awal

113 7 1
                                    

Menaruh perasaanku padamu, itu sama saja menyesatkan hidupku

LEAVARA

Separuh rembulan menampakkan diri ditengah gelap malam. Dibawahnya berdiri sepasang remaja yang tengah larut dalam bahagia. Tawa lepas terdengar sepanjang mereka berjalan. Banyak mata asing yang menatap mereka tanpa arti yang jelas. Meski tersirat kecemburuan sosial dalam tatapan yang dilontarkan pada sepasang remaja itu.

"Kamu harusnya ada disana, bukan disini" ucap gadis yang terlahir dengan nama Syalana. Berperawakan bule, dengan rambut pirang dan mata cokelat tua. Sepasang mata itu akan berbinar ketika ia berbicara.

Sementara Bagas hanya tersenyum tulus mendengar penuturan Syalana. Kini keduanya duduk di tepi jalan malioboro. Menikmati dingin yang dipancarkan oleh Sang Malam, lalu disamarkan oleh Sang Bulan.

"Yang lebih lama dikenal, yang harus lebih diprioritaskan" sahut Bagas dengan pandangan lurus. Separuh wajahnya tertimpa cahaya dari lampu taman.

Orang-orang berlalu lalang tanpa henti. Lampu-lampu menyala dengan kesan hangat yang diciptanya. Sekaligus memberi tanda kehidupan kota Jogja jika dilihat dari atas sana. Dari langit yang selalu gelap.

"Hmm, seharusnya gak gitu Gas. Dia pacar kamu dan aku sahabat kamu. Prioritas dia ada diatas aku"

"Gue sama Gauri pacaran atas dasar apa Sya? Gue bahkan menyesal ambil keputusan itu. Fikiran gue belum ke arah sana. Lo tahu kan banyak mimpi di kepala gue"

Hembusan nafas terdengar dari keduanya. Bagas tetap diam sampai Syalana kembali berbicara. Dia tahu tiap detail dari sikap Sya. Dan kali ini Bagas pun tau, Sya ingin mengatakan hal yang lebih padanya.

"Kalau gitu, putusin dia. Dengan cara yang baik"

"Iya nanti"

"Bagas aku capek gini terus. Aku selalu dianggap perusak hubungan orang" ucap Syalana kesal. Pacar-pacar Bagas sebelumnya selalu cemburu dengan kedekatan antara Sya dan Bagas. Lalu Gauri, gadis itu yang paling sabar, paling bebal dalam mempertahankan hubungannya dengan Bagas.

"Gak ada yang bilang gitu" elak Bagas meskipun kenyataan nya memang begitu.

"Aku yang ngrasa"

Suasana kembali hening. Masing masing berkutat dengan fikirannya. Ada berbeda. Ada yang janggal. Namun entah apa! Keduanya sama sama tersakiti karena prinsip dan ego masing-masing.

"Permisi Kak. Mau nanya nih. Chef Arnold pernah gagal bikin makanan enggak ya?" Suara melengking itu berhasil membuyarkan lamunan mereka dalam sekejap. Mereka saling tatap sebelum akhirnya memperhatikan gadis yang berdiri didepannya sambil memasang senyum ceria.

Ini anak, ngapain sih? -batin Bagas sembari menyisir tubuh mungil gadis itu. Dari atas sampai bawah. Kaus berwarna kuning cerah yang dimasukkan kedalam celana jeans. Lalu rambut panjang yang dikepang dua. Rambutnya di cat pirang. Tampilannya tak terkonsep sama sekali.

"Hallo, jawab dong" gadis itu melambaikan tangan didepan wajah Bagas dan Syalana secara bergantian.

"Tanya aja ke Chef Arnold. Ngapain tanya ke kita" sahut Bagas sambil menahan kesal. Pemuda itu sama sekali tidak mengenal gadis random ini.

"Gak papa. Cuma mau kenal sama kalian aja. Nama gue Vara. Dan itu yang berdiri dibalik pohon, itu temen gue, namanya Marsya" ucapnya memperkenalkan diri. Satu tangannya menunjuk perempuan berbaju merah yang berdiri disamping pohon beringin yang tak jauh dari mereka. Gadis berbaju merah juga tersenyum dan melambaikan tangan ketika tahu dirinya sedang diperbincangkan.

"Hai, aku Syalana"

"Hai juga, salam kenal. Maaf tadi gue ditantang Marsya untuk nanyain hal absurd ke orang asing"

"Tapi kehadiran lo itu mengganggu" sinis Bagas. Yang langsung ditahan oleh Syalana.

Gadis baik hati itu segera meminta maaf atas perkataan sahabatnya. Dia merasa perkataan Bagas terlalu sarkas untuk perempuan.

"Kan saya udah minta maaf. Santai dikit napa Mas. Dari awal saya liat mas ini gak ada ramah ramahnya. Sombong amat" ujar Vara pada Bagas.

"Padahal saya cuma mau menambah lingkaran perteman. Tapi dibilang nya mengganggu, yaudah maaf deh kalo gitu. Permisi."

Gadis berkepang dua itu berlalu dari hadapan Bagas. Kembali pada Marsya yang sejak tadi sembunyi dibalik pohon.

Bagas berdiri ditempat. Kupingnya terasa panas setelah mendengar petuah dari gadis aneh itu.

***

Bagas sampai di rumahnya sekitar jam sebelas malam. Ia mengantar Syalana pulang terlebih dahulu. Memastikan gadis itu pulang dengan selamat.

Kondisi kamar Bagas sangat tenang, dengan lampu tidur yang menyala remang. Gemercik air yang berasal dari aquarium besar yang terletak di sisi kamarnya. Juga tanaman-tanaman palsu yang tertata di setiap jengkal dari kamar ini. Bagas ini tipe-tipe pecinta alam.

Tidak lupa foto-foto kecil yang dipasang rapi di dinding yang berhadapan langsung dengan ranjang Bagas. Foto-foto itu seperti bukti bahwa masa lalu itu ada, dari waktu ke waktu. Ketika Bagas kecil mulai berjalan, lalu beranjak besar dan memulai langkahnya untuk mencari tahu seperti apa dunia. Mendaki adalah kegiatan wajib setiap tahunnya.

Memotret, sebuah proses mengabadikan moment moment dalam hidup yang mungkin tidak akan terulang dua kali.

"Nak, udah tidur belum? Shalat dan gosok gigi dulu" ucap perempuan paruh baya dari balik pintu. Avantie, perempuan terbaik dalam hidup Bagas. Bunda terbaik di seluruh dunia.

"Iya, Bun"

Bagas bergegas menuju kamar mandi. Dia menatap bayangan nya di cermin. Satu, dua detik dia memasang wajah datar. Lalu pelan-pelan menarik bibirnya ke belakang, sedikit tersenyum.

"Gue aneh kalo senyum anjir"


LEAVARA®Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang