REINA

558 15 0
                                    

Reina membuka kelopak matanya dengan napas yang tersengal-sengal. Keringat dingin tak hanya membasahi keningnya saja, tetapi juga beberapa areal bajunya. Ia mengerjap-ngerjapkan kedua matanya, memandang sekelilingnya. Sebuah ruangan kecil dengan cat biru nan kusam masih terpampang jelas di matanya.

"Alhamdulillah, ternyata cuma mimpi," ungkapnya sembari mengelus-elus dadanya. Ia menghembuskan napasnya dengan lega, lalu menyandarkan tubuhnya di kasur kapuknya yang lumayan keras.

Bayang-bayang kebutaan tak henti-hentinya menghantui hari-hari Reina. Perkataan dr. Chika tentang kedua matanya yang akan segera buta, benar-benar berhasil membuat dirinya hingga saat ini diselimuti oleh rasa takut. Berdasarkan hasil pemeriksaan, dr. Chika mendiagnosis dirinya mengidap penyakit glaukoma, jenis gangguan penglihatan yang ditandai dengan terjadinya kerusakan pada saraf optik yang biasanya diakibatkan oleh adanya tekanan di dalam mata.

Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan perlahan. Ia sama sekali tak menyangka, sakit yang dianggapnya sepele ternyata berakhir pada kebutaan. Awalnya ia hanya sering merasakan sakit kepala dan nyeri pada kedua matanya. Namun, penglihatannya perlahan-lahan mulai mengabur. Ada rasa penyesalan di batinnya karena ia terlambat memeriksakan kondisinya itu ke dokter. Mungkin kalau dulu ia cepat memeriksakannya, kondisinya saat ini pastilah tak akan separah ini. Keadaan mungkin akan berbeda. Ia pun tak perlu merasa ketakutan.

Sayang sekali, waktu tak dapat diulang kembali. Sekarang ia hanya bisa pasrah menerimanya. Tak ada lagi kata optimis di dalam otaknya. Pernyataan dr. Chika bahwa belum ada obat yang dapat menyembuhkan glaukoma, membuatnya harus mengubur dalam-dalam harapannya untuk sembuh.

Pernah suatu hari tebersit di pikirannya untuk mencoba berobat di rumah sakit yang berada di kota-kota besar lainnya. Hanya saja, hal itu tak akan pernah menjadi kenyataan. Uanglah yang menjadi kendala untuk mewujudkannya. Mengobati kedua matanya pastilah membutuhkan banyak uang, sedangkan ia sendiri belum mendapatkan pekerjaan. Selama ini, ia hanya membantu kakaknya di toko roti milik almarhumah ibunya. Bagaimana dirinya bisa mendapatkan uang yang banyak bila sewaktu-waktu kedua matanya bisa menjadi buta?

Ia kembali menghembuskan napasnya dengan berat. Mengingat semua hal yang dilakukan kakaknya untuk menghidupi dirinya hingga saat ini, dia tak akan tega meminta uang padanya. Ia juga tak akan mungkin tega melihat kakaknya harus bekerja keras demi dirinya. Sepertinya, hanya kepasrahan saja yang bisa ia lakukan. Walaupun batinnya sama sekali tak rela, mau tak mau ia harus menerima kegelapan yang akan dia lihat hingga akhir hidupnya. Entah apa yang harus ia lakukan nanti jika suatu saat Allah benar-benar mengambil penglihatannya.

Kedua matanya lantas melirik jam yang menempel di dinding kamarnya. Jam menunjukkan tepat pukul 05.00. suara azan subuh sudah berkumandang dengan merdunya, mengisi keheningan sang malam. Ia pun memutuskan untuk bangkit dari kasurnya dan menuju kamar mandi. Dengan gerakan cepat, ia menyalakan lampu kamar mandi. Ruangan yang tadinya gelap gulita kini menjadi terang benderang. Ia membasuh wajahnya, lalu meraih sikat gigi berwarna biru yang tergantung di dinding. Sambil menggosok gigi, pikirannya kembali teringat pada mimpi buruk yang baru saja dialaminya.

"Bagaimana jika aku benar-benar buta nanti? Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana ini?" tanyanya gelisah di dalam hati.

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu perlahan-lahan mulai memenuhi otaknya, seperti tak ada hal lain yang dapat mengganggu pikirannya selain nasib malang akan kedua matanya. Ia lantas berwudhu. Setidaknya dengan salat subuh, hati dan pikirannya akan terasa tenang. Di dalam salatnya nanti, ia akan mencurahkan isi hatinya dan memohon kepada Allah untuk diberikan jalan yang terbaik untuk masalah yang sedang dihadapinya itu.

***

Reina merenggangkan badannya yang kurus. Otot-ototnya terasa ditarik-tarik. Ia mengerang kenikmatan. Semua ototnya yang kaku kini terasa lebih lemas. Suara gaduh sayup-sayup mulai mengisi suasana rumahnya yang hening. Suaranya berasal dari arah dapur. Ia menghela napas panjang, lalu membuka pintu kamarnya. Dengan santainya, ia melangkahkan kedua kakinya menuju dapur.

Tak ada kegaduhan yang bisa tercipta sepagi ini selain ulah kakaknya. Ya, Reina memang tinggal berdua saja dengan kakaknya. Bila anak-anak lain bisa merasakan kasih sayang dari kedua orang tuanya, hal itu tak berlaku lagi pada Reina. Sepeninggal ibunya, ayahnya mulai jarang pulang ke rumah. Dalam kehidupannya sehari-hari, kakaknya lah yang berperan ganda dalam membesarkan dan merawat dirinya. Tak hanya menjadi seorang kakak saja, sosok ibu dan ayah pun ia rasakan dari diri kakaknya. Maka tak heran bila Reina sangat mengagumi sosok kakaknya itu.

"Ngapain kamu berdiri saja di situ, Rei? Kamu ke sini itu sebenarnya mau membantu Kakak atau cuman mau lihatin Kakakmu yang cantik ini membuat roti?" gurau kakaknya. Kedua matanya fokus memperhatikan Reina yang berdiri di ambang pintu dapur. Ia tersenyum kecil, seperti membanggakan dirinya di hadapan adik satu-satunya itu.

"Ih, ge-er amat. Ngapain juga aku lihatin wajah Kakak yang hitam gitu. Bikin sakit mata aja," canda Reina.

Gadis yang bernama Citra Kamila itu mendengus kesal dengan perkataan yang baru saja terlontar dari mulut Reina. Ia sedikit tersinggung dan tak terima. Ia lantas berkata, "Enak aja bilang wajah Kakak bikin sakit mata. Wajah Kakak ini eksotis, tau. Bule-bule banyak yang suka cewek-cewek yang bentuknya seperti Kakak ini."

Bukannya meminta maaf atas ucapannya, Reina malah tertawa kecil melihat ekspresi kesal dari wajah kakaknya itu. Ia tak tahu apakah hal ini wajar atau tidak. Baginya, wajah kakaknya saat marah terlihat lucu dan menggemaskan.

"Kenapa kamu ketawa-tawa sendiri? Kamu lupa minum obat, ya?" tanya Citra dengan tatapan yang aneh pada Reina.

"Minum obat?" tanya Reina bingung. Ia berpikir sesaat. Wajahnya seketika menjadi kesal saat mengetahui maksud perkataan kakaknya itu. "Enak aja Kakak bilang aku gila. Masa cewek secantik aku ini gila? Yang benar aja, Kak. Ya nggak mungkin lah."

Reina lantas berlenggak-lenggok memamerkan wajah dan tubuhnya yang langsing layaknya seorang model di hadapan Citra. Citra hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dengan pelan melihat sikap Reina yang seperti itu. Sebuah senyuman tentu saja terpampang di wajahnya. Ia sangat senang melihat adiknya itu bercanda dan tertawa bersamanya. Senyuman Reina yang manis selalu berhasil mengingatkannya pada almarhumah ibunya yang sudah lama meninggal. Tak cuma wajahnya saja yang mirip, senyum dan caranya bercanda pun sangat mirip dengan ibunya. Semasa ibunya masih hidup, ia belum bisa membahagiakannya. Ia rela melakukan apa pun agar senyum itu tak menghilang dari wajah Reina, walaupun itu harus mengorbankan kebahagiaannya sendiri.

Reina tiba-tiba memeluk Citra seraya berkata, "Aku menyayangimu, Kak. Aku sangat beruntung memiliki Kakak sepertimu. Kau adalah Kakak yang paling hebat di dunia ini."

Kata-kata Reina barusan membuat Citra bahagia. Ia pun balik memeluk Reina. Sebuah pelukan hangat ia berikan dengan air mata bahagia yang mengalir di kedua matanya.

"Kakak juga menyayangimu, Reina. Memiliki adik sepertimu, merupakan sebuah keberuntungan di hidup Kakak."

Reina lantas melepaskan pelukannya dan mengelap air mata Citra di kedua pipinya. Sambil tersenyum, ia berkata, "Udah, ah. Ngapain Kakak nangis-nangis begini? Wajah Kakak tambah jelek tau kalau nangis begini."

"Nggak apa-apa deh jelek. Yang penting laku," balas Citra sembari menghapus air matanya.

"Iya deh, iya. Yang baru jadian sama Kak Rico," goda Reina. "Ngomong-ngomong, Kakak jadi nggak bikin rotinya? Kalau nggak jadi, aku balik ke kamar."

"Tentu saja jadi. Kamu buat isi rotinya, ya?"

Tanpa menunggu jawaban dari Reina, Citra mengambil bahan-bahan yang tergeletak di atas meja dan mencampurkannya ke dalam mixer. Reina menghela napas melihat tingkah kakaknya itu. Tanpa berlama-lama lagi, ia mengambil bahan-bahan yang akan dijadikannya isian roti dari dalam kulkas. Ia merasa sangat bahagia. Wajah kakaknya yang kesal, senyuman cerianya, candanya, itu merupakan saat-saat bahagia dalam hidupnya. Baginya, saat-saat bahagia seperti itu harus tetap ada, bagaimanapun kondisinya nanti.

***

CINTA SI GADIS BUTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang