telefon

71 6 0
                                    

Berpacaran bukan satu-satunya cara menindaklanjuti perasaan

LEAVARA

"Enggak!" tolak perempuan itu dengan tegas. Jarinya mengetuk ketuk meja bercat putih yang menjadi tempatnya bertumpu saat ini.

"Gue mau sekolah disini!" ucapnya penuh penekanan, matanya menajam.

Sementara seseorang dibalik telefon terus memaksanya untuk kembali. Pulang ke rumahnya, tempat Vara yang seharusnya.

"Bacot" umpat Vara ketika kesabaran nya sudah benar-benar habis. Maklumlah, kadar kesabaran Vara memang dalam persenan yang kecil.

Kilas balik kejadian semalam, dia meluapkan kekesalannya pada pemuda yang sempat membuatnya tersinggung. Itulah Vara. Dia sulit mengatur emosi nya sendiri.

Dengan segera, Vara mematikan telfon secara sepihak. Perempuan itu kembali fokus pada layar televisi yang tengah menampilkan kartun doraemon kesukaannya. Mulutnya tak henti-hentinya makan camilan yang disediakan pihak hotel.

Rencana untuk sekedar berlibur di Jogja ternyata gagal. Dia lebih tertarik untuk menetap disini, dengan atau tanpa izin keluarga. Keluarga? Kata itu cukup asing bagi Vara.

Ponselnya kembali berbunyi, perempuan itu hanya melirik tanpa berniat merespons nya.

Nggak, nggak boleh luluh

Dia meneguhkan hatinya, bahkan sempat membuang muka ketika ponsel pink kesayangannya berbunyi untuk kesekian kalinya.

Tapi...

Pertahanan hatinya runtuh, dia mengankat telfon dari orang itu lagi.

"Apa?!" Tanyanya dengan nada marah.

"Pulang, tempat lo bukan disana"

"Tempat lo juga bukan disana" sahut Vara menantang. Ada perasaan sakit ketika Vara mengatakannya.

"Gue kuliah disini, kenapa lo gak paham juga? Pokoknya sekarang lo pulang, gue khawatir adek gue kenapa-napa" tutur Fabian tulus.

"Gak! Mau apa lo?" Vara terus menolak dengan kata-kata menyebalkan. "Mau ngomel di telfon? Percuma gak gue dengerin" lanjutnya. Dia sudah terlanjur kesal dengan Fabian. Kakak yang sudah merenggut sebagian hak nya dari kecil. Tapi Fabian juga Kakak yang bisa menggantikan segala sosok yang ia butuhkan. Dan sekarang, sosok itu pergi jauh. Kini tidak ada lagi alasan untuk tetap tinggal di rumah.

"Pulang Ra, please" ucapnya penuh permohonan. Kekhawatiran itu tidak pernah hilang. Usia Vara masih enam belas tahun, usia labil dan rawan mengambil keputusan. Sekarang ada timbul banyak sekali penyesalan dalam diri Fabian. Seharusnya dia tidak melanjutkan pendidikan di America. Lagipula percuma jika pendidikannya bagus, namun gagal menjaga Vara.

"Dah ya, gue mau cuci mata. Kata Marsya di Jogja banyak cogan. Bye" lagi-lagi Vara mematikan sambungan telfon secara sepihak. Dengan menggunakan alasan konyol yang mustahil dilakukan oleh seorang Leavara. Gadis itu tergolong cuek dan tidak mudah tertarik dengan lawan jenis.

Vara mendengkus, kartun doraemon yang tengah ditontonnya sudah selesai. Dia menoleh ke balkon, sepoi-sepoi angin masuk melalui celah pintu kaca yang tidak tertutup rapat. Dengan langkah pelan, Vara berjalan menuju balkon. Dia ingin menyaksikan kehidupan manusia dibawah sana.

Ada euphoria tersendiri ketika melihat kehidupan. Setiap detik selalu ada pergerakan, setiap menit selalu ada perubahan.

Dia berinisiatif untuk menelfon seseorang yang mampu mengembalikan mood nya. Nada tunggu terdengar beberapa detik sebelum berganti dengan suara hangat manusia berinisial mantan.

"Hai Ra, gimana liburannya?" Tanya pria dibalik telefon dengan ramah. Sikap seperti ini yang membuat Vara bahagia. Hatinya menghangat seketika.

"Seru, tapi Marsya harus pulang duluan. Jadi, sendirian deh" adu Vara sambil menekuk wajahnya. Seolah-olah lawan bicaranya ada didepannya saat ini.

"Dari kemaren gak nelfon, gak kangen?"

"Emang lo siapa?" Tukas Vara pada intinya. Karel hanya tertawa, dia tahu betul gadis itu seperti apa.

Suasana hening, Vara masih menunggu Karel untuk mengucapkan sesuatu. Satu menit berlalu, akhirnya Karel kembali membuka pembicaraan.

"Kenapa mau pindah?" Karel bertanya. Pertanyaan ini sebenarnya sudah ia simpan dari tadi. Fabian langsung menyampaikan kabar ini pada Karel.

"Karena disini banyak cogan" jawab Vara asal.

"Serah lo Ra serah. Tapi gue tetep yang paling ganteng, iya sih. Ilmu pasti itu"

"Iya kaya yamaha yang selalu didepan"

"Makasih atas pujiannya, Bu Vara. Saya tersanjung"

Karel tertawa, begitupun Vara. Karel mulai bercerita tentang hobby barunya, fotografi. Pemuda itu sudah membeli beberapa camera untuk memotret beberapa obyek. Sementara Vara hanya menjadi pendengar yang baik. Dia tidak suka berbagi cerita dengan orang lain. Termasuk orang terdekatnya sekalipun.

Lama-lama mereka flashback dengan masa lalu. Ah, menyebalkan. Hal ini yang membuat Vara semakin terjebak dengan perasaannya. Dia tidak bisa memudarkan perasaannya pada Karel.

"Aneh banget masa putusnya cuma gara-gara paketan habis, gabisa berkabar" ucap Karel mulai terbawa emosi. Vara tertawa geli, dia membayangkan bagaimana ekspreksi Karel saat ini.

"Gapapa, siapa tau bisa jadi brand ambasador telkomsel" jawab Vara asal.

"Astaghfirullah, nyesel gue pernah mencintai lo"

"Pernah? Bukannya masih ya?"

"Sialan lo" umpat Karel. Meski tak bisa dipungkiri, hatinya meng iya kan ucapan Vara.

"Hah? Sayang gue? Udahlah gue gak mood digombalin, bye" lagi-lagi, Vara memutuskan sambungan sepihak. Hal itu seolah menjadi ciri khas menyebalkan seorang Leavara Anastasya.

Kondisi hatinya sudah membaik, kini waktunya untuk jalan-jalan. Vara bergegas mandi lalu berdandan sesuai anak remaja seusianya. Kaus hitam bertuliskan VE. Itu kaus couple nya dengan Karel sewaktu berpacaran dulu. Kaus Karel bertuliskan LO sementara kaus Vara bertuliskan Ve.

Jika diingat-ingat sebenarnya memalukan

Vara mengambil buku journalnya, buku itu merupakan pemberian Fabian sekitar empat tahun lalu. Yang hingga kini masih selalu dibawa oleh Vara kemanapun ia pergi. Gadis itu kerap menulis isi hatinya disana. Baginya buku itu bukan hanya sekedar buku. Namun satu-satunya teman untuk berbagi perasaan.

Ada bekas robekan di lembar terakhir buku itu. Sejujurnya, itu tulisan paling waras yang pernah Vara tulis. Karena itu dia merasa keluar dari jati dirinya. Dan tulisan itu dibuang begitu saja.

Jika boleh jujur, dia sedang hancur. Lebih tepatnya selalu hancur. Dia merasa kehilangan Fabian, sosok yang bisa menggantikan figur orang tua untuknya. Lalu orang-orang terdekatnya yang mulai sibuk dengan urusan masing-masing. Vara merasa kesepian.

LEAVARA®Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang