PERMINTAAN MAAF

93 2 0
                                    

Citra menghela napas panjang. Suasana di rumahnya saat ini terasa sepi. Akhir-akhir ini Reina sibuk dengan kegiatan barunya itu. Pagi-pagi dia sudah pergi bersama dengan Sheila. Entah apa yang dilakukan Reina dan Sheila sekarang. Mungkin saja, mereka sedang asyik membicarakan kafe baru. Apa pun yang mereka lakukan sekarang, selama itu kegiatan yang positif, ia akan mendukung kegiatan baru Reina. Setidaknya, dengan banyaknya kegiatan yang dilakukan Reina, ia berharap hal itu bisa membantu Reina untuk melupakan Devan secepatnya.

Ia lantas melangkahkan kaki dengan santai menuju dapur. Daripada bengong dan bosan karena sendirian, lebih baik ia membuat roti untuk dijual. Hasilnya lumayan bisa ia gunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Tok... tok... tok...

Mendengar suara ketukan pintu, Citra segera berseru, "Masuk aja, Rei! Pintunya nggak Kakak kunci!"

Tok... tok... tok...

Citra mendengus kesal. Ia lantas menghentikan aktivitasnya membuat adonan roti. Tak biasanya Reina tak langsung masuk ke dalam rumah setelah mendengar suaranya yang menggelegar itu. Ia pun segera mencuci tangannya dan melangkah menuju pintu depan.

Pintu bercat biru itu akhirnya terbuka lebar. Dengan malas Citra keluar dari balik pintu. Betapa terkejutnya ia saat melihat orang yang ada di depan pintu rumahnya itu. Ayah, istri barunya, dan tentu saja Devan sedang berdiri di hadapannya.

Bukannya senang dengan kehadiran ayahnya, Citra merasa kesal. Susah payah ia berusaha memaafkan ayahnya, namun ketika ia merasa kacau dan tak tahu harus berbuat apa, sekalipun ayahnya tak datang menjenguknya.

"Tumben Ayah datang ke sini. Ada perlu apa?" ucap Citra dengan ketus.

Seketika itu juga, ayah menundukkan kepalanya. Ia merasa sangat bersalah pada putrinya itu. Seharusnya sebagai seorang ayah, ia selalu ada di saat anak-anaknya membutuhkan dirinya. Namun yang ia lakukan justru sebaliknya. Ia tak pernah ada di saat Citra dan Reina membutuhkan dirinya. Apalagi di situasi yang kacau ini, ia malah lebih fokus pada Devan dan istri keduanya itu. Sikapnya memang tak adil. Sebagai seorang kepala keluarga, ia belum bisa menyatukan keluarganya yang terpecah belah.

"Ayah minta maaf karena baru datang sekarang," ungkapnya menyesal.

"Udahlah, Yah. Ayah nggak usah minta maaf. Aku dan Reina sudah biasa kok diabaikan. Jadi santai aja," sahutnya masih dengan ketus.

"Tolong maafkan kami, Cit. Kami tahu kami salah dan bersikap nggak adil sama kamu dan Reina. Kami datang ke sini ingin memperbaiki hubungan kita," ucap ibu Devan.

"Memperbaiki hubungan kita? Nggak ada yang perlu diperbaiki. Sebaiknya kalian pergi aja," ucap Reina tiba-tiba. Ia berdiri di belakang ayah bersama dengan Sheila.

Ayah, ibu Devan, dan Devan sontak menoleh ke belakang. Mereka sama sekali tak menyadari kehadiran Reina. Seperti yang sudah-sudah, wajah Reina menunjukkan ketidaksukaannya pada ayah dan keluarga kecilnya itu.

"Reina, Ayah benar-benar menyesal. Ayah ingin kita berbaikan dan berkumpul bersama seperti dulu," ungkap ayah.

"Untuk apa kau mau berkumpul lagi bersama kami? Bukankah selama bertahun-tahun kau meninggalkan kami. Jadi, kami nggak butuh belas kasihanmu. Kami bisa urus diri kami sendiri. Lebih baik kau urus aja keluarga barumu itu. Jangan sampai kau meninggalkan mereka seperti kau meninggalkan kami," sahut Reina dengan ketus.

Citra menghela napas panjang melihat sikap Reina. Pemandangan ini sudah tak asing lagi baginya, pemandangan yang sudah biasa ia lihat ketika ayahnya datang ke rumah. Reina selalu saja bicara ketus dan mengabaikan ayah. Kedua matanya lantas memperhatikan keadaan sekelilingnya. Tak terlihat ada satu orang pun yang berada di sekitar rumahnya. Daripada sikap Reina membuatnya dipandang sebagai anak yang kurang ajar kepada orang tua, memang lebih baik pembicaraan yang panjang ini dibicarakan di dalam rumah.

CINTA SI GADIS BUTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang