MASA LALU YANG MENYAKITKAN

108 5 0
                                    

BRAKK!

Reina membanting pintu kamarnya dengan sekuat tenaga. Tongkat yang digenggamnya ia lemparkan dengan kencang ke lantai. Badannya langsung ia sandarkan di pintu. Dadanya terasa sesak. Ingin sekali ia menangis sekeras-kerasnya. Namun sayangnya, hal itu tak bisa ia lakukan. Ia tak mau memperlihatkan dirinya yang lemah dan cengeng kepada orang lain, apalagi di depan pria yang telah menghancurkan hidupnya.

Kenangan masa lau perlahan-lahan mulai berputar di kepalanya. Sebuah kenangan pahit yang selalu menyiksa batinnya. Sebuah kenangan di mana wanita yang paling disayanginya itu pergi untuk selama-lamanya.

Masih terekam jelas di memori otaknya, saat-saat sebuah kebahagiaan berubah menjadi derita. Saat itu, tepatnya ketika dirinya masih berusia 6 tahun, saat di mana senyuman ibu menjadi air mata. Seperti biasa, setiap pagi di hari minggu, Reina dan Citra bangun pagi-pagi sekali. Tanpa menggosok gigi terlebih dahulu, mereka beradu lari menghampiri ibu di dapur. Mereka terlihat begitu semangat ingin melakukan aktivitas rutin mereka di minggu pagi, jalan-jalan ke taman kota. Bagi mereka, jalan-jalan merupakan kegiatan yang menyenangkan. Tak hanya bisa berolahraga saja, mereka juga dapat menikmati pemandangan indah yang tertata rapi di taman. Dan yang paling penting, hubungan persaudaraan di antara mereka terasa semakin erat.

"Reina! Citra! Jangan lari-lari! Nanti jatuh!" seru ibunya dari dapur.

Seruan ibunya sama sekali tak diperdulikan oleh Reina dan Citra. Awalnya mereka berlomba berjalan cepat, tapi lama kelamaan mereka saling berlarian.

"Reina! Citra! Jangan lari-lari di rumah!" seru ibunya kembali.

"Yes. Aku menang," seru Reina sambil melompat-lompat. Reina akhirnya memenangkan perlombaan ini. Dirinya sampai lebih dulu dari Citra.

Citra mengatur napasnya yang tak beraturan. Lagi-lagi Reina menang darinya. Ibu hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah lucu kedua putri kecilnya itu. Ibu menatap kagum pada putri pertamanya itu. Sebagai seorang kakak, Citra mau mengalah kepada adiknya. Tak hanya kali ini saja dia mengalah. Saat Reina meminta boneka kesayangannya, Citra dengan sukarela memberikannya kepada Reina. Citra memang sangat menyayangi adik satu-satunya itu. Sifat Citra seperti yang seperti itu sering kali membuat membuat ibunya merasa bersalah. Dirinya terlalu memanjakan Reina, sampai-sampai Reina bersikap seenaknya kepada kakaknya.

Reina memandangi ibunya dengan tatapan yang bingung. Banyak sekali adonan roti yang tergeletak di atas meja. Bahkan ibunya pun terlihat sedang mengaduk-aduk bahan untuk isian roti. Tak biasanya di minggu pagi, ibunya masih membuat adonan roti.

"Ibu ngapain buat roti? Ini kan hari minggu. Biasanya kan toko roti kita tutup kalau hari minggu? Kok Ibu buat roti sih?" tanya Reina dengan wajahnya yang polos.

"Iya, Bu. Hari ini kan hari minggu, masa Ibu harus jaga roti sih? Biasanya kita kan jalan-jalan ke taman," keluh Citra dengan wajah yang tak kalah polosnya.

Ibu pun meletakkan kembali adonan roti yang hendak dicetaknya ke dalam wadah besar. Tatapan matanya kembali beralih pada kedua putri kecilnya itu. Ada rasa bersalah yang ibu rasakan kepada mereka. Pagi ini ibu tak bisa menemani Reina dan Citra jalan-jalan ke taman seperti minggu biasanya. Banyak sekali pesanan roti yang harus ibu buat pagi ini.

Ibu tersenyum kecut pada Reina dan Citra, lalu menghembuskan napasnya dengan berat. Dengan berat hati ibu berkata, "Maaf ya, kedua putri Ibu yang cantik. Pagi ini Ibu nggak bisa menemani kalian jalan-jalan ke taman. Ibu lagi banyak pesanan roti sekarang. Jadi kalian berdua aja ya yang jalan-jalan? Ibu sibuk sekarang."

Setelah mendengar perkataan ibunya, baik Reina maupun Citra sama-sama memasang wajah yang cemberut kepada ibunya. Semangat yang mereka rasakan tadi mendadak hilang, berganti dengan kekecewaan karena ibunya tak bisa ikut mereka.

CINTA SI GADIS BUTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang