Rumpang

103 2 0
                                    

Aku sesenggukkan. Tidak sabar menunggu nada sambung di ponsel. Berkali-kali melirik jam dinding yang terus berdetak. Seperti dikejar waktu, seakan aku akan mati jika tidak kunjung ada jawaban. Aku semakin merasa terburu. Semakin tergesa. Tidak bisa untuk bersabar. Ponsel terus di tangan. Masih tetap pada satu nama. Panggil, nada tersambung. Tidak diangkat. Aku mengulang, memanggil. Menunggu nada sambung, masih menunggu untuk diterima. Masih diabaikan. Aku ulangi. Menekan tombol untuk memanggil. Terdengar nada sambung di ujung sana. Masih dibalas suara perempuan menandakan panggilanku kembali diabaikan.

Kesal. Kepalaku terasa pening. Semakin dirasa, semakin berat sebelah. Semakin aku tahan, semakin kuat menyerang. Ponsel aku lembar ke kasur, putus asa. Melirik jam kecil berbentuk kepala kucing di atas meja belajar, jarum jam masih menunjukan angka sepuluh lebih tujuh belas menit. Lalu menengok ke jendela, di luar gerimis. Tidak deras, tapi cukup untuk membuatku basah jika aku nekat menunggu taksi di jalan depan selama sepuluh menit saja.

Gelisah di tepi kasur, bingung. Menimbang, menunggu untuk ditelepon balik atau nekat menemui dengan konsekuensi kehujanan. Lima menit berlalu aku masih bingung. Kembali meraih ponsel, mencari satu nama. Mengulangi panggilan. Bunyi tut kembali terdengar, menunggu tidak sabar. Masih tidak ada jawaban dari seberang. Memanggil, mendengar bunyi yang sama lagi. Jengkel.

Aku bertambah kalut, ingin cepat-cepat membanjiri orang itu dengan sumpah serapah karena mengabaikan panggilanku. Pipiku terasa panas, pandanganku tidak lagi pudar. Air mata sudah mengucur habis. Kepalaku semakin berat, rasanya ingin pecah sangking tidak kuatnya. Aku terlalu lama menangis. Berdiri di depan kaca, menemukan wajah pilu dengan mata sembab. Membodohi diri sendiri karena membuang air mata dengan percuma. Menata rambut yang sudah berantakan, menyisir dengan tergesa. Memoles sedikit bedak bayi agar tidak terlihat sangat pucat. Meskipun aku tahu mataku tidak bisa disembunyikan bengkaknya.

Dengan langkah cepat aku meraih tas, memasukan dompet, dan menyambar jaket di balik pintu kamar. Keluar. Mengunci kamar kos, berdiam sebentar memperhatikan rintik hujan yang turun, lalu berlari ke jalan raya mencari taksi. Tidak ada sepuluh menit, satu taksi berhenti setelah aku melambaikan tangan. Setidaknya aku tidak basah kuyup untuk sampai di tempat tujuan. Orang itu harus aku temui. Tidak bisa aku terus menunggunya lewat panggilan. Akan ku hajar nanti, batinku.

Keinginanku untuk menghajar sebenarnya tidak betul-betul memukulnya. Itu hanya ancaman andalanku yang penuh kebohongan, bahkan lewat panggilan pun perkali-kali aku katakan. Tapi tetap tidak aku lakukan. Itu hanya semacam kalimat penanda bahwa aku sudah terlanjur kesal. Tidak benar-benar ingin menghajar, aku tidak pernah punya keberanian untuk melakukannya. Aku sepenakut itu. Tapi cukup untuk membuatku merasa menang, meski sebenarnya hanya ada di pikiranku.

Gerimis masih menemani perjalanan. Kepalaku bertambah berat sehabis menangis. Tapi, jika tidak sekarang tidak akan selesai. Aku ingat perasaan yang sama tidak segera aku keluarkan, akhirnya menumpuk di kepala. Esoknya badanku demam dengan sedikit meracau. Aku selemah itu, memang. Aku tidak pernah kuat dengan diam sendiri untuk menutupi masalah. Atau lebih tepatnya, tidak mau untuk diam. Selalu ada keinginan untuk bertingkah seperti anak kecil, ada keinginan untuk diperhatikan.

Aku terlahir menjadi sosok yang terlalu pemikir. Apa yang menurutku belum selesai, akan terus berputar-putar di kepala. Tinggal, lalu berlipat, seperti tumpukan batu bata pondasi bangunan. Jika tidak dari awal dihilangkan, otakku semakin kuat untuk menambah beban. Dan aku akan terus meracau pada diri sendiri di depan cermin. Harus ada orang yang bisa aku ajak bicara, setidaknya rela aku paksa untuk mendengar kata-kataku yang mungkin diselipi ungkapan kasar.

Taksi berhenti di depan sebuah kedai kopi yang ramai. Dinding berwarna cokelat dan kaca besar dihiasi lampu-lampu kuning kecil di beberapa titik itu tampak melegakan bagiku. Terlihat remang, namun jika sudah di dalam semua tampak baik-baik saja. Kedai ini sudah berdiri setahun yang lalu, dengan kenekatan pemiliknya menggadaikan sepeda motor kesayangan agar mendapatkan modal awal. Lalu enam bulan kemudian dengan penuh bahagia membawa motor bututnya kembali ke rumah. Mimpi yang berkali-kali aku dengar dan aku kira hanya sebatas mimpi, benar terjadi. Dan aku mengaku salah karena pernah menertawakan.

Rumpang.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang