03. Hancur Bukanlah Luntur

10 4 1
                                    

Bagi sebagian orang, melukis dengan bolpoin adalah hal yang mustahil, atau lebih tepatnya cukup sulit. Tapi tidak untuk Naura, yang sejak kecil sudah terbiasa meliuk-liukkan jemarinya menggoreskan pensil dan bolpoin menjadi sebuah karya seni.
Tidak hanya pandai dalam membuat motif di kain putih bahan batik yang memang menjadi pekerjaannya selama ini. Menyusun garis demi garis, titik demi titik di selembar kertas pun akan menghasilkan karya yang menakjubkan dari gadis lulusan SMP tersebut.
Walau untuk membuat satu lukisan butuh waktu lebih dari satu bulan. Sedikit demi sedikit dia tetap menyelesaikan karyanya, saat pekerjaan membatiknya telah selesai.
"Sudah jadi lukisan Ka'bah itu, Ra," ujar nenek Halimah yang melihat cucunya tengah memastikan bahwa kertas yang dimasukkan ke dalam bingkai benar-benar rapi.
"Sudah, Nek!" jawab Naura ketika menengok ke arah neneknya yang sudah duduk di sebelah kanannya.
Nenek Halimah meniup-niup gelas besar berisi teh yang masih lumayan panas, lalu dengan hati-hati mencoba meminumnya sedikit, "Lha, itu dikasih sama Ani?" tanyanya dengan pandangan mengarah ke bingkai-bingkai yang tergeletak begitu saja di samping Naura.
Naura meletakkan lukisannya, dan mengambil lainnya untuk dibingkai juga, "setelah pameran, Naura kembaliin sama Anjani, kok, Nek!"
Dia mengerti, neneknya tidak suka jika Naura mendapatkan barang dari seseorang dengan cuma-cuma. Menurut neneknya, selama masih bisa bekerja tidak pantas rasanya menerima suatu barang yang bernilai jual tanpa kita mengeluarkan keringat usaha untuk mengganti harganya.
Begitu yang ditanamkan dalam diri Naura sejak kecil. Walau meteka dari keluarga miskin, pantang bagi nenek Halimah mengemis belas kasihan dari orang lain.
"Mau ikut pameran? Berarti ini mau dijual, ya?" nenek Halimah meletakkan gelas yang sedari tadi dipegangnya ke atas meja, kemudian mengambil dan mengamati lukisan cucunya baik-baik, "padahal Nenek sangat suka," sambung nenek Halimah.

Naura terdiam, sesaat dia menghentikan gerakan tangannya mengelap kaca bingkai itu. Melintas dalam hati kecilnya sebuah perasaan yang sulit dijelaskan, tapi cepat-cepat ditepisnya.
Naura kembali melanjutkan kegiatannya membingkai tiga lukisan yang tersisa, sebelum jam sepuluh pagi Naura harus sudah menyelesaikannya. Hanya saja, tak seberapa lama gerakan tangan Naura kembali terhenti dengan sebuah suara dari pintu rumahnya, "Assaamu'alaikum!" begitu yang didengarnya.
"Wa'alaikum-salam," jawab Naura dan neneknya hampir bersamaan, "silahkan masuk, Bu!" ucap Naura, secepat mungkin ia berdiri menyambut seorang wanita yang sangat dikenalnya.
Wanita itu masuk kemudian menjabat tangan nenek Naura, "sehat, Nek?" sapanya lalu tersenyum.
"Alhamdulillah, Nak," tutur nenek Halimah, "buatkan minum dulu, Ra!" katanya saat pandangan kedua mata sayu itu telah berpindah ke arah cucunya yang masih berdiri di dekat pintu.
"Tidak usah repot-repot, saya sedang buru-buru, Nek," tukas bu Mahardika, tetapi Naura tetap saja masuk ke dalam ruang tengah mematuhi perintah neneknya.
Bu Mahardika memang sesekali datang ke rumah itu, sejak dulu nenek Halimahlah yang membuatkan batik tulis untuk bahan sebagian model baju yang dijualnya. Sampai sekarang, walaupun pekerjaan membatik telah sepenuhnya digantikan oleh Naura, bu Mahardika tetap menyempatkan datang sekedar mampir, atau mengambil kain batik yang sudah jadi.
"Kain batik yang ibu pesen sudah jadi berapa, Ra?" tanya bu Mahardika sedikit menaikkan suaranya karena Naura sudah tak berada di ruang tamu.
"Ada sepuluh, Bu," jawab Naura yang datang membawa satu gelas teh di atas nampan kecil, "rencananya mau saya antar nanti siang ke tempat Bu Ika," jelas Naura kepada bu Mahardika yang lebih akrab disapa Bu Ika olehnya.

Naura mengambil kain batik yang telah dicuci dan dilipatnya rapi. Diserahkannya pada bu Mahardika yang tengah mengobrol dengan nenek Halimah.
Setelah dirasa urusannya selesai, bu Mahardika menghampiri sopirnya yang menunggu di depan rumah itu, lalu memerintahkannya untuk mengantar ke Pasar Klewer sebelum kembali ke butiknya.

Selepas kepergian wanita yang menjadi pengusaha sukses dalam bidang fashion itu, nenek Halimah bergumam agak lirih dengan mata masih memandangi pintu. Seakan-akan bayang wanita yang beberapa saat tadi berbincang dengannya masih melekat di sana, "kalau saja Mahardika memintamu jadi menantunya, nenek mungkin akan langsung menyetujui."
Mendengar ucapan neneknya, Naura yang telah kembali duduk di antara lukisannya menyela, "jangan berpikir yang tidak-tidak, Nek," katanya.
"Kamu juga jangan berpikir yang tidak-tidak tentang nenek! Nenek berharap begitu bukan karena Mahardika itu orang kaya. Tapi, menurut nenek dia orang yang sangat baik. Dia pasti bisa membimbingmu menuju masa depan yang cerah," tutur nenek Halimah menjelaskan maksudnya.
Naura tak bergeming, dia menutup rapat mulutnya. Apa salahnya mendengar neneknya mengungkapkan harapan? Begitu bisik hatinya.
"Nenek ini sudah tua, kadang nenek berpikir bagaimana jika Allah besok atau lusa memanggil nenek," sambung nenek Halimah.
Sontak Naura kaget dengan apa yang baru saja dilontarkan orang yang paling disayanginya, seakan-akan Naura baru sadar dari koma panjangnya. Sejak kapan dia lupa tentang kematian? Ah, mungkin sesaat yang lalu, dialognya dengan diri sendiri dalam hati.
Namun, bagaimana pun juga tidak terlintas dalam benaknya kehilangan satu-satunya orang yang selama ini menemani hidup Naura. Rasa takut kehilangan tiba-tiba menyelimuti hati gadis beralis tipis itu.

"Sebelum nenek pergi untuk selamanya, nenek ingin melihat kamu mempunyai pendamping hidup," ucap nenek Halimah saat melihat cucunya menundukkan kepala, "Nenek tidak mau meninggalkan kamu sendirian," sambungnya.
Kalimat itu membuat Naura mendapat bermacam pertanyaan dari hatinya. Sendirian? Bagaimana rasanya hidup sendirian?
Belum terjawab pertanyaan itu, sudah muncul pertanyaan yang sangat mengusik pikirannya. Di mana ibumu? Kenapa dia tega meninggalkanmu sendirian?
Begitu seterusnya, sebelum pertanyaan-pertanyaan itu terjawab timbul pertanyaan lain yang sama sulitnya untuk dijawab.

***

Bu Mahardika telah sampai di rumahnya dan duduk di ruang tamu saat sopirnya mengangkat barang-barang yang baru saja dibelinya dari Pasar Klewer.

Farhan keluar dari kamar dan berjalan pelan ke arah ibunya. Belum genap langkahnya, dia sudah mendapat omelan, "kalau sekali lagi mama lihat kamu mabuk-mabukan," tutur bu Mahardika, "mama kirim kamu ke pesantren!"

Farhan kaget, namun hampir saja dia tidak bisa menahan tawanya, "pesantren?"
"Kenapa?" Celetuk bu Mahardkka, "Kalau tidak mau, mama nikahkan saja kamu sama seseorang! Biar tau susahnya cari uang," sambungnya.
Kali ini Farhan tidak bisa menahan rasa ingin tertawanya, "menikah?" ujar Farhan sambil menutup mulutnya yang tertawa kecil, "sudahlah! Mama ini lucu," kata Farhan saat menjuntaikan tangannya.
Mata beralis tebal bu Mahardika tajam memperhatikan tingkah laku anaknya semata wayangnya tersebut.
"Oh," ucap bu Mahardika setelah menghela napas panjang, "mama lucu?" tanyanya setelah berdiri, "hari ini kamu tidak mendapat jatah uang dari mama!" gertak wanita berkaca mata tersebut.
"Bukan cuma hari ini, sebulan kedepan!" timpal bu Mahardika, "atau ... dua, tiga bulan kedepan!" sambungnya sebelum Farhan membuka mulut untuk berkomentar.

Bu Mahardika melangkah menuju tangga ke lantai atas, sedangkan Farhan hanya bisa melihat dan menggaruk-garuk rambutnya yang sebenarnya tidak gatal.
"Ma ...," panggil Farhan membuat bu Mahardika menghentikan langkah.
"Jangan gitu, lah, Ma!" kata Farhan saat ibunya menoleh, "masa motor udah disita, ATM diblokir, sekarang mama enggak kasih uang beberapa bulan kedepan. Terus Farhan gimana?" sambungnya.
"Rambut, potong pendek! Biar pinter," tukas bu Mahardika sambil mengangkat tangan kanannya lalu menggerakkan jari tengahn dan telunjuknya seperti sebuah gunting.
Sebagai seorang ibu, bu Mahardika ingin sekali melihat anaknya berpenampilan rapi. Tapi, sudah bosan rasanya menasehati Farhan untuk memotong rambugnya yang sudah menyentuh pundak itu.
Sikap garang dan sifat cepat emosi yang menjadi identitasnya di depan teman kampusnya tidak berlaku di rumahnya sendiri jika berhadapan dengan ibunya. Sekeras-keras hati Farhan, dia tetap sadar hanya ibunyalah orang tua yang dimilikinya sekarang.
Farhan selalu berusaha tidak mengucapkan kata-kata kasar kepada ibunya, dia tidak ingin melihat ibunya menangis seperti dulu saat prahara menerpa rumah tangga kedua orang tuanya. Sekejam-kejamnya Farhan, lelaki bertubuh besar itu tidak akan sampai hati jika melukai hati ibunya sendiri.

Sementar bu Mahardika, memang bukan maksud hatinya bersikap keras kepada Farhan. Dia hanya ingin sebuah perubahan baik tercermin dari anak satu-satunya tersebut.
Dalam benaknya, memang semua yang terjadi tak luput dari kesalahannya. Saat satu waktu bu Mahardika harus menjadi sosok ibu dan ayah sekaligus untuk Farhan. Banyak waktu harus digunakannya untuk mencari uang, untuk menghidupi sebuah kehidupan. Kehidupan baru tanpa seorang suami.
Kehidupan yang memaksanya mengurangi kadar perhatiannya kepada Farhan semasa ia kecil. Kurangnya kasih sayang dan hilangnya sosok seorang ayah membuat Farhan menjadi susah diatur.
Lalu, setelah bu Mahardika telah sukses dalam bidang usaha yang digelutinya, Farhan bisa mendapatkan apa saja yang diinginkannya. Begitu dulu bu Mahardika memanjakannya, sehingga sekarang dirasanya salah dan mencoba mendidik Farhan dengan keras dalam masalah moral.

***

My Little Dreams [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang