Pandangan Pertama

0 0 0
                                    

Hari ini Mr.Brush lagi-lagi membosankan. Menumpuk selembaran kertas di masing-masing meja dan meminta para siswa SMA kelas akhir ini mengerjakan puluhan soal yang sulit. Tentu saja mudah bagiku, yang nyatanya telah kutekuni selama bertahun-tahun. Aku sengaja memisahkan diri dari saudaraku, seakan mereka selalu ingin menyombongkan keabadian yang merenggut dunianya.

Jam pelajaran selesai, Cisco menungguku di pintu kelas dan tersenyum manis padaku.
"Ku akui kau lebih tampan dariku, dasar brengsek" ejekku
"Karena aku akan selalu lebih darimu," timpalnya. Kami tertawa bersama sambil berjalan menelusuri lorong menuju parkiran sekolah. Dan belasan pasang mata menatap kami seolah-olah kami ini malaikat.
"Kalian pergi saja duluan, em... aku ada sedikit urusan," ucapku ketika sampai di mercedez hitam mengilap milik Elidi, mereka hanya mengangguk tanpa mengatakan apa-apa. Porsche ku diparkir rapi pada sudut parkiran bersanding dengan mobil Mr. Brush ataupun van kuno di sebelahnya.

Entah perasaan apa yang membuatku ingin pulang sendiri, atau takdir barangkali. Kuakui sepertinya hari ini akan berbeda dari hari sebelumnya yang monoton. Kupacu mobilku melesat melewati gerbang sekolah menuju selatan dan sedikit melirik ekspresi bocah-bocah SMA ketika porsche ku berpapasan dengan mereka, terpukau, mempesona, yang sungguh betapa aneh pandangan mereka. Kini aku melewati pemukiman, tinggal hutan-hutan disekelilingku pohon oak dimana-mana. Aneh, perasaanku tiba-tiba jengkel seraya langsung menambah kecepatan meliuk-liuk di jalanan tak peduli pada beberapa mobil yang mengklakson nyaring memekakkan telinga.

Tapi tiba-tiba sebuah mobil sedan hitam menyalipku dengan cepat yang seolah-olah ingin membalas caraku berkendara. Dan lagi, perasaan aneh muncul, ingin rasanya menyalip balik pengendara itu. Kutambah lagi laju kecepatanku dan sekarang kami sudah seimbang, rupanya ia tak mau kalah. Makin aku mendekatinya ia makin melonjak, tak ada pilihan lain kusalip mobilnya dengan kekuatan maksimal meliuk-liuk untuk menghalanginya dan... BRUKK. Seketika suara itu mengetarkan tubuhku, kupalingkan wajahku untuk melihat seberapa parah sedan itu menabrak pohon. "Arghh! sialan," Rupanya hanya asap yang mengelilinginya dan sebagai tersangka yang harus kupikirkan sekarang harusnya cara untuk kabur, tapi perasaan ini menuntutku untuk menemui pengendaranya dan meminta maaf, kucoba lawan tapi... well, gagal.

"Hello, are you oke, excuse me," tanyaku ketika sampai di pintu sedan pengendara itu yang sedikit penyok. Aku hanya mengetuk kacanya beberapa kali, sampai seseorang keluar dengan ekspresi kesakitan dan tentu saja panik yang kupikir ia lelaki ataupun pembalap, rupanya seorang wanita yang sepertinya masih status pelajar.

"You are crazy!" Ucapnya lirih menahan sakit di kepalanya.
" i'm sorry, seharusnya kau tidak menyalip ku tadi" belaku
"Yeah mungkin kau benar aku yang salah, kalau begitu maaf" mudah sekali ia berubah perasaan.
"Can i help you" tawarku. Ia masih saja memegang kepalanya yang memerah, dan terkejut ketika mendapati mobil depannya rusak berat. Wajahnya semakin panik
"Oh. Bagaimana ini aku harus pergi ke rumah sakit dengan cepat, tapi..." sepertinya dia ingin menangis.
"Aku bisa mengantarmu, kalau kau mau" dia sama sekali tak mengubris ku yang sedang bicara, apa pendengarannya jadi terganggu?.
"Well, mungkin kau harus mengantarku, tapi bagaimana dengan mobilku?"
"Aku akan mengirim orang untuk membawa mobilmu ke bengkel, aku yang membayarnya, mengembalikannya padamu dan masalah selesai" tuturku
"Yeah itu sangat bijaksana,"
"Baikalah, ayo. Kau bisa berjalan dengan benar kan?" Dia mengganguk kecil sambil menatap sedih mobilnya. Kubiarkan dia berjalan di depanku, jika sewaktu-waktu dia pingsan aku bisa menangkapnya.

"Kita belum berkenalan, aku Gayla, kau?" Ucapnya ketika di dalam mobil.
"Aland"
"Nama yang aneh" dia mengucapkannya dengan suara paling pelan, tapi tentu saja aku bisa mendengarnya dan itu membuatku tertawa kecil meskipun ia tak memperhatikan.
"Ada apa di rumah sakit?"
"Well, ayahku. Serangan jantung, padahal sudah kukatakan padanya untuk tidak kerja hari ini. Tapi... yeah orangtua memang keras kepala,"
"Kau masih sekolah?" Rasanya pertanyaanku agak tolol
"IFE Education high school, satu bulan lagi kelulusan, kau?"
"Pitchsrove high school, aku juga satu bulan lagi" jawabku.
"Jadi...bagaimana aku membalas budi, sejak tadi kau terus yang menolongku" tanyanya
"Aku tidak tahu, terserah saja"
"Bagaimana kalau makan, ehm nonton tapi barangkali kau tidak suka, apa ya.." aku tertawa mendengar ajakannya
"Cukup maaf dan terima kasih saja bagaimana" usulku
"Itu sih terlalu mudah"
"Kan kau yang dirugikan bukan aku".

Kami berdiam beberapa saat, sekiranya dia terlalu asik diajak bicara membuatku lupa posisiku sebenarnya. Dan aku harus bisa mensinkronkan pikiran dan batinku kalau dia 'cuma gadis biasa' hanya itu.

"Aku turun disini saja, kau bisa pulang" dia melepas sabuk pengamannya dan bersiap keluar.
"Aku bisa menemanimu" tawarku
"Oh.oke".
Kami berjalan melewati koridor yang cukup luas dengan beberapa kursi di sudut dinding, kami menuju resepsionis untuk bertanya dimana ruang ayah Gayla. Sampai aku lupa bahwa aku harus mengendalikan dahagaku, ini kan rumah sakit, terlalu banyak darah, apa aku bisa.
"Atas nama siapa?" Tanya sang perawat di resepsionis
"Harry Collins"
"Ruang 315" jawab perawat itu sambil melayangkan pandangan takjub padaku.

Belum sempat kami berbalik, seorang perawat berjalan melewati kami sambil membawa beberapa kantong darah di atas nampan. Seketika itu juga gejolak kehausanku mengebu-gebu seperti manusia yang tidak makan selama 3 hari, begitu lapar, haus dan ingin melahap semua hidangan dihadapannya. Kucoba melawan untuk pertama kalinya hanya untuk menjaga kewarasanku di depan wanita yang baru kutemui ini.

"Aku harus pergi sekarang. Segera periksa dirimu ke dokter aku takut kalau ada luka dalam" entah kenapa aku merasa takut jika ia terluka lebih dalam.
"Ya. Kau tidak apa-apa? Wajahmu tegang sekali" matanya yang hitam kecoklatan penuh tanda tanya menatapku.
"Sebaiknya aku pergi, sampai jumpa" tutupku. Berhasil. Aku lolos dari jebakan maut iblis, napasku megap-megap tak karuan, benar-benar kacau.

Awan mendung tak lagi menaungi keabadianku. Buru-buru aku masuk mobil, dan segera berlalu menuju rumah. Sepanjang jalan aku memikirkan tentang perasaan aneh sejak tadi, apa ini ya rencana takdir. Tapi kenapa harus dia?. Pikiran-pikiran lainnya bergelut di kepalaku, cuma gadis biasa, atau manusia yang persis dengan yang lain. Di ujung jalan tampak rumahku berdiri kokoh menghadap arah pegunungan dan pohon-pohon lebat, kuparkir mobilku digarasi bersanding dengan mercedez milik Zena.

"Jadi urusan apa hari ini?" Tanya seseorang di belakangku, Cisco.
"Tidak banyak, aku membuat mobil orang menabrak pohon, mengantarnya ke rumah sakit, membawa mobilnya ke bengkel, membayarnya dan urusan selesai," jelasku, di tertawa renyah.
"Kau bilang itu urusan?, ngomong-ngomong siapa yang kau tabrak" wajahnya kini berlagak serius
"Cuma gadis biasa, murid SMA, dia buru-buru karena ayahnya sakit. Dan boleh kuralat aku bukan menabraknya, dia yang menabrak pohon karena berusaha menyalip mobilku,"
"Kenapa kau memberi penekanan pada kata 'cuma wanita biasa', atau jangan bilang kau..."
"Kalau kau ikut campur kupatahkan lehermu" ancamku.
"Ya ya ya". Cisco merangkul pundakku dan masuk ke dalam rumah. Zena dan elidi sedang bereksperimen lagi, membuat aneka masakan manusia di dapur. Aku dan Cisco memutuskan menonton televisi.

"Mengapa semua ini terlihat basi?" Hinanya, yang terus saja menekan tombol di remote control.
"Kalau begitu kau ikut masak saja sana" aku terkekeh, dia menyikutku.
"Jadi bagaimana keadaan orang yang kau tabrak, seberapa parah" tanyanya
"Kepalanya benjol" jawabku.
"Yeah, kau patut disalahkan juga"
"Aku tak tahu, tiba-tiba perasaan ini muncul entah bagaimana. Ini tidak salah kan,"
"Memangnya apa yang salah, kau tidak menyukainya kan?" Tanya Cisco.
"Tidak" jawabku singkat.
"Atau belum?" Dia terkekeh.
"Ingat posisimu, dia dan keluarga kita. Ini berbahaya, aku tak pernah menentang pilihanmu untuk apapun, jadi...pikirkanlah" lanjutnya, jarang sekali aku melihatnya seserius itu.
"Tapi ancamanku tadi masih berlaku, ingat itu," dia mengganguk

The Sun In The Grey SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang