Selamat Ulang Tahun

41 0 0
                                    


Hari ini ulang tahunmu, masih dengan angka di kalender yang sama seperti tahun lalu dan sebelumnya. Mungkin hanya tahun dan hari yang membuat berbeda. Tanggal masih sama, dua digit pada bulan penuh puisi sejak Sapardi menuliskan bait tentang hujan pada bulan itu. Seperti tulisnya, "tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu". Orang-orang menjadi seperti dibuat untuk berlomba-lomba menjadi pujangga. Mereka ingin terlihat paling cepat dan romantis perihal membuatkan puisi untuk orang terkasih, begitupun aku. Dulu, sebelum kamu patahkan semangatku untuk menjadi puitis seperti mereka. Dulu, dulu sekali sebelum kamu buang waktu hanya untuk mengingkari janji-janji. Dulu, sebelum aku menyadari jatuh cinta bisa sesakit ini.

Seperti yang aku tahu, seorang tukang becak di persimpangan dekat pasar yang becek dan kotor. Ia pernah bercerita, menyuruh anak sulungnya menuliskan puisi itu di kertas polos berwarna biru muda dengan nama istrinya sebagai penerima. Diberikannya bersamaan dengan setangkai bunga mawar yang ia petik sembarangan di depan rumah berpagar besi hitam setelah meminta ijin kepala Si Pemilik. Tidak hanya senyum manis dari Sang Istri, bahkan setelah bertahun-tahun menikah ia baru mengaku mendapatkan kecupan hangat penuh cinta di keningnya yang gelap karena keseringan berpanasan.

Atau cerita yang aku dengar dari sepasang suami istri baru di metromini suatu hari. Bukan puisi Sapardi, tapi tulisan dari Khalil Gibran. Setelah berminggu-minggu Sang Suami berjuang mencari buku karya pujangga itu di beberapa toko buku dan perpustakaan daerah, ia tulis ulang salah satu puisinya ke dalam kertas berwarna merah muda yang ia selipkan pada lipatan baju berwarna senada dalam kotak karton sebagai hadiah ulang tahun Sang Istri. Selain rasa syukur, air mata mengaliri kedua pipi gembil istrinya yang bersemu merah. Tidak hanya bisikan terimakasih dan kecupan pipi, peluk erat didedikasikan sebagai balasan untuk puisi itu.

Begitupun aku, pernah aku tuliskan sajak milik Sapardi itu pada lembar pertama buku agendamu secara diam-diam. Tidak ada kado, karena itu bukan ulang tahunmu. Tidak juga ada bunga, sebab untuk apa aku memberi bunga padamu. Lalu iseng aku tulis saja tiga bait milik Sapardi itu. Tapi sayang, kamu tidak langsung membaca. Selang seminggu atau dua minggu aku lupa, baru kamu menanyakan perihal puisi itu. Gagal, tapi tetap berhasil membuatmu merasa senang.

Aku mengerti, mengutarakan cinta lewat puisi itu membuat bahagia sekali.

Hari ini ulang tahunmu, masih dengan cuaca yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Tidak hujan seperti puisi Sapardi. Dituliskannya, "tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu". Padahal tidak aku temukan rintik-rintik itu, langit bahkan mendung saja tidak. Masih dengan awan bergumpal-gumpal, seperti kapas di atas meja rias di kamarku. Berantakan sekali. Dulu, kamu pernah sekali salah memberiku sewadah plastik berisi kapas, padahal yang aku pesan padamu kala itu sebungkus tisu. Kamu kira, kapas dengan tisu itu tidak beda jauh. Sama-sama bisa membersihkan tanganku yang lengket karena air gula.

Dari sebungkus kapas itu aku mengerti, mengutarakan cinta tidak selamanya hanya lewat kata-kata. Pun bisa lewat perbuatan, dan aku menemukan itu pada dirimu. Selain kapas untuk mengelap tanganku, jaketmu sudah terlebih dulu basah karena hujan. Di akhir bulan Desember yang dingin dan menuju malam, hujan dengan derasnya turun tiba-tiba. Aku tidak berpayung, pun kamu. Di atas motor matic yang kamu kendarai dengan aku duduk di belakang, berdua gelagapan mencari tempat meneduh. Lalu kamu pinjamkan jaket parasut itu saat menyadari aku sudah mulai menggigil.

Seperti kata Nenek, cinta tidak harus diberikan lewat kalimat-kalimat romantis namun tidak realistis. Mana mungkin manusia bisa membawakan satu bintang untuk sang pujaan hati, menyeret kuda saja kadang manusia itu kewalahan. Begitupun dengan janji menyebrangi samudra seorang diri. "Mau sampai berapa lama?" begitu kata Nenek. Pakai kapal saja bisa memakan waktu berminggu-minggu, apalagi cuma berenang. Keburu putih rambut di kepala. Aku tertawa, tapi menemukan kebenarannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 20, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Rumpang.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang