah apapun, pikir Aurum. Sebetulnya, ada sedikit rasa penyesalan di hati Aurum mengenai kandasnya hubungan mereka. Tapi Aurum tetap keukeuh tidak mau dengar penjelasan Ardan.

"Ya udah sih, niatnya dia baik ini," kata Aurum pelan dengan wajah tertunduk. Luna memandang Aurum simpatik. "Lu nggak pengin balik lagi sama dia?" Tanya Luna pelan.

Terlintas dipikiran Aurum tentang hal-hal yang sudah ia lalui bersama Ardan. Tapi tidak semudah itu baginya untuk kembali. Ia menegakkan kepalanya, menjawab pertanyaan Luna dengan mantap. "Nggak. Gua nggak mau disia-siain lagi."

"Emang lu udah dengar penjelasan Ardan?" Tanya Luna. Aurum menghela napasnya berat, mengaduk minuman di hadapannya tanpa minat.

"Lu tau sebelum nyimpulin sesuatu harus liat dari sisi yang beda juga. Lu sendiri yang pernah bilang gitu ke gua. Harus buat keputusan dalam keadaan pikiran yang tenang. Lu udah ngelakuin itu?" Aurum tahu. Ia sangat tahu maksud Luna.

"Gua nggak mau lu nyesal nantinya karna terlambat. Lagian gua perhatiin nih, Ardan masih sesayang itu kok sama lu. Kelihatan jelas dari ekspresi mukanya yang berusaha stay cool pas lu pingsan." Luna jadi senyum-senyum sendiri mengingat kejadian tadi.

Aurum memutar mata bosan melihat tingkah Luna. "Udah ih. Gua mau makan ini. Lu bikin nafsu makan gua menurun drastis gara-gara ngebahas dia," gerutu Aurum.

"Mau makan ya tinggal makan. Gitu aja repot," Luna mencibir. Aurum mengabaikan cibiran Luna dan melanjutkan acara makannya yang sempat tertunda. Ia jadi kepikiran dengan apa yang Luna ucapkan tadi.

Apa benar Ardan masih sayang sama dia?

Tapi kenapa dia ngelakuin hal kayak gitu dulu?

.
.
.
.
.
.
.
.
.

Bersambung

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 16, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Mantan? Mantan!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang