03

135 12 7
                                    

Karena kelasnya ada pelajaran tambahan, jadilah Ana sore itu pulang sendirian tidak bersama Yena seperti biasa. Di dalam perjalanan itu, netranya lalu menemukan sosok pemuda yang duduk di halte yang sama dengan tempatnya menunggu bus di seberang jalan. Setelah menyipitkan mata, ternyata itu Hendra si anak baru.

Lalu lalang kendaraan yang cukup padat sore itu sedikit menyulitkan Ana untuk menyeberang. Setelah beberapa menit menunggu, barulah ia sampai di seberang. Itu pun sempat hampir kesempret motor tadi.

Tahu ada yang mendekat, Hendra pun menoleh. Senyum tipisnya pun terulas saat melihat sosok teman satu kelasnyalah yang datang mendekat.

"Naik bus nomer berapa?" tanya Ana berbasa-basi sembari mendudukkan diri tak jauh di sisi kiri Hendra.

"Dua."

Ana hanya bergumam kecil sebagai respons. Itu artinya, ia tidak satu bus dengannya.

"Kamu?"

"Ah, aku? Satu," jawab Ana yang cukup terkejut setelah ditanya balik. Pasalnya dalam sekali pandang, Hendra jelas tipe orang yang tidak akan membuka percakapan lebih lanjut.

Hendra hanya membulatkan mulut sebagai respons.

Tak berselang lama, bus yang biasa membawa Ana pun datang.

"Aku duluan, ya," pamitnya pada Hendra.

Hendra hanya mengamgguk sebagai respons sebelum mengikuti sosok Ana yang lalu masuk ke dalam bus melalui pandangan mata.

¤¤¤

Buku pelajaran Kewargnegaraan memang sudah dibuka di atas meja belajar, tapi pandangan Genta justru terarah ke depan. Pikirannya juga tertuju ke suatu hal. Apalagi kalau bukan tentang permintaan sosok yang menemuinya pulang sekolah tadi.

Sosok--yang ternyata seorang gadis dan kakak kelas tersebut--meminta untuk membantu menjalankan rencananya. Menguji apakah salah seorang kenalannya benar-benar menyukai gebetannya atau hanya sebatas kagum saja. Gadis itu juga takut kalau kenalannya tersebut ternyata jatuh cinta pada orang yang salah. Tentunya, ia tidak memberitahu informasi tentang kenalannya tersebut.

Awalnya, Genta jelas terkejut kenapa harus dirinya yang membantu dan bukan Mahesa saja misalnya. Namun jawaban yang keluar dari mulut gadis itu hanyalah ia satu-satunya bisa membantu.

Tentu saja ia tak langsung menjawab. Gadis itu juga bilang tak masalah tapi tetap memberinya batas waktu 2 hari.

Genta lalu mendesah panjang sebelum beranjak dari duduk dan beralih ke ranjang.

Aku harus gimana?

¤¤¤

Drap drap drap drap.

Suara derap langkah kaki yang cukup berisik dari koridor depan kelas sukses mengalihkan atensi Yena dan Jinny yang tengah mengobrol sembari menunggu guru yang mengajar masuk.

"Gaeeeeees!"

Sekon berikutnya, netra keduanya mendapati sosok Nana--salah satu teman satu kelas--yang masuk dengan napas tersengal.

"Kalian udah denger beluuum? Saat ini Magenta dari kelas 10-2 lagi nyatain perasaannya ke anak kelas 3 di lapangan basket!"

Kedua mata Yena membulat sempurna, lain halnya dengan Jinny dan beberapa teman lain yang sudah sibuk bertanya-tanya tentang kebenarannya.

"Jadi, kalian benar-benar nggak tau? Kalo nggak percaya ayo kita ke lapangan basket!"

Seperti dikomando, teman satu kelasnya yang didominasi perempuan itu langsung mengekori langkahnya. Termasuk Yena dan Jinny.

Saat tiba di lapangan, ternyata sudah tempat itu sudah ramai dengan anak-anak yang berkerumun mengeliling. Beberapa di antaranya bahkan sudah bersorak-sorak. Tidak mudah juga bagi Yena dan Jinny untuk menerobos kerumunan manusia tersebut.

"Ma-maukah Kakak berkencan denganku??"

Hati Yena langsung mencelos setelah akhirnya bisa melihat dua sosok manusia yang berhasil mengebohkan seluruh penjuru sekolah siang itu. Bukan karena Magenta yang ternyata menyukai orang lain, tapi sosok si kakak kelas.

Juriana, tetangga yang sudah ia anggap sebagai kakak sendiri.

Yena yang sudah bergetar hebat perlahan memundurkan langkah. Lalu tanpa menunggu jawaban Ana, gadis itu berlari menjauh sekencang-kencangnya.

"Yena!" panggil Jinny yang segera menyadari keberadaan sahabatnya sebelum menyusulnya pergi.

¤¤¤

"Nih!"

Itu sudah entah lembar tisu keberapa yang disodorkan Jinny pada Yena yang masih menangis sesengukan di rooftop.

Yena sudah memang sudah menceritakan semuanya pada Jinny, termasuk soal perasaannya pada Magenta. Jinny jelas terkejut, tak menyangka sahabatnya yang selalu ceria itu selama ini menyukai seseorang diam-diam dan hanya Ana yang tahu.

"Udahlah, Yen," ujar Jinny yang kembali mengangsurkan selembar tisu. "Cowok di dunia ini kan nggak cuma Magenta doang. Dan itu juga bukan salah Kak Ana."

"Bukan itu masalahnya, Jin!" Yena berujar dengan suara parau setelah membuang ingusnya dengan tisu. "Kak Ana tega! Kenapa selama ini nggak cerita kalo juga suka sama Magenta?"

"Lo nggak bisa langsung asal nge-judge Kak Ana, Yen. Lo harus denger penjelasan dia dulu."

Yena langsung menoleh dan menatapnya galak. "Asal nge-judge gimana?! Orang kenyataannya gitu, kok! Dia nikung gue, Jin!"

Kalau Yena sudah emosi begitu, Jinny bisa apalagi selain mendesah pelan sembari kembali mengangsurkan selembar tisu padanya.

Mulai detik juga, Yena bersumpah akan membenci Ana selamanya.

To be continued


Tolong hargai penulis dg meninggalkan vote 😦

When Yena Fall in Love ; Choi Yena [Republish]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang