02

198 16 7
                                    

Kening Ana berkerut samar saat memasuki kelasnya. Bagaimana tidak? Kelasnya itu baru berisi sepuluh orang, tapi semuanya sudah sibuk berkasak-kusuk. Dan saat ia berjalan melewati meja salah temannya yang sibuk berkasak-kusuk itu, indera pendengarannya tak sengaja menangkap bahwa akan ada murid baru yang datang ke kelas mereka.

"Ana!"

Ana yang baru saja mendudukkan diri dan kemudian melepas tas langsung mendongak. Netranya kemudian menangkap sosok Mira--salah satu teman dekat--yang kemudian mendudukkan diri kursi kosong di depan Ana.

"Kamu udah denger belum?"

"Tentang apa?"

"Katanya kelas kita bakal kedatangan murid baru," jawab Mira antusias.

"Jadi kabar itu benar?"

"Eh? Kamu udah tau?"

"Aku barusan nggak sengaja denger dari teman-teman yang sibuk membicarakan itu," jawab Juri. "Emang kabar itu awalnya dari mana, sih?"

"Dari Enik, anak kelas 12 IPA 3 yang Ibunya mengurusi bidang kesiswaan itu."

"Oh, anaknya Bu May, ya?"

Mira mengangguk. "Tapi informasinya cuma sebatas sampai di situ saja. Enik nggak tau si murid baru itu laki-laki atau perempuan."

Sayang, obrolan keduanya pagi itu harus terinterupsi karena bel masuk sudah berbunyi tak lama kemudian. Tak lama setelah itu, guru yang mengajar pun masuk dan memberi salam.

"Sebelum mulai pelajaran, ada hal yang harus Bapak sampaikan ke kalian dulu," ujar Pak Seno.
Beberapa anak didiknya langsung sibuk berkasak-kusuk.

"Hari ini kalian kedatangan satu teman baru dan dia pindahan dari Jogja," lanjut Pak Seno yang kemudian menoleh ke arah pintu. "Nah, Nak Hendra, silakan masuk."

Krieet.

Anak-anak yang tadinya berkasak-kusuk pun langsung terdiam begitu sosok teman baru mereka berjalan memasuki kelas dengan kepala tertunduk. Terlebih lagi para kaum hawa.

Hendra pun terus berjalan hingga akhirnya tiba di sisi sang guru.

"Nak Hendra, silakan perkenalkan dirimu."

Perlahan, kepala pemuda berwajah tirus itu terangkat sebelum membungkukkan tubuhnya singkat.

"Halo, namaku Hendra Prasetya dan biasa dipanggil Hendra. Aku dari Jogja. Aku pindah ke kota ini karena Ayahku yang seorang kepala bagian kantor pajak dipindahtugaskan ke Bandung," ujar Hendra memperkenalkan diri. "Mohon kerjasamanya selama satu tahun ke depan dan senang bertemu kalian."

Setelah Hendra selesai memperkenalkan diri, Pak Seno segera mencari-cari tempat duduk kosong melalui tatapan mata.

Paham apa yang sedang dilakukan sang guru, Ana segera mengangkat tangan kanannya.

"Ya?"

"Tempat duduk di belakang Ardi kosong," ujar Ana sembari menyebutkan nama salah satu teman satu kelasnya.

"Ah, iya benar," ujar Pak Seno sebelum menoleh ke Hendra. "Nak Hendra, silakan duduk di belakang Ardi. Berteman baiklah dengannya."

Hendra mengangguk dan segera melangkah menuju tempat duduk kosong yang dimaksud gurunya.

¤¤¤

Yena dan Jinny tampak celingukan mencari tempat kosong di kantin. Masing-masing membawa satu plastik berisi makanan ringan dan minuman ringan yang sudah mereka beli. Namun sejauh mata memandang, keduanya tetap tidak menemukan tempat kosong.

"Nggak ada tempat kosong. Gimana, nih, Yen?" tanya Jinny yang masih berusaha mencari tempat kosong melalui pandangan mata.

"Ya, kepaksa kita ke taman."

"Lho, kok kalian belum duduk?"

Mendengarnya, Yena dan Jinny langsung menoleh bersamaan ke belakang dan mendapati sosok Ana yang berdiri tak jauh di belakang mereka. Sama seperti kedua adik kelasnya, ia juga membawa satu plastik berisi makanan kering dan minuman kotak.

"Kak Ana." Yena langsung merengek sembari mendekati Ana. "Kita kehabisan tempat, Kak."

Ucapan tersebut disetujui Jinny dengan anggukan kepala.

"Tempat? Kakak malah udah nemu."

"Di mana, Kak?" tanya Yena dan Jinny bersamaan.

"Ayo ikut Kakak." Ana lalu berjalan terlebih dulu.

Yena dan Jinny melempar pandangan sejenak sebelum akhirnya mengekori Ana.

Awalnya, Yena merasa baik-baik saja. Namun setelah semakin dekat tempat yang dituju, firasatnya menjadi tidak enak. Terlebih lagi setelah sempat melihat sosok Magenta--si pujaan hati--yang duduk bersama tiga temannya.

"Kita boleh duduk sini nggak?" tanya Ana begitu tiba di dekat tempat yang dituju. Kebetulan, meja itu masih cukup longgar.

Mata Yena langsung membulat. Ia sudah mau pergi kalau tangan kanannya tidak tiba-tiba dicekal oleh Ana. Ya, siapa juga yang siap kalau harus satu meja dengan gebetan?

Genta dan ketiga temannya lalu saling melempar pandangan.

"Kalo nggak boleh, ya, nggak apa-apa, sih," ujar Ana kemudian karena tak kunjung dijawab.

"Boleh, kok, Kak," jawab salah satu teman perempuan Genta.

Setelah mendapat persetujuan dan mengucapkan terima kasih, Ana segera menarik Yena duduk diikuti Jinny. Yena tentu saja sudah gugup setengah mati.

Lain halnya dengan kubu Genta yang kembali mengobrol santai setelah kedatangan penghui meja tambahan, kubu Yena justru diselimuti kebisuan. Ana dan Jinny sudah menikmati camilan dalam diam sementara Yen masih sibuk menutupi kegugupannya dan mencari posisi duduk yang nyaman agar tidak terlihat memalukan di mata Genta.

Di sela menikmati camilan itu, Ana diam-diam melirik Genta yang masih mengobrol seru dengan teman perempuannya sebelum beralih melirik Yena yang duduk di hadapannya.

Grogi banget, sih, ini bocah.

Ana sudah mau menegak minuman kalengnya kalau saja sebuah ide tidak tiba-tiba terlintas di kepala hingga membuatnya diam-diam tersenyum licik.

¤¤¤

"Magenta!"

Genta yang tengah memasukkan  alat tulisnya ke dalam tas langsung mendongak saat tahu ada yang memanggil.

"Ada yang nyari tuh di luar," ujar Mahesa--sang ketua kelas--yang berdiri di ambang pintu kelas.

"Siapa?"

"Nggak tau. Yang jelas dia cewek."

Kening Genta mengerut perlahan. Meskipun begitu, ia tetap berujar, "Suruh nunggu dulu."

Mahesa hanya mengacungkan jempolnya sebagai respons sebelum bergegas keluar untuk memberitahu orang yang mencarinya.

Setelah semua alat tulis dan buku-bukunya beres, Genta segera melangkah keluar kelas untuk menemui sosok yang mencarinya.

"Magenta, ya?"

Kedua mata Genta langsung membulat setelah melihat sosok orang yang menemuinya.


To be continued

Tolong hargai penulis dengan tinggalkan vote ya 😦

When Yena Fall in Love ; Choi Yena [Republish]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang