there was love, and then there wasn't
Sometimes, kita ada untuk saling menyembuhkan luka. Kita ada untuk saling berbagi luka. Atau malah kadang kita ada untuk menambah luka.
Kio
Idih idih. Pusing gue mikir prakering gue. Hm, kakak gue nyaranin gue buat ke Batam aja soalnya lebih banyak pengalaman buat ngeanimasi disana.
Trs dia juga bakalan nerima beberapa job di wilayah Batam buat nemenin gue. Dari kecil kita itu kaya selalu ada buat satu sama lain gitu.
Sebenernya gue benci sama kakak gue, kesannya dia kaya selalu ngikutin gue dan gak pernah mau buat ninggalin gue. Sejak kecil, dia selalu main bersama gue. Walaupun mainannya gue rusakin semuanya, dia gapernah mukul gue. Dia selalu bilang 'gapapa'. Karena seringnya kita sama-sama, kita bahkan juga dihadapkan pada gadis yang sama. Yang bikin gue benci banget sama dia, dia gapernah bilang apa-apa ke gue tentang dia.
Kadang, gue iri juga sama kakak gue. Karena setiap kita pulang balik ke Semarang, papa sama mama selalu nyambut kakak gue.
Lah gue?
Boro-boro disambut elah, dilirik iya. Terus bilang gini
"masih bandel ya kamu? masih suka gambar-gambar gajelas gitu?! Mau jadi apa sih km kalo besar nanti?"
Duh gondok deh pokok kalo ndengerinnya. Ujung-ujungnya gue juga kaya anak tiri gitu di rumah.
Elah, jadi dangdut gue.
"Yo, makan apa?"
"Nggak laper sih, serah aja"
"Gue pesenin ayam"
"Hm"
Banyak yang bilang kita itu kebalikan. Malah gue dengan cold face tapi sikap gue kaya mukanya si Rama waktu lagi ngelayanin pasiennya, ademnya menyejukkan dan meneduhkan hati gitu. Gue punya image dingin di mata orang, dingin dalam artian gue gabisa didekati. Tapi ketika mereka mulai mengenal gue, justru gue bukan orang yang dingin sama sekali. Beda sama kakak gue, dia punya wajah yang keliatan menyejukkan dan sangat ramah tapi sebenernya dia yang cuek dalam hal sikap. Dan kalau ngomong ituloh, suka menusuk dan buat orang ngerasa bersalah, terus bingung jawabnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Regrets
Teen FictionI may regret the way we ended, but I will never regret what we had