Track 07

659 45 2
                                    

Suara berisik di tengah malam membangunkan Devina dari tidur nyenyaknya. Gadis itu sadar betul apa yang membangunkannya. Tanpa pikir panjang, ia segera bergegas menuju ruang kerja.

Suara berisik itu adalah suara komputer Devina saat ada email yang masuk. Gadis itu bergegas duduk di depan meja kerja kemudian melihat file yang diterimanya. Ada banyak sekali file yang dikirim Andi. Devina mengunduh semua dokumen itu kemudian pergi ke dapur untuk menyeduh secangkir cokelat panas.

Setelah selesai dengan cokelat panasnya, Devina kembali mengecek file yang telah selesai diunduh. Sekilas ia memperhatikan isi file tersebut satu per satu sebelum akhirnya memutuskan untuk mencetaknya.

Sementara proses pencetakan berjalan, Devina berjalan menuju ke sebuah rak yang berisi banyak sekali piringan hitam. Dia melihat-lihat piringan hitam itu dan mengambil salah satunya, lalu berjalan ke arah gramaphone yang berada di meja di pojok ruangan untuk menyetel musiknya. Alunan musik Ode to Joy ciptaan Beethoven perlahan mengubah suasana, bersamaan dengan printer Devina yang mulai mencetak dokumen satu per satu.

Devina mulai membaca dokumen itu satu per satu sambil mencoreti beberapa di antaranya sembari menunggu printer yang masih belum berhenti mencetak.

Selanjutnya, ia mulai menempelkan dokumen-dokumen itu di dinding kamar satu per satu. Meskipun berantakan, tapi sebenarnya tata letak tempat dokumen telah diperhitungkan dengan matang olehnya. Gadis itu lalu berputar di tengah ruangan untuk melihat semua gambar yang telah dibentuk pola sedemikian rupa olehnya, kemudian berhenti dan berpikir sejenak. Sebelum akhirnya, ia menempelkan beberapa paku pada gambar-gambar tersebut dan menghubungkannya menggunakan benang untuk membuat pola yang lebih sempurna.

Bertepatan dengan berhentinya musik, pekerjaan Devina pun selesai. Fokus gadis itu tertuju pada salah satu dokumen di mana semua pola yang tersusun mengarah padanya. Dia merogoh saku dan mengambil ponsel, kemudian menghubungi sebuah nomor.

"Kemarilah. Ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan."

***

Sebuah taksi berhenti di depan gedung apartemen Devina. Seorang pria jangkung turun dari mobil tersebut. Pria itu berjalan di lobi, tapi beberapa orang memperhatikannya dengan risih karena berpenampilan seperti orang aneh. Dia masuk ke lift sampai akhirnya pintu lift terbuka saat tiba di lantai 25. Pria yang mengenakan setelan ala Sherlock Holmes ditambah dengan kacamata hitam itu pun keluar dari lift. Dia berjalan sampai akhirnya berhenti di depan pintu kamar nomor 221. Setelah menekan bel, sedetik kemudian pintu terbuka. Devina yang berada di balik pintu itu terlihat memberikan tatapan risih ke arahnya.

"Apa yang kau lakukan?" selisik gadis itu sembari mengernyit.

Pria itu melepas kacamata hitamnya, lantas mendekatkan wajahnya ke Devina untuk berbisik.

"Ini penyamaran agar tidak mencolok."

Devina semakin mengerutkan keningnya. Ia lantas menarik pria yang tidak lain adalah Andi itu masuk ke unit apartemennya.

"Cepatlah, nanti ada yang melihatmu!"

***

Andi terkejut melihat semua dokumen yang ada pada dinding kamar Devina. Matanya seolah diarahkan oleh benang-benang pada pola yang disusun oleh gadis itu.

"Aku percaya bahwa list yang dimaksud oleh pria misterius itu paling tidak diketahui oleh seseorang di pemerintahan," kata Devina.

Mata Andi sekarang tertuju pada sebuah dokumen tempat di mana pola benang yang di buat Devina tertuju.

"Aku membuat semua ini dengan semua perhitungan logis dari semua data yang kupunya untuk mencari tahu siapa yang paling mungkin mengetahui tentang data itu, dan orang itu adalah kemungkinan terbesarnya," kata Devina sambil berjalan menuju Andi dan menunjuk ke arah dokumen yang dimaksudnya.

"Lalu apa yang kau inginkan?" tanya Andi seraya menoleh ke arah Devina.

"Aku ingin bertemu dengan pria itu secara langsung," jawab Devina sambil menatap Andi dengan seringainya.

"Maaf ..., tapi sepertinya aku tidak bisa membantumu."

"Heh? Kenapa?"

"Mungkin kau tidak mengenalnya, tapi pria itu ... Anwar Pratama. Dia adalah seseorang yang sangat dihormati di negara ini dan kau tidak bisa menemuinya begitu saja, bahkan kalau kau meminta pada Regita."

"Aku akan memikirkan cara untuk menemuinya dengan atau tanpa bantuanmu," kata Devina.

"Hmm ... baiklah, tapi kuharap kau tidak punya ide macam-macam. Oh iya, aku ada sebuah janji. Aku harus pergi," kata Andi.

Andi berjalan keluar dari flat milik Devina sementara si pemilik flat itu mulai terduduk, memikirkan sesuatu yang bisa ia lakukan selanjutnya.

***

Seorang pria sedang duduk di sebuah ruangan sambil melihat-lihat sesuatu dari layar ponselnya. Ia terus menggeser tampilan layar untuk melihat-lihat foto wajah Devina. Beberapa menit kemudian, pria itu menyeringai.

"Anak ini .... Aku ingin bertemu dengannya secara langsung," titah pria misterius itu.

"Siap Pak!" ucap salah seorang pria—ajudannya—menyanggupi.

Pria yang berpakaian serba hitam itu lantas keluar ruangan. Sepatah kata tidak terucap dari mulut sampai akhirnya pintu bertuliskan Anwar Pratama itu ditutup rapat olehnya.

*** 

Devina(completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang