17. Sedih

1.7K 368 42
                                    

Dua orang yang baru aja keluar dari ruang guru itu sama-sama menekuk wajahnya. Bedanya gadis berponi itu menatap sekitar dengan pandangan kosong. Sementara Mingyu menatap sekitar dengan penuh amarah. Sorot matanya itu sangat jarang dia keluarkan di sekolah. Hal yang paling dia benci baru saja dikeluarkan dari mulut Bu Sooyoung.

Saat Eunha hendak melangkahkan kaki naik ke lantai tiga, Mingyu menahan lengan Eunha dan menjadikan Eunha sedikit terdorong ke belakang.

"Kita perlu bicara." Mingyu tak mengubah ekspresi ketika berkata seperti dengan Eunha.

"Apa?" lirih Eunha.

Mingyu membawa Eunha ke lorong yang lebih sepi supaya mereka gak menghalangi jalan dan percakapan mereka tak didengar siapa pun.

"Gara-gara lo nilai gue jadi nol dan lo mengahancurkan nilai rapot gue," ucap Mingyu sangat dingin membuat Eunha takut dengan posisi yang seperti ini.

"Maaf," lirihnya Eunha pelan.

"Lo pikir dengan maaf lu bisa balikin nilai gue?"

Tadi mereka dipanggil oleh Bu Sooyoung untuk mempermasalahkan kejadian barusan. Eunha mau ngomong jelasin kebenaran yang asli, tapi dibantah langsung oleh Bu Sooyoung, dia berkata kalau Eunha gak boleh ngarang cerita. Jadi yang dilakukan Eunha dan Mingyu cuma diam.

Mereka cuma bisa natap nanar kertas ulangan mereka yang dicoreng nilai nol dengan ukuran yang besar dan bertinta merah. Hal itu tentu saja membuat Eunha mengutuk kebodohannya sendiri lantaran nekat mencontek.

"Ini salah paham, gua yakin Bu Sooyoung bakal kasih kesempatan kita buat ulangan lagi." Eunha mulai mau natap lawan bicaranya. Entah ke mana degup jantung yang biasanya berpacu ketika bicara empat mata dengan Mingyu gini, Eunha sama sekali tidak merasakannya sekarang.

"Bisa gak sih kalian nyonyek tanpa melibatkan gue di dalamnya? Sekarang malah gue yang jadi korban, padahal yang jelas-jelas ngelakuin hal bodoh itu lo dan temen lo." Mingyu menjeda kalimatnya lalu melanjutkan, "Gue udah jelasin ke lo bahkan sebelum ulangan, kenapa masih gak bisa jawab? Itu karena otak lo terlalu dangkal. Otak lo mungkin jauh di bawah anak kelas lima SD."

Eunha yang daritadi gak bereaksi apa-apa dengan ucapan Mingyu kali ini mengepalkan tangannya. Luka hati yang semalam ditaburi papanya saja belum kering, kali ini kembali ditusuk oleh ribuan pisau yang seolah gak mau melepas di jantungnya.

"Kenapa diem? Baru sadar?" Suasana koridor yang sepi membuat suara Mingyu terdengar begitu jelas di telinga Eunha, suara meremehkan yang gak pernah didengar Eunha. Ini bukan seperti Mingyu yang biasa dia lihat di kelas.

"Lu gak bisa ngukur kemampuan orang cuma dari nilai hitungan doang, selama ini gua bantu lu di pelajaran lain itu masih menandakan otak gua masih kayak anak SD?" kesal Eunha, merasa bantuan dia untuk Mingyu selama ini gak berarti sama sekali.

"Anak SD juga bisa mikir yang kayak gitu."

"Terus lu apa? Lu diajarin sama orang yang jelas-jelas otaknya setara sama anak SD, jadi lu anak TK atau Paud?" Eunha gak mau kalah, dia mampu membisukan ucapan lawan bicaranya ini. "Gua kecewa sama lu, gak nyangka seorang Mingyu yang jadi juara di SMA Harapan ngomong kayak gini ke cewek. Secepatnya gua bakal ngomong ke Bu Sooyoung tentang ulangan tadi." Eunha mulai memainkan nada suara seperti biasa, udah gak kebawa emosi kayak tadi. "Tenang aja, gua gak bakal ngasih tau ucapan lu barusan ke anak-anak."

"Mau jadi pahlawan?"

Eunha menggeleng. "Udah selesai? Permisi gua mau pergi."

"Jangan berharap lebih dari apa yang gue lakuin ke lu selama ini. Gue deketin lu cuma buat bantu nilai-nilai gue di mata pelajaran yang lain," kata Mingyu masih dengan nada sinisnya. "Gue juga pernah denger gosipan temen lo tentang gue. Gue bakal lurusin di sini bahwa gue gak pernah ngasih susu cokelat ke bangku lo setiap pagi. Gue juga sama sekali gak pernah ada rasa ke cewek yang hidupnya selalu bergantung sama orang lain, kalo lo mau tau... udah ada cewek lain yang ngisi penuh hati gue."

Choco Milk ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang