Persimpangan

108 3 0
                                    

Di luar mendung, tapi masih ramai orang-orang berlalu lalang. Di seberang jalan, seorang ibu muda sedang berjongkok menawari anak laki-lakinya untuk memilih sebuah balon dari penjual keliling. Anak itu terlihat bingung, pandangannya tertuju pada balon bulat berwarna biru muda dan balon berbentuk pesawat. Setelah menatap ibunya sebentar, anak itu memutuskan untuk mengambil balon pesawat. Ibunya membuka tas, membayar lalu pergi. Penjual keliling masih di sana, menawari orang-orang yang berjalan melewatinya dan dibalas dengan gelengan atau lambaikan tangan.

Tidak jauh dari sana, di warung makan yang mulai ramai karena sebentar lagi jam makan siang. Seorang ibu melayani beberapa pembeli dengan wajah lelah, namun masih mencoba tersenyum. Tiga pelayannya wira-wiri menyuguhkan minuman. Semakin lama, semakin banyak motor terpakir di depannya. Membuat seorang tukang parkir mondar-mandir dengan wajah penuh gairah.

Aku di dalam sebuah kedai donat kecil aneka rasa. Di kedai bagian depan, di bangku samping jendela kaca yang bening. Melihat-lihat keramaian di luar sana. Satu teh manis dan donat yang masih hangat belum aku sentuh, padahal perutku sudah terasa perih. Tapi, dalam perasaan tidak karuan membuatku tidak tertarik dengan makanan.

Langit semakin gelap. Sebentar lagi pasti hujan, batinku. Aku sedikit gelisah. Aku sedang menunggu seseorang, tapi masih belum datang. Padahal jam istirahat sudah mulai dari tadi.

Bel pintu kedai berbunyi. Aku menoleh, orang itu datang. Laki-laki bertubuh tinggi dengan setelan celana kain hitam panjang dan kemeja biru muda garis-garis kecil. Wajahnya lelah, seperti ingin terlelap begitu sampai di kasur. Laki-laki itu duduk di depanku, senyumnya terbit seakan menepiskan lelahnya. Aku membalas senyum. Menatap matanya yang berwarna cokelat muda.

Laki-laki itu menanyakan tujuanku mengajaknya bertemu. Aku tidak langsung menjawab. Aku mengambil cangkir berisi teh yang sudah dingin, meminumnya untuk membuat gerakan tanganku agar tidak terasa sunyi. Bibirku seakan kelu, kata-kata yang sudah aku rangkai tidak mau keluar sama sekali. Laki-laki itu diam dengan tatapan menunggu. Aku ikut diam, bimbang antara jujur atau mencari obrolan lain yang pantas. Yang tidak terlalu penting namun kubuat seolah-olah penting.

Laki-laki di depanku adalah kekasihku dua tahun terakhir. Laki-laki baik, pekerja keras, dan sangat mencintaiku. Aku tidak tahu seberapa besar, tapi aku yakin dia mencintaiku. Setelah semua yang dia lakukan untukku sejauh ini. Pikiranku berlari pada pertemuan pertamaku dengannya. Perkenalan tidak sengaja di sebuah acara arisan teman kantor dari saudaraku. Singkat cerita dia tertarik padaku, hingga sekarang menjalin hubungan. Aku mengigit bibir, getir.

"Aku ingin hubungan ini selesai." Ujarku lancar, dan aku kaget dengan kalimatku sendiri. Kenapa harus sekarang aku mengucapkannya? Padahal minuman pesanannya belum sampai di meja.

Alis laki-laki itu terangkat. Tidak percaya dengan yang didengarnya. Iya, aku tahu. Ekspresi itu sudah aku kenal. Aku tidak asing lagi.

"Kenapa?" Dia menggenggam tanganku di atas meja. Aku tidak berani menatap matanya. Ini terlalu menyakitkan. "Kenapa?" Tanyanya sekali lagi.

Aku menarik tanganku, memainkan kuku di bawah meja. Pandanganku tertuju ke sana. Bagaimana mungkin aku bisa mengatakan jujur padanya. Dia pasti terluka, aku tahu. Tapi, bersama lebih lama juga tidak adil baginya. Satu bulir bening jatuh dari ujung mataku. Tergesa aku mengusapnya.

Kekasihku itu diam, terus menatapku menunggu jawaban. Tapi tidak ada yang bisa keluar. Hujan sudah turun, tapi aku masih diam.

Bagaimana mungkin aku harus jujur karena aku tidak pernah mencintainya secara utuh. Selama ini aku hanya pura-pura menerima, pura-pura mencintai, pura-pura bahagia. Dua tahun semua bisa aku tahan dengan baik-baik saja. Tapi hanya karena pertemuan tidak sengaja dengan seseorang dari masalalu menyadarkanku, ternyata selama ini aku hanya mencoba melarikan diri.

Rumpang.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang