>>Abu-Abu<<

28 6 5
                                    

Anggaplah semuanya adalah mimpi
Dimana kita bisa menggapainya

Di koridor sekolah aku berlari...dan tak terasa air mataku mulai menetes deras. Dengan deru nafasku yang terus memburu aku terus berlari dan berlari tanpa arah.

Entah apa yang ku tuju, dan apa yang ku cari aku pun tak tahu. Dengan tiba-tiba tangan seorang cowok mencekal tanganku kuat.

"Rin...maaf" Ucapnya.

Namun nyatanya, memaafkan tak semudah membalikkan telapak tangan. Rasa sakit itu terus saja membekas di hatiku.

"Buat apa minta maaf....kalau akhirnya di ulang lagi. Buat apa minta maaf....kalau akhirnya menyakiti lagi. Buat apa?" Kataku penuh emosi. Sedangkan cowok itu hanya terdiam dan tertunduk lesu.

"Maaf Rin...aku tau aku salah, tapi aku mohon....kamu jangan kayak gini, kita perbaiki hubungan kita dan mulai dari awal lagi." Pintanya.

"Maaf...aku nggak bisa, dari awal kita memang cuma teman dan nggak lebih"

Dengan cepat kulepaskan cekalan tangan Rendi dan berlari pergi.

Rendi....seorang teman yang terlalu lama menjadi teman....dan terlalu lama tak mendapat kepastian. Kita tidak berpacaran ataupun menjalin hubungan spesial...kita hanya berteman, tidak lebih.

=======
1 bulan kemudian.

Surabaya, 30 November 2018
Kamar Arin
15.30

Hari ini...aku seperti dicambuk oleh ribuan lidah yang terus memberikanku cacian yang tak henti ku dengar. Aku benci...aku tak suka semua orang memperhatikanku apa lagi membicarakanku.

Ini semua salah...salah besar....

Karena ayahku yang terus-terusan mabuk dan meninggalkan hutang dimana mana...semua orang selalu membicarakan keluarga kami.

Ingin rasanya menutup telinga rapat-rapat namun nyatanya sulit...dan selalu gagal.

"Kenapa harus kayak gini sih...aku ingin, bahkan sangat ingin...keluargaku utuh kembali seperti dulu" Gumamku dengan menelungkupkan kepalaku di kedua lipatan tangan kecilku.

Dunia seakan murka dengan semua tindakanku...dan mereka seakan lupa bahwa aku ini hidup, bukan sekadar benda mati yang seenaknya dapat mereka buang.

Ku dengar suara langkah kaki yang begitu familiar mendekatiku. Dengan spontan ku usap air mataku dan mendongak menghadap sumber suara itu.

"Kamu nangin lagi Rin?" Ucap nenek sembari mengelus rambutku lembut.
"Nggak kok nek...ini tadi kelilipan" Kataku bohong. Namun nyatanya insting seorang wanita tak bisa dibohongi, apalagi nenekku ini.

"Nggak usah bohong...nenek tau kamu sedih karena papa kamu lagi kan?" Ujar nenek.
"yes, that's one of them.... Namun bukan itu masalah yang sebenarnya." Jawabku.

"Lalu?"
"Cemoohan dari semua orang itu masalahnya...aku tak suka semua itu." Kataku jujur.

"Tak usah hiraukan mereka....Kita hidup dengan cara kita sendiri, dan kita lebih baik diam...karena diam kita terkadang adalah belati yang sesungguhnya. Kamu ngerti?" Tutur nenek

Dari dulu aku sangat menyukai nenekku ini... Karena selalu saja dapat membuatku tersenyum kembali dengan segudang kata-katanya.

"Makasih nek...nenek emang yang terbaik, jangan pernah tinggalin Rin ya nek." Ucapku spontan memeluk nenek.

"Nenek nggak bisa janji...tapi akan nenek usahakan untuk terus di sisi Rin." Jewab nenek membalas pelukanku.

Ku lepaskan pelukanku dan menunjukkan senyum yang tak pernah kutunjukkan pada siapapun.

November Rain (Slow Update)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang