004. Namanya MaliQ

15.9K 944 108
                                    

"Disaat orang pendiam menyukai seseorang, dia akan mulai mengawasinya dari jauh"

***

Pemuda jangkung pemilik bulu mata lentik itu masih terlihat memasukan barang-barangnya ke dalam ransel miliknya. Teman-temannya yang lain sedari tadi sudah berdiri di depan jalan sembari menunggu kedatangan bis. Hanya ia yang masih sibuk sendiri dengan barang-barangnya.

Pemuda berahang tajam itu dari kemarin tidak ikut bersama yang lain untuk naik bis yang telah pihak kampus siapkan. Pemuda itu terang-terangan membawa motor besarnya karena ia tidak suka satu tempat atau satu ruangan bersama orang-orang berisik apalagi yang sok akrab padanya. Pemuda itu sangat menjauhinya, bukan karena dia anti sosial hanya saja ia tidak pandai dalam membawa diri dan terlalu malas untuk sekedar membuka mulutnya dan mengobrol dengan yang lain.

Samar-samar ia mendengar suara bis yang perlahan terdengar menjauh dari tempat kamping. Dengan mengangkat ranselnya dan mengangkatnya pada bahu lebarnya ia pun melangkah menuju tempat ia memarkir motor besarnya. Langkah kaki panjangnya mampu menyapu jalan dengan cepat tanpa menghabiskan waktu lama.

Pemuda itu mengerjap pelan saat melihat adik tingkatnya terlihat berdiri dengan tidak tenangnya sembari menggigit bibir.

Tiba-tiba gadis itu menoleh padanya yang tengah berjalan pelan kearahnya, gadis berkerudung itu terlihat nelebarkan mata kaget karena kemunculannya di balik semak-semak.

"Kak Maliq ketinggalan bis juga?" Ujarnya dengan tidak percaya, pemuda itu tak menjawab malah melangkah lurus membuat gadis itu mengekorinya.

"Kakak ada ponsel gak buat telepon yang lain, soalnya ponselku di ransel dan ranselnya sudah ada di bis," cerocosnya panjang lebar namun cowok itu sama sekali tak berniat menggubris.

Azura terlihat mendesah kasar sembari menautkan alis bingung, "Ini orang bisu sekalian tuli yah, dari tadi gue ngomong gak di gubris." Kesalnya sembari bercakak pinggang.

Pemuda jangkung itu terlihat mengangkat beberapa daun yang ia pakai untuk menutupi motor besarnya membuat Azura mengerjap cepat sembari tersenyum lega. Akhirnya ia bisa pulang tanpa harus jalan kaki, tunggu bagaimana cara bilangnya kalau ia mau nebeng pulang?

Maliq terlihat merogoh kantongnya sembari mengambil kunci motor, Azura perlahan mendekat sembari tersenyum kikuk membuat Maliq menautkan alis.

"Gue boleh nebeng gak kak, kakak gak perlu antar gue sampai rumah kok kak. Sampai depan kampus juga gakpapa," tuturnya sembari memohon, namun ia memukul jidatnya menyadari kebodohannya sendiri.

"Terus gue pulangnya naik apa, kan dompet gue ada di ransel." Gumamnya lirih sembari bermonolog sendiri, Maliq yang sudah menunggang motornya masih menunggu apa yang akan gadis itu katakan lagi.

"Kali ini aja deh kak, bantuin gue yah!" Mohonnya sudah mengatupkan tangan di depan dada, pemuda di hadapannya itu hanya mengerjap pelan masih setia untuk bungkam.

Maliq terlihat menunjuk jok belakang motor dengan dagunya sembari menyuruh gadis itu naik. Namun, Azura hanya menganga dengan kening mengkerut tidak mengerti apa maksud dari cowok itu. Jangan salahkan Azura yang susah mencerna apa yang pemuda itu lakukan, tapi salahkan Maliq yang sama sekali tidak mau berkontribusi hanya untuk sekedar membuka mulut.

"Maksudnya apa kak? Kakak nyuruh gue pergi?" tanyanya dengan wajah sendu, Maliq menghela nafas pelan sembari menyalakan mesin motor.

"Naik!" Ujarnya lirih namun masih bisa ditangkap oleh telinga Azura, tanpa basa-basi gadis itu langsung melesat naik sembari mendudukan diri pada jok belakang.

Namun, Azura terlihat kesusahan untuk duduk mengingat di tengah-tengah mereka berdua ada ransel besar milik pemuda itu.

"Kak, maaf nih sebelumnya. Bukan bermaksud lancang, tapi bisa gak ranselnya simpan di depan. Gue takut jatuh kak, ntar orang kira kakak buang sampah di tengah jalan lagi," celetuknya untuk mencairkan suasana, entahlah ia tidak tahu kenapa jadi berubah banyak bicara sekarang.

AZURA STORY [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang