Track 08

659 49 2
                                    

Alunan musik klasik berjudul Maid with Flaxen Hair yang didengarkan Devina menggunakan headphone mengawali pagi itu. Gadis dengan pakaian merah muda itu sedang menikmati cokelat panas di sebuah kafe. Suasananya begitu tenang dan tenteram hingga siapa pun yang berada di tempat itu akan merasa bahagia. Namun sayangnya, hal itu tidak berlaku bagi Devina yang terlihat sedikit cemberut.

Suasana damai yang tadinya menghiasi atmosfer di tempat tersebut seketika berubah menjadi sedikit menegangkan, saat beberapa mobil muncul dan berhenti secara tiba-tiba di depan kafe tempat Devina bersantai. Beberapa pria berjas dan berkacamata hitam turun dari mobil. Tiga orang di antaranya masuk ke kafe dan sisanya berjaga di luar.

Ketiga pria yang memasuki kafe langsung menuju ke salah satu meja setelah menemukan sosok yang mereka cari. Mereka berjalan menuju ke arah meja yang ditempati Devina. Gadis itu menatap lurus ke beberapa sosok yang menghampirinya. Salah seorang dari pria tesebut merogoh saku di balik jas yang ia kenakan, dan mengeluarkan sebuah dompet berisi sebuah surat perintah yang ditandatangani langsung oleh sosok bernama Anwar Pratama.

"Tuan ingin Anda ikut dengan kami. Mohon kerja samanya," kata salah satu dari ketiga pria tersebut.

Selepas mendengarkan pria berbadan tegap yang berdiri di hadapannya, senyuman licik sukses terukir di bibir Devina.

"Sekarang ..., ini baru menyenangkan," gumam gadis itu.

***

Devina keluar kafe dengan penjagaan ketat oleh ajudan-ajudan Anwar sampai berada di depan mobil. Semuanya tampak normal, sampai gadis itu hendak membuka pintu.

"Maaf Nona, saya ingin Anda memakai ini sebelum masuk ke dalam mobil," kata salah satu pria sambil memegang secarik kain.

Devina menatap kain penutup mata yang dipegang oleh pria tersebut terlebih dahulu, lalu memandang dengan jeli semua orang di sekitarnya satu per satu.

Tidak ada yang mencurigakan.

"Maaf, ini prosedur standar," lanjut sang pria yang memegang kain penutup mata.

"Baiklah, aku tidak keberatan," kata Devina.

Mata Devina kemudian ditutup hingga gadis bermata sipit itu benar-benar tidak bisa melihat apa pun. Semuanya gelap, sampai akhirnya penutup matanya dibuka beberapa menit kemudian.

Devina melihat sekeliling dan emnyadari dirinya kini berada di pesawat. Ia paham benar bahwa dirinya belum bisa melakukan hal yang macam-macam karena penjagaan ketat di sekitarnya.

Matanya kembali ditutup usai dirinya melahap makanan yang dihidangkan untuknya di pesawat. Saat penutup matanya dilepas kembali, Devina sudah berada di sebuah lobi gedung. Ia menatap sekeliling dan terlihat sangat tenang sampai akhirnya sebuah suara membuatnya terkejut

"Hey! Lepaskan aku! Jangan seret aku seperti ini!" teriak seorang pria yang tidak lain adalah atasan Devina, Andi.

Andi ditarik oleh dua orang pria yang mirip seperti orang-orang yang membawa Devina tadi. Pria itu terus memberontak sampai akhirnya melihat Devina yang juga menatap ke arahnya. Mereka saling bersemuka selama beberapa menit.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Devina dan Andi bersamaan.

***

Mereka berdua akhirnya duduk bersama sambil menyantap hidangan yang disediakan. Devina terlihat tenang sambil menyantap sepotong kue dan cokelat panas di hadapannya, sementara Andi terlihat kebingungan sejak tadi.

"Apa kau tahu apa yang terjadi?" tanya Andi berbisik.

Devina tersenyum kecil seraya menyeruput cokelat panas yang dia pegang sejenak.

"Mereka mempelajari kita," katanya.

"Hah?"

"Apa kau tidak sadar? Hidangan yang ada di sini tidak dipilihkan secara asal. Ini semua adalah makanan yang benar-benar kita sukai. Dan kalau kau mendengar musik Für Elise yang diputar di gedung ini sedari tadi, kurasa bukan sebuah kebetulan kalau mereka memainkan musik favoritku. Yang jelas, siapa pun yang membawa kita kemari, pasti dia adalah orang yang menarik," ujar Devina.

Mendengar perkataan Devina, Andi hanya mengangguk menyadari semua hal detail yang dia lewatkan. Tidak lama kemudian, seorang pelayan datang dan berdiri di hadapan mereka.

"Permisi, Tuan ingin bertemu dengan Anda," kata pelayan itu.

Devina dan Andi kemudian berdiri bersamaan, tapi pelayan itu tidak memperbolehkan Andi untuk ikut dengan Devina.

"Maaf, hanya dia yang boleh menemui Tuan," kata pelayan itu sambil menunjuk Devina.

Devina menatap ke arah pelayan itu sebentar, kemudian kembali menoleh ke arah Andi.

"Kau tunggu saja di sini. Biarkan ini menjadi urusanku," ucapnya. "Baiklah, sekarang aku harus ke mana?"

"Silakan ikuti saya."

***

Devina berjalan menyusuri lorong mengekori pelayan tadi. Beberapa foto keluarga tampak terpajang dan dari pakaian yang dikenakan orang-orang di foto, nampaknya mereka adalah bagian dari keluarga bangsawan di masa lalu.

"Tuan adalah seorang bangsawan," kata pelayan yang berjalan di depannya. "Tuan itu agak sedikit eksentrik. Mungkin kau akan sedikit terkejut saat bertemu dengannya pertama kali."

"Baiklah," kata Devina mengangguk paham.

Meski begitu, Devina sejujurnya tidak terlalu peduli dengan perkataan si pelayan. Dia hanya berpikir, seaneh apa pun pria yang dibicarakan pelayan itu, mungkin saja sosoknya tidak akan membuatnya terlalu terkejut.

"Silakan masuk."

Devina yang awalnya hanya menunjukkan wajah biasa saja, nampak terkejut dengan apa yang dilihatnya usai pintu ruangan dibuka. Sebuah ruangan yang penuh dengan warna putih di mana setiap perabotannya menunjukkan kesan klasik era Reinessance. Beberapa origami kertas berbentuk spiral tampak tersusun rapi di beberapa sudut. Terdengar pula irama Für Elise dari piano kecil yang dimainkan oleh seorang pria berusia tiga puluh tahunan dengan rambut ikal dan berpakaian serba hitam.

"Sudah datang rupanya," kata pria itu lantas berbalik dan menatap ke arah Devina. "Devina. Aku sudah menunggumu."

Anwar—pria itu—menatap gadis yang berdiri tidak jauh darinya dengan senyuman yang terlihat sangat tulus. Sementara, Devina hanya terdiam.

"Tidak usah ragu. Masuk saja," kata pria itu.

Ini adalah sesuatu yang jarang sekali terjadi. Devina yang sepertinya tidak memiliki rasa takut, kini gemetaran hanya karena melihat pria tersebut. Meski begitu, ia akhirnya melangkahkan kaki masuk ke ruangan itu.

*** 

Devina(completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang