04

118 11 7
                                    

"Gimana, Ndra, sekolahmu hari ini?"

Hendra yang tengah fokus menonton acara televisi di ruang tengah langsung menoleh saat ibunya bertanya demikian. Wanita paruh baya yang duduk di sofa serong kanannya itu tengah sibuk menjahit celana seragam adiknya yang robek di bagian ujung.

"Udah dapet temen, kan?"

Hendra hanya mengangguk sekenanya. Takut jika menggeleng atau menjawab tidak akan ditanyai lebih lanjut.

Ngomong-ngomong soal teman, jawaban Hendra tentu tak sepenuhnya benar. Setelah empat hari bersekolah di SMA Persada Bangsa, belum ada yang mendeklarasikan diri ingin berteman dengannya. Yah, walaupun masih ada satu sampai dua orang yang mengajaknya ngobrol. Ardi, laki-laki yang duduk di hadapannya serta Ana.

Gara-gara itu ia mendadak jadi teringat soal Ana dan kejadian yang mengebohkan seantero sekolah tadi siang. Ia tak menyangka ternyata Ana menyukai adik kelas yang katanya bernama Magenta itu.

¤¤¤

Ana tentunya sudah tahu resiko apa yang akan didapatkan setelah menerima pernyataan cinta Magenta. Yena menghindarinya selama empat hari ini dan bahkan tak sudi bertatap muka dengannya jika tak sengaja bertemu.

Sakit memang. Tapi ia bisa apa lagi? Tidak mungkin juga menyuruh Yena untuk mengerti dirinya.

"Kak."

Ana yang tengah berjalan seorang diri di koridor lantai satu langsung menoleh saat dipanggil. Ternyata Magenta, yang kemudian mensejajari langkahnya di sisi kiri.

"Sendirian aja?"

Ana hanya mengangguk singkat.

"Bareng, yuk, ke kelasnya," ajak Genta. Yah, walaupun mereka harus berpisah di depan tangga karena kelas Ana ada di lantai tiga.

Lagi, gadis yang lebih tua dua tahun hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban.

Tanpa mereka sadari sedari tadi, beberapa meter di belakang, ada Yena yang sedari tadi mengawasi dengan tatapan tajam.

¤¤¤

"Mau ke perpus, ya, Ndra?"

Ana langsung mencegat Hendra yang hendak berjalan melewatinya sembari mendekap beberapa buku.

Hendra hanya mengangguk singkat sebagai jawaban.

"Boleh bareng nggak? Aku juga mau ke perpus." Ana lalu mengambil beberapa buku yang disimpannya di laci meja.

Pemuda itu tidak langsung menjawab.

"Kalo nggak boleh, ya, nggak apa-apa," ujar Ana sembari beranjak dari duduknya.

"Bo-boleh, kok," jawab Hendra akhirnya dengan sedikit terbata.

"Bener?" Kedua mata Ana tampak berbinar. "Kalo gitu, ayo!"

Ana melangkah terlebih dahulu baru kemudian Hendra.

"Kamu nggak takut dimarahi pacarmu kalo jalan bareng cowok lain?"

Pertanyaan mengejutkan yang keluar dari mulut Hendra tersebut saat sudah berjalan di koridor tersebut sukses membuat Ana menoleh.

"Aku takut ntar dikira perebut pacar orang," lanjut Hendra yang masih tanpa mengalihkan pandangan dari arah depan.

Ana menggigiti bibir bagian bawahnya.

"Hm?"

"Eng-enggak, kok. Dia ngebebasin aku buat berteman sama siapa aja."

"Syukurlah kalo gitu."

Setelah itu, kebisuan menyelimuti selama sisa perjalanan. Di sela perjalanan itu, Ana diam-diam mendesah pelan.

¤¤¤

"Yen, pulang yuk! Udah mau maghrib ini."

Yena belum menggubris. Ia terus melangkahkan kakinya di sepanjang trotoar depan pertokoan yang dilaluinya.

"Yen!" Jinny mulai menarik ujung lengan kanan seragam Yena. "Ayo pulang. Udah mau maghrib. Ntar kalo diculik setan gimana?"

"Berisik!" Yena menepis tangan Jinny kasar. "Entar dulu kenapa?"

Jinny langsung menghela napas panjang. Ia paham betul kalau Yena sedang berada di tahap badmood tingkat akut. Salah satu cara menghilangkannya adalah dengan berjalan-jalan dengan ditemani seperti itu.

Mereka terus berjalan dalam kebisuan. Selama itu pula, langit perlahan berubah menjadi semburat orange. Hingga akhirnya, langkah mereka terhenti di depan sebuah toko buku tempat di mana Ana baru saja keluar seorang diri sembari menjinjing sebuah tas plastik berisi buku.

Pandangan Yena dan Ana bertemu. Bedanya, milik Yena tajam dan Ana menyendu.

"Yen." Jinny yang merasa atmosfirnya berubah langsung menyenggol sahabatnya.

"Ya, udah pulang yuk, Jin. Daripada jalan-jalan malah tambah bad mood gara-gara liat si penikung ini," ujar Yena sakartis sebelum berjalan melewati Ana sembari menabrakkan bahu kirinya.

Jinny bisa apa selain mengucapkan maaf pada Ana dengan suara lirih sebelum menyusul Yena.

¤¤¤

Klinting!

Begitu memasuki kafetaria, Genta langsung celingukan mencari sosok orang sudah menunggunya. Sekitar satu jam lalu, tiba-tiba Ana mengirimkan chat dan mengajaknya bertemu di kafetaria dekat sekolah. Katanya ada sesuatu yang ingin dibicarakan dengannya.

"Genta!"

Genta langsung menghentikan aktivitasnya dan segera menoleh ke sumber suara. Senyumnya perlahan terulas saat mendapati sosok Ana ternyata sudah duduk di salah satu sudut kafe. Dengan segera, ia pun menghampirinya.

"Maaf udah buat Kakak nunggu lama," ujar Genta sembari menarik kursi kosong di hadapan Ana sebelum mendudukinya.

"Nggak lama, kok," jawab Ana. "Oh ya, aku udah pesenin kamu thai tea."

"Ah, makasih. Tau aja kalo suka itu."

"Tenang, aku traktir."

"Sekali lagi makasih."

Tak lama kemudian, seorang pelayan datang membawa pesanan mereka. Satu thai tea dan es vanilla latte.

"Jadi, Kakak mau bicarain apa?" tanya Genta sembari menyedot minumannya.

"Ah. Tapi sebelum ke pembicaraan ini, ada satu hal yang harus aku ceritain dulu ke kamu."

Genta mengangguk-angguk di sela menyedot minumannya.

Ana terlebih dulu menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan sebelum mulai bercerita.

To be continued

When Yena Fall in Love ; Choi Yena [Republish]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang