2

39 3 0
                                    

Gemericik air terdengar saling berlomba, disalah satu sudut kamar bernuansa putih bersih hanya ada beberapa warna pastel yang ikut menampakan diri, tak lama terdengar derit pintu yang terbuka dari arah kamar mandi sepasang mata teduh menyorot nyawa lain yang sudah berkelana dalam mimpi.

Anata seakan baru tidur nyenyak malam ini itu yang dilihat Alina, sore tadi Papa nya mengantarkan Anata ke Unit Apartemen, rona wajah adiknya tak secerah biasanya terlepas berat badan Anata yang sepertinya mengalami peningkatan mungkin efek dari obat dan vitamin yang dikonsumsi sebulan terakhir ini.

Dering telpon mengalihkan dirinya dari Anata, Android miliknya tertera nama Keandra memanggil, "akhirnya diangkat" terdengar suara laki-laki itu diujung sana.

"di hubungi dari tadi susah banget sih kamu" tambah Keandra dengan nada marah.

"Iya sorry baru sempet pegang Hp ndra, lagian aku juga udah kirim pesan kan kenapa ngga bisa nemenin Mama, aku juga ngga berani telpon kamu kan hari ini kamu bilang banyak jadwal check up" jelas Alina tanpa sadar menekuk muka.

"Aku ngga baca, mama yang tadi telpon bilang kamu ngga nemenin beli cincin, sebenernya kamu niat pergi ngga sih" tanya Keandra sangsi karena sebelumnya Alina alot tak bisa menemani Mama nya.

Alina berjalan ke arah balkon kamar takut suaranya menganggu tidur Anata, ia menarik kursi rotan untuk duduk setelah posisinya nyaman Alina baru bersuara, "tadinya aku udah izin kepala bagian dari siang tapi Papa telpon beliau udah didepan Apartemen nganterin Anata nginap di sini kalo misal aku nemenin Mama takutnya sampai malem kasian dia nanti sendirian di Apartemen apalagi kamu tahu sendiri keadaanya sekarang"

Terdengar hembusan nafas kasar Keandra di seberang sana, "terus kamu biarin Mama yang cari cincin sendiri itu maksud kamu, yang mau tunangan itu kita, aku ngga enak sama Mama lin" keluh Keandra.

"Lho kok kamu gitu ngomongnya, sekarang coba kamu pikir deh ndra harusnya itu kamu yang luangin waktu buat beli" protes Alina tak terima.

"Lin kita udah pernah bahas ini, kalo aku bukan dokter kalo aku kerja di perusahaan kayak mantan kamu udah pasti aku beli sendiri" bela Keandra membuat Alina seketika dongkol.

Memang Keandra itu dokter dan Alina tahu itu tanpa perlu meleber kemana-mana apalagi Mantan yang notabene sudah berlalu, "udah ya ndra kalo kamu cuma mau marah-marah mending ngga usah telpon udah malem, kamu butuh tidur sekarang, besok banyak pasien kamu yang antri check up" sindir Alina tanpa basa basi langsung memutuskan sambungan.

Keandra hanya mengeram tertahan setelah panggilan berakhir sepihak, Alina mulai menyebalkan jika seperti itu, alasan waktu mereka yang sama-sama sibuk selama ini yang menjadi masalah keduanya.

Begitupun dengan Alina ia sudah menebak hal-hal seperti ini akan terbiasa terjadi pada mereka, hanya saja ego ia sebagai perempuan terkadang memperkeruh situasi, sekarang yang perlu dilakukan hanya perlu tidur disamping Anata dan mendekap sang Adik nyaman mengurangi percikan emosinya.

          Gelapnya malam sedetik demi sedetik mulai tenggelam bersamaan munculnya sinar Fajar pagi itu, ke dua Kakak-beradik Alamasyah mulai mengawali paginya dengan beraktivitas di dapur Apartemen.

Anata sedari tadi mencuri pandang pada sang Kakak, bukan lantaran takut perutnya keracunan akibat olahan tangan Alina yang terkenal tak sejenius di lab atau kata lainnya adalah Alina tak bisa memasak dengan benar tapi ia sadar manusia di depannya banyak mengeram tertahan seperti menahan amarah.

"Mending lu minggir deh kak ngapain kek daripada ngerem terus makanan ngga bakal mateng gitu caranya" ucap Anata menyeret Alina menjauhi dapur.

Alina mendengus protes Anata main menarik dirinya ke ruang TV, "ya ngga bakal mateng Nat kalo ngga di atas kompor udah ah gue mau masak, lu aja yang duduk santai"

MandalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang