01. Harapan Masa Depan

50 7 2
                                    

"Berbahagialah wahai jiwa yang tenang! Kesederhanaan tidaklah menyiksa batin, kemewahan tiada pula membuat terlena. Peaona fananya dunia tak akan menjadi kesombongan, pahitnya prahara tak juga jadi alasan berputus asa. Berjuanglah demi sebuah impian, sampai semua menjadi kenyataan."

***

Rintik gerimis berirama lembut terus turun membasahi Surakarta, Jawa Tengah. Sejak siang, langit belum juga menyudahi curahan air hujan.
Angin sesekali berhembus kencang, menambah menggigil pengendara sepeda motor yang tetap berpacu dengan waktu menyusuri jalanan kota yang mendapat julukan Spirit of Java tersebut.
Beberapa orang tetap berlalu-lalang di terotoar, memakai payung. Seolah gerimis bukanlah alasan untuk duduk manis di rumah masing-masing.

Tiga bus warna putih bertulisankan Pariwisata, melaju cukup kencang di Jl. Brigjend Slamet Riyadi yang tidak terlalu padat kendaraan, hanya beberapa mobil tampak berada di belakang seakan mengiring.
Setiap mata yang memperhatikan tentu langsung tahu bus tersebut membawa calon jamaah haji dari kota-kota sekitar menuju Asrama Donohudan, untuk kemudian diberangkatkan secara berkala dari Bandara Adi Sumarmo menuju Makkah.

Di sebuah persimpangan, sesaat, dua orang pejalan kaki menghentikan langkah. Salah seorang diantara mereka terlihat sudah begitu tua, di sampingnya berjalan seorang gadis muda dengan sabar melangkah pelan memayungi dan mengimbangi langkah wanita tua berkerudung panjang tersebut.

Sorot mata wanita tua itu seolah tajam dan seolah mengisyaratkan kesedihan saat ketiga bus yang diperhatikannya lenyap dari pandangan.
Sedang gerak bibir tipis tanpa pewarna gadis di sampingnya jelas terlihat bagai menelan ludah dan mengedipkan mata indahnya, seakan mencoba memendam dan menyembunyikan sebuah rasa yang tak perlu dijelaskan.

"Kapan ya nenek bisa seperti mereka, berangkat ke Tanah Suci," tutur wanita tua itu ketika melangkahkan kakinya kembali.

Tanpa bisa ditahan, setetes air mata mengalir dari ujung kelopak mata ke samping hidung mancung gadis berkerudung merah muda yang kemudian menundukan kepalanya.
Secepat mungkin disapnya air mata itu sebelum pemandangan asing tersebut disaksikan neneknya yang tak lama kemudian menoleh kearahnya.

"Insyaallah, suatu hari nanti kita berkunjung ke sana, Nek," jawab gadis berkulit putih tersebut lalu sebisa mungkin menyuguhkan senyum termanisnya.

Naura Ahsanulhusna, gadis yang tak seberuntung teman-teman sebayanya itu selalu sabar merawat neneknya yang kini berusia senja. Menemani kemana saja neneknya melangkah, dan mencuragkan semua waktu untuk neneknya yang bernama Halimah.

Siapa yang tidak ingin membalas jasa orang yang telah membesarkannya selama ini? Saat dirinya kehilangan kasih sayang kedua orang tua, hanya nenek Halimahlah yang berjuang mati-matian memperjuangkan hidup dan kebahagiaan Naura.
Namun, apa yang bisa dilakukan Naura untuk membahagiakan nenek Halimah?
Dia tahu, neneknya sangat ingin mengunjungi Tanah Suci, Makkah. Tetapi, jangankan untuk ke sana, makan sehari-hari pun Naura harus bekerja siang-malam membuat batik.
Dia dapat bersekolah sampai SMA, tak luput dari bantuan pemerintah setelah kakeknya meninggalkan mereka untuk selama-lamanya.
Dalam hati, dia juga sangat ingin melanjutkan pendidkkan ke perguruan tinggi, hanya saja kemapanan ekonomi belum berpihak padanya, bukan pasrah! Naura hanya menganggap memang lebih baik begitu, supaya dia dapat mengurus nenek Halimah yang kini tak sekuat dulu saat usianya belum terlalu tua.

Sepanjang perjalanan pulang Naura berdoa, semoga Tuhan yang kuasa memberikan kesempatan untuk membahagiakan nenek Halimah. Dia ingin melihat neneknya tersenyum di bawah langit negeri para nabi. Dia ingin mewujudkan harapan terbesar orang yang paling dikasihnya tersebut.

***

"Anjani," sapa Naura kepada seorang gadis berpakaian rapi yang duduk di beranda ketika Naura dan neneknya sampai di rumah, "udah lama?" sambung Naura.

My Little Dreams [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang