SEBUAH KENYATAAN

70 2 0
                                    

"Rei! Reina! Buka pintunya, Rei! Buka dong Rei pintunya!" pinta Citra sembari mengetuk pintu kamar Reina.

Pintu kamar tak kunjung terbuka. Entah apa yang dilakukan Reina di dalam kamarnya. Sudah 30 menit berlalu, namun Reina sama sekali tak membiarkannya masuk. Citra tampak cemas dengan kondisi Reina saat ini. Sejak semalam—lebih tepatnya setelah pulang dari rumah Devan, Reina bersikap aneh. Dia terus mengurung dirinya di kamar. Entah apa yang terjadi padanya, sehingga dia bertingkah seperti itu.

"Rei! Reina! Keluar dong, Rei! Kakak nggak akan memaksa kamu kalau kamu nggak mau cerita sama Kakak, tapi Kakak mohon sama kamu Rei, kamu makan dulu. Dari tadi kamu belum makan sama sekali. Kakak nggak mau kamu sakit," bujuk Citra.

Tak terdengar sama sekali jawaban dari dalam kamar. Citra semakin cemas dan bingung dibuatnya. Ia sama sekali tak tahu apa yang harus ia lakukan untuk membujuk Reina agar keluar dari kamarnya. Pikirannya tiba-tiba kembali teringat pada kejadian malam tadi.

Saat itu, dirinya duduk dengan gelisah menunggu kedatangan Reina. Tangan kanannya terus menekan remote tv, mencari-cari acara tv yang menarik. Ia menghela napas. Jujur saja, ia sangat tak sabar menunggu kedatangan Reina. Ia ingin segera mendengar cerita tentang keluarga Devan. Bagaimana sikap kedua orang tua Devan terhadap Reina? Apakah Ayah dan Ibu Devan menyukai Reina?

Entah kenapa, perasaan aneh tiba-tiba saja muncul di dalam hatinya, perasaan aneh yang ia sendiri pun tak tahu perasaan apa itu. Pikirannya terus saja tertuju pada Reina. Tapi anehnya, bukan rasa penasaran yang tadi dirasakannya, melainkan sebuah perasaan buruk. Entahlah. Ia buru-buru menepis perasaannya itu. Ia tak mau perasaan itu membuat pikirannya menjadi kacau.

Tok... tok... tok...

Citra segera menghentikan tangannya menekan remote tv. Pandangan matanya lantas beralih pada jam di dinding. Jarum jam telah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Ada rasa kagum yang ia rasakan pada diri Devan. Devan ternyata mau mendengarkan perkataannya untuk membawa Reina pulang sebelum jam 12 malam.

Tok... tok... tok...

"Kak! Kak Citra! Buka pintunya, Kak!" teriak Reina dari luar.

Citra segera melangkahkan kakinya dengan cepat menuju pintu depan rumahnya. Namun, ada yang berbeda dari suara Reina yang didengarnya. Nada marah terdengar jelas dari suaranya. Suara Reina semakin membuatnya merasa penasaran akan makan malam di rumah Devan. Namun, ia harus mengurung rasa penasarannya itu. Ia harus membiarkan Reina beristirahat di kamarnya.

"Kau sudah pulang, Rei. Gimana makan malamnya? Lancar?" tanya Citra dengan tangan yang memegang ganggang pintu yang terbuka.

Bukannya menjawab pertanyaannya, Reina malah masuk begitu saja melewatinya. Wajahnya terlihat sangat marah. Sepertinya, acara makan malam itu berjalan tak sesuai dengan harapannya. Melihat wajah Reina barusan, berbagai pertanyaan muncul dalam pikirannya. Apakah Ayah dan Ibu Devan tak menyukai Reina? Apa Ayah dan Ibu Devan tak mengijinkan Devan untuk dekat dengan Reina karena Reina buta?

Citra menghembuskan napas berat mengingat kejadian kemarin malam. Ia tak bisa terus seperti ini. Usahanya membujuk Reina sama sekali tak membuahkan hasil. Ia lantas melangkahkan kedua kakinya menuju kamarnya. Ia memang harus melakukan sesuatu.

Tangan kanannya segera mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja riasnya. Kedua matanya dengan focus memperhatikan deretan nama yang tertera di layar ponselnya. Sebuah nama yang tertangkap di matanya dengan cepat ia tekan. Telepon yang ia tuju tersambung dengan cepat, namun tak sekalipun telepon darinya diangkat.

"Ayo dong, Dev. Angkat teleponnya!" ucap Citra dengan suara yang kecil. Wajahnya tampak gelisah. Ia mematikan teleponnya, lalu kembali meneleponnya. Namun tetap saja, Devan tak mengangkat telepon darinya.

CINTA SI GADIS BUTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang