28 Juli 2018.
Cuaca pada pagi Desa Pagergunung tak pernah berubah, langit masih cerah tanpa awan dan udara yang sejuk. Tapi entah mengapa langit terasa gelap dan udara bertambah dingin. Para anggota cowok nggak seheboh biasanya. Kami hanya berbicara seperlunya.
Riri pun pagi ini banyak diam. Dia tak mereceh seperti biasanya. Apa yang sebenarnya terjadi tadi malam hingga semuanya seperti ini? Entahlah. Aku mencoba fokus dengan persiapan program pertama kami.
Sebelum berangkat ke lokasi pelaksanaan program, kami berkumpul di halaman untuk penyampaian instruksi dan berdoa bersama. Suasana masih mencekam. Bahkan instruksi dan doa tidak dipimpin oleh koordinator desa kami, tapi ketua kelompokku.
Sepanjang perjalanan menuju lokasi, suasana canggung terasa antara aku dan Kiki. Aku masih berboncengan dengannya. Mungkin dia memang tidak marah denganku. Namun, dia tetap saja masih mendiamkanku. Karena tak tahan aku menanyakan apa yang sebenarnya terjadi.
"Hm?"
"Iya, apa yang terjadi tanyaku. Hari ini terasa mencekam."
"Apa yang kamu maksud? Orang-orangnya atau suasananya?"
"Suasana?" aku tak yakin dengan pertanyaanku. Apa memang suasananya?
"Oh, ituuu. Semalem anak cowok habis bermasalah sama Koor. Biasalah." Koor yang dimaksud Kiki adalah koordinator desa kami. Memang tidak heran kami sering berselisih paham dengan Koor. Dia orang yang kurang fleksibel di mata kami. Tapi, benarkah? Apa memang itu yang terjadi?
"Kamu yakin?"
"Iya, beneran. Kan kamu tahu sendiri dia marah-marah kemarin. Padahal kami cuma bercanda."
Mungkin memang benar. Semalam Koor memang marah-marah dengan anak cowok. Aku nggak tahu masalah sebenarnya. Tapi aku tidak mengira kalau sampai membuat suasana keruh hingga pagi tepat saat program pertama akan berjalan.
Kami sudah tiba di lokasi. Aku tidak merasa gugup sedikit pun dan juga tak banyak bicara di sana karena aku juga masih merasa asing dengan lingkungan ini. Selain itu, karena pikiranku ada di tempat lain.
Sesekali Kiki mengajakku mengobrol dan bercanda. Aku merasa sedikit lega. Ya, sedikit. Terlihat jelas raut lesu wajah Kiki. Ekspresi wajah yang sama dengan ketika aku bertemu dengannya di fakultas beberapa bulan terakhir. Kamu tidak perlu menghiburku, Ki. Kamulah yang perlu dihibur sepertinya.
Program pertama kami akhirnya sudah terlaksana dengan baik. Kami bergegas untuk beranjak dari lokasi dan menyiapkan untuk program selanjutnya. 18 orang dari kami dipecah menjadi dua tim. Sebagian menuju ke pasar tradisional terdekat untuk membeli bahan-bahan program selanjutnya, sebagian lain menuju ke laundry. Sudah hampir seminggu di sini tapi belum satupun pakaian kami tercuci. Kami merasa tidak enak jika harus mencuci di rumah karena air di rumah memang agak sulit mengalir. Aku ikut bersama tim yang menuju ke laundry karena aku menemani yang Kiki bertugas untuk melaundry.
Entah sepanjang pembagian tim dan hingga kini perjalanan ke laundry, aku merasa sesuatu yang tidak biasa. Aku sulit menjelaskannya dengan kata-kata. Aku hanya merasa ada sesuatu yang hilang. Aku menyadari hal ini ketika dia mungkin sudah akan menghilang dari kehidupanku.
Salahkah perasaan ini? Apakah kamu orang yang tepat? Tanyaku dalam hati sambil meneteskan air mata.
Ternyata, laundry yang paling dekat dengan rumah tutup. Akhirnya, kami memutuskan untuk pergi laundry ke kota. Namun masalah baru muncul. Ada beberapa dari kami yang tidak membawa helm. Tim kami dibagi menjadi dua bagian lagi. Sebagian menuju ke kota dan sebagian lagi kembali ke rumah. Seharusnya, kalau aku membawa helm aku akan ikut pergi ke kota. Tapi entah kenapa, setelah Sita membisikkan sesuatu pada Kiki, tiba-tiba aku disuruh membonceng Koor sementara Sita membonceng Kiki. Aku ikut pulang ke rumah.
Kesal dan marah membuat dadaku sesak. Aku kecewa berat. Bukan karena aku tidak bisa berjalan-jalan ke kota, tapi aku tidak bisa bersama Kiki. Kejadian ini sudah cukup menjelaskan mengapa ada perasaan yang tak enak selama perjalananku dengan Kiki tadi.
Setelah melewati senam jantung bersama Koor, akhirnya aku merasa lega dan sangat bersyukur sudah tiba di rumah dengan selamat. Emang, sih, Kiki tuh kalau bawa motor selalu ngebut. Mungkin karena Kiki sudah tahu beberapa teknik membalap perjalanan terasa safe. Berbeda ketika aku berjalan bersama Koor. Aku mengucap istighfar berulang kali selama perjalanan bersamanya. Apalagi dengar-dengar Koor baru kecelakaan beberapa hari yang lalu. Aku dan Koor adalah orang yang paling pertama tiba di rumah. Di mana Riri dan Tia? Seharusnya mereka juga sudah tiba. Aku mulai khawatir karena jarak waktu antara aku dan Riri tiba cukup lama. Aku juga tidak bisa menghubungi mereka karena di sana tidak ada sinyal telepon.
"Riri! Tia! Kamu habis dari manaaa?" tanyaku sambil menghampiri Tia dan Riri yang baru saja tiba. Melihat celana Tia yang kotor terkena noda pasir aku langsung panik."K-kalian tadi jatuh?"
"Enggak apa-apa kok! Beneran kita nggak kenapa-napa." Ujar Riri. Tapi aku melihat tangan Tia terluka.
"Tia, tangan kamu..."
"Ah, ini. Udah nggak apa-apa. Ini cuma luka kecil. Udah biasa jatuh aku tuh!"
"Ya ampun! Gimana ceritanya, sih? Sana bersihin luka kamu dulu, Tia. Nanti diobatin lukanya. Aku bawa obat kok." Cecarku.
Kami sekarang berkumpul di kamar cowok. Kamar cowok sangat luas sehingga biasa kami berkumpul di sini. Kamar ini juga merupakan ruang makan dan ruang rapat kami. Setelah mengobati luka Tia dan bercerita kronologis kecelakaan, kami meneruskan aktivitas masing-masing. Sementara, aku sendiri masih rebahan di atas matras. Aku masih tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi hingga aku bisa terpisah dari Kiki. Aku jadi kesal sendiri membayangkan wajah Sita.
Menit-menit berlalu, aku segera menyadari sesuatu. Aku lantas bangkit dan berlari menghampiri Riri yang berada di kamar cewek sambil menangis. Riri, Tia, Risa, dan Kesya yang tengah mengobrol kemudian saling memandang. Mereka bingung apa yang terjadi kepadaku.
"Hei, kamu kenapa?" tanya Riri.
Aku tidak bisa menjawab dan masih terisak di pangkuan Riri. Aku tidak bisa menjawab karena di sana ada orang selain Riri. Aku tidak mau menceritakan ke banyak orang untuk sekarang ini. Aku meraih ponsel Riri dan menuliskan apa yang sebenarnya terjadi di memo
Ri, aku menyadari sesuatu.
Aku suka dengan Kiki! Aku tak senang dia bersama dengan Sita sepanjang hari.
Aku menyerahkan ponsel pada Riri. Dia terlihat terkejut membaca apa yang aku tulis. Kemudian Riri membalas tulisanku lewat memo juga.
Serius kamu? Kok bisa sih?
Aku kan waktu itu udah pernah bilang kalo kalian cocok. Tapi kok bisa beneran suka sih? Aku pasti bakal mendukungmu!
Eh, tapi... Kiki kan udah punya pacar. Bagaimana kamu akan menghadapinya?
Ya, benar. Kiki sudah mempunyai kekasih. Seharusnya aku tidak cemburu pada Sita. Namun aku tidak sedikitpun cemburu dengan kekasih Kiki. Malah, saat itu aku merasa aku akan ikhlas jika aku suatu saat diundang ke pernikahan Kiki dengan kekasihnya. Padahal, Sita juga punya kekasih, tapi aku tak rela Kiki bersama Sita. Kiki boleh dengan siapapun, asal jangan pernah bersama Sita. Kalau bisa bersamaku saja.
❣❣❣
Happy wedding untuk perangkat Desa Pagergunung yang hari ini menikah. Semoga sakinah, mawaddah, wa rahmah, ya, Mbak! 💖

KAMU SEDANG MEMBACA
For 21 Days
Non-FictionTidak ada yang tahu apa yang terjadi di masa depan. Kamu boleh memusuhi orang semaumu. Namun, tidak ada yang tahu bahwa suatu hari dia yang kamu benci adalah orang yang paling kamu rindukan. Teruntuk kamu, aku, dan semua mahasiswa yang pernah menjal...