Part 3 - Bara Api!

2.1K 92 1
                                    

Suara lantunan ayat suci Al-Qur'an terdengar mengalun di komplek pesantren Al-Hikmah pagi itu.

Pukul 03.00 dini hari di pesantren memang sudah ramai. Para santri mulai beraktivitas dengan sejumlah jadwal kegiatannya. Ke mesjid, shalat tahajud lalu tadarus menunggu subuh tiba.

Beda dengan Silvia yang masih asyik dengan bunga tidurnya.

Hindun, teman sekamarnya sudah kehabisan cara agar Silvia mau bangun. Awalnya Hindun kira Silvia berusia lebih tua darinya. Tapi ternyata Silvia seumuran dengannya.

"Sil, bangun... ayo ke mesjid! Yang lain udah pada berangkat"

Gadis itu mengusap lembut punggung Silvia yang masih mendengkur halus.

Beberapa usapan halus tidak juga berhasil. Hindun menarik nafas lelah. Kok ya bisa-bisanya Pak Kiyai nyuruh dirinya sekamar sama orang kebo kayak gini!

Oke, sabar ya Allah... bismillah...

Hindun kembali menggoyangkan Silvia, kali ini sedikit lebih kencang.

Silvia bergerak. Matanya masih tertutup rapat, hanya mulutnya saja yang menjawab sambil merubah posisi tidurnya.

"Apaan sih lo, Son! Ntar gue potong gaji lo, baru tahu rasa"

Dahi Hindun berkerut. Sejak kapan namanya berubah jadi Son? Dan apa? Gaji? Dikira dia bosnya apa, pake bahas gaji segala, yang ada malah Hindun nyantri di sini kan bayar, yah, walaupun sedikit mendapat keringanan karena dirinya berasal dari keluarga tidak mampu.

Oke, Hindun kehabisan cara. Mungkin cara yang satu ini bisa berhasil.

Hindun mendekatkan mulutnya ke telinga Silvia dan berbisik pelan.

"Silvia, Bang Ziad nungguin lo di depan pintu"

"Hm.... APA??!! ZIAD???"

Hindun sampai menutup kedua telinganya. Silvia bangun lalu merapikan rambut panjangnya. Dia lalu keluar kamar sambil celingukan.

"Kok sepi? Mana Ziad?"

"Silvia, itu... kamu jangan dulu keluar!"

Silvia melirik Hindun.
"Apa? Penampilan gue jelek ya? Ah iya, lo bener! Dari kemarin gue belum mandi!"

"Bu-bukan itu, tapi kamu jangan keluar tanpa kerudung seperti itu, dosa!"

Silvia menjentikkan jarinya. Lalu kembali ke kasur.
"Ah, gue tahu! Ini kan panti sorga, pendosa kayak gue mana cocok tinggal di sini!"

"Hush, nyebut kamu, Sil! Istighfar! Pesantren ini bukan jaminan penghuninya masuk surga. Tapi ini hanya sebagai wadah agar seseorang dapat merubah dirinya menjadi lebih baik sesuai dengan apa yang Dia perintahkan."

"Wow, oke Bu Ustat, ceramahnya keren, tapi gue cuma mau mastiin aja, lo bilang tadi ada Ziad, mana? Kok gue gak lihat?"

Hindun gelisah. Jemarinya bertaut.

"Maaf, Sil. Aku tadi hanya berusaha bangunin kamu. Dan aku kesulitan, lalu dengan sedikit berbohong, akhirnya aku berhasil bangunin kamu."

"Apa?! Jadi lo bohong? Wah, ini nih! Yang gue gak demen! Ceramahnya panjang lebar, giliran bohong aja gampang banget!"

"Maaf, Sil! Sekali lagi aku minta maaf!"

"Gak, gue gak maafin lo."

"Lalu, aku harus gimana? Sebab jika kita ingin mendapatkan ampunan dari Allah atas perbuatan mendzalimi orang lain, maka kita harus mendapat maaf dari orang yang kita dzalimi"

"Menarik. Oke, gue bakal maafin lo, tapi dengan syarat."

"Apa itu?"

"Bantu gue kabur dari tempat ini, bisa?"

The Cinta Of The Murid SemprulkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang